Ancaman Hukuman Gratifikasi 'Akar Korupsi'


SEJAK Presiden Joko Widodo alias Jokowi dan partai pendukungnya merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, taringnya patah.
Kepercayaan masyarakat, yang tecermin dari survei Indikator Politik pada April 2024, melorot tinggal 62,1 persen—jauh di bawah kepolisian dan kejaksaan—anjlok dibanding kepercayaan publik pada 2018 sebesar 85 persen.
Korupsi, merupakan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara, perusahaan, organisasi, atau yayasan untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Jenis-jenis korupsi lainnya adalah suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gatifikasi.
Salah satu jenis korupsi yang kian nyaring saat ini adalah dugaan gratifikasi terhadap anak pejabat negara. Adalah Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi.
Penting diketahui, bahwa gratifikasi adalah semua pemberian yang diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara.
Menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Gratifikasi memiliki arti yang netral, sehingga tak semua gratifikasi merupakan hal yang dilarang atau sesuatu yang salah.
Meski penerima gratifikasi dapat dianggap melakukan tindakan pidana karena bisa mengancam independensi dan integritas.
Namun, tidak semua pemberi gratifikasi dapat diberikan sanksi, kecuali memenuhi unsur tindak pidana suap.
Ketentuan ini diatur pada UU Tipikor Pasal 5 ayat (1) dengan ancaman hukuman penjara antara 1 sampai 5 tahun dan Pasal 13 dengan ancaman hukuman penjara maksimal 3 tahun.
Adapun ancaman hukuman penjara bagi penerima gratifikasi diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu:
Pidana penjara seumur hidup;
Pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun;
Pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Kriteria gratifikasi yang dilarang
Gratifikasi pada dasarnya suap yang tertunda atau suap terselubung.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang terbiasa menerima gratifikasi terlarang lama kelamaan dapat terjerumus melakukan korupsi bentuk lain, seperti suap, pemerasan dan korupsi lainnya.
Sehingga gratifikasi dianggap sebagai akar korupsi.
Kriteria gratifikasi yang dilarang, yaitu:
Gratifikasi yang diterima berhubungan dengan jabatan; Penerimaan tersebut dilarang oleh peraturan yang berlaku, bertentangan dengan kode etik, memiliki konflik kepentingan atau merupakan penerimaan yang tidak patut / tidak wajar.
Gratifikasi tersebut dilarang karena dapat mendorong Pn/PN bersikap tidak obyektif, tidak adil dan tidak profesional.
Sehingga Pn/PN tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
Pengecualian:
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) :
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Peraturan yang nengatur Gratifikasi adalah Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi "Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya".
Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi :Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK".
Pasal 12 UU No. 20/2001:
Didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar:
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
Sanksi
Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001
Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Penyelenggara Negara Yang Wajib Melaporkan Gratifikasi adalah:
Berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, Bab II pasal 2, meliputi :
Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara.
Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
Menteri
Gubernur
Hakim
Pejabat negara Lainnya :
Duta Besar
Wakil Gubernur
Bupati / Walikota dan Wakilnya
Pejabat lainnya yang memiliki fungsi strategis :
Komisaris, Direksi, dan Pejabat Struktural pada BUMN dan BUMD
Pimpinan Bank Indonesia.
Pimpinan Perguruan Tinggi.
Pimpinan Eselon Satu dan Pejabat lainnya yang disamakan pada lingkungan Sipil dan Militer.
Jaksa
Penyidik.
Panitera Pengadilan.
Pimpinan Proyek atau Bendaharawan Proyek.
Pegawai Negeri
Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan No. 20 tahun 2001 meliputi :
Pegawai pada: MA, MK
Pegawai pada L Kementrian/Departemen &LPND
Pegawai pada Kejagung
Pegawai pada Bank Indonesia
Pimpinan dan Pegawai pada Sekretariat MPR/DPR/DPD/DPRD Propinsi/Dati II
Pegawai pada Perguruan Tinggi
Pegawai pada Komisi atau Badan yang dibentuk berdasarkan UU, Keppres maupun PP
Pimpinan dan pegawai pada Sekr. Presiden, Sekr. Wk. Presiden, Sekkab dan Sekmil
Pegawai pada BUMN dan BUMD
Pegawai pada Badan Peradilan
Anggota TNI dan POLRI serta Pegawai Sipil dilingkungan TNI dan POLRI
Pimpinan dan Pegawai dilingkungan Pemda Dati I dan Dati II
Bagaimana keluarga pejabat jika terima gratifikasi?
Baru-baru ini selebritas Instagram membuka borok pejabat Kejaksaan Agung yang terbiasa mendapat fasilitas mewah dari pengusaha jika berpelesir.
Dia berniat membela kepergian anak Joko Widodo dan menantunya, Kaesang Pangarep dan Erina Gudono, ke Amerika Serikat naik pesawat jet pribadi.
Selebritas Instagram itu, Jelita Jeje, menceritakan pengalamannya sebagai istri dan menantu pejabat tinggi Kejaksaan Agung jika bervakansi sekeluarga.
Menurut dia, pejabat dan keluarga terbiasa mendapat fasilitas transportasi dan akomodasi jika bepergian ke luar negeri.
Informasi warganet yang mengulik gaya hidup selebritas itu dan kepergian Kaesang bisa menjadi modal awal Komisi Pemberantasan Korupsi, misalnya, mengusut dugaan gratifikasi.
Kembali kepada Pasal 12B ayat 1 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, bahwa bentuk-bentuk gratifikasi bisa berupa pemberian uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan wisata, fasilitas, serta pengobatan cuma-cuma. Jika terbukti, hukumannya 4-20 tahun penjara.
Gratifikasi tak mesti diterima oleh pejabat negara. Keluarga dan kerabat yang menikmatinya bisa menjerat para pejabat negara yang terbukti menerima fasilitas.
Sebab, delik hukum dalam gratifikasi adalah perdagangan pengaruh dari pejabat negara tersebut yang dinikmati oleh pemberi gratifikasi. Meski bukan penyelenggara negara, Kaesang bisa masuk kategori ini karena ia anak presiden.
Kepergiannya ke Amerika Serikat yang diduga naik jet pribadi terungkap lewat unggahan istrinya, Erina Gudono.
Informasi yang berseliweran di media sosial menunjukkan harga sewa pesawat jet jenis Gulfstream itu Rp 200-300 juta per jam.
Maka, jika Kaesang dan istrinya menyewa pesawat itu bolak-balik Jakarta-Amerika, nilai sewanya Rp 11 miliar.
Uang sebanyak itu tak cocok dengan profil Kaesang. Bisnis pisang gorengnya gulung tikar di mana-mana.
Maka, jika ia bisa dengan enteng menyewa pesawat miliaran rupiah, patut dicurigai sumbernya atau fasilitas yang diterima dari pemilik pesawat tersebut.
Pengusutan KPK, yang berjanji menindaklanjuti informasi di media konvensional dan media sosial, bisa menjernihkan duduk persoalan kepergian Kaesang Pangarep itu.
Bagi KPK, ini saat yang tepat mengusut asal-usul harta kekayaan keluarga Jokowi. Sementara pengaruh Jokowi mulai pudar menjelang lengser pada 20 Oktober 2024.
Kepercayaan publik kepadanya juga longsor akibat pelbagai manuver politiknya mengakali hukum dan merusak sendi-sendi demokrasi demi melanggengkan kekuasaan.
Sekali saja KPK membangkang Jokowi dan kembali mengusut dugaan korupsi oleh pejabat tinggi serta keluarganya, kepercayaan publik akan kembali kepada lembaga ini.
Dugaan gratifikasi bukan delik aduan, maka KPK bisa aktif mengumpulkan bahan-bahan awal dari media sosial kemudian menelusurinya ke pemilik jet, bekerja sama dengan penegak hukum di Amerika Serikat menyelisik apa yang dilakukan Kaesang dan istrinya, lalu mengumumkan temuan itu kepada publik.
Kaesang Pangarep juga perlu menjelaskan asal-usul biaya pelesirannya ke luar negeri.
Bagi Kaesang, ini juga saat yang tepat menunjukkan ia bersih dari segala tuduhan memiliki harta tak jelas dan mendapat fasilitas jalan-jalan dari pihak lain.
Keterbukaannya mungkin bisa mengembalikan kepercayaan publik kepada keluarganya yang tengah berada di titik terendah.
Perlu diingat lagi! Gratifikasi yang terkait jabatan dan berlawanan dengan tugas dapat dianggap sebagai delik korupsi dan bukan delik aduan.
Gratifikasi yang termasuk delik korupsi dapat diancam hukuman pidana penjara dan denda.
(La Aswan)
Topik:
Gratifikasi Jokowi Kaesang KPK