Bau Anyir Kejahatan 'Berantas Korupsi Sembari Korupsi' Menyengat Kuat: Di sekitar 'Duit Haram' Zarof Ricar


Jakarta, MI - Di balik kasus Zarof Ricar, eks pegawai Mahkamah Agung (MA) yang diduga terlibat makelar kasus (Markus) di lembaga tertinggi penegak hukum itu terus menuai sorotan. Sumber duit Zarof pun juga jadi tanda tanya, sebab belum ada kejelasan dari pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai aparat penegak hukum (APH) yang mengusut kasus ini.
Bahkan, dugaan permainan dalam perkara ini menyengat kuat terhadap nama oknum jaksa. Bagaimana tidak, soalnya dalam surat dakwaan, diduga JPU dengan sengaja tidak menjelaskan asal usul sumber uang suap Zarof.
Jauh sebelum membahasa itu, perlu dicatat terlebih dahulu bahwa di dalam sidang dakwaan terhadap Zarof atas kasus suap Gregorius Ronald Tannur, terungkap bahwa selama 10 tahun menjadi pegawai di MA, Zarof telah menerima total suap sebesar Rp915 miliar dan 51 kilogram (kg) emas.
Hal itu diungkap Jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang dengan agenda pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (10/2/2025). "Terdakwa menyimpan keseluruhan penerimaan uang dan emas tersebut di rumah terdakwa," kata jaksa.
Zarof bekerja di MA semenjak 2012 sampai Februari 2022. Menurut Jaksa di ruangan sidang, gratifikasi itu diterima Zarof setelah membantu mengurus perkara baik di tingkat pertama, banding, kasasi hingga peninjauan kembali.
Sebagai penyelenggara negara, Zarof juga tidak melaporkan penerimaan gratifikasi itu kepada KPK. Jaksa menyebut kepemilikan Rp915 miliar dan 51kg emas oleh Zarof Ricar tidak sesuai dengan pendapatannya sebagai pegawai MA.
Zarof Ricar awalnya ditangkap Kejagung dalam kasus suap hakim terkait vonis bebas Gregorius Ronald Tannur dalam kasus pembunuhan Dini Sera Afrianti.
Zarof saat itu diminta oleh pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat, dalam mengurus sidang kasus Ronald di tingkat kasasi. Perkara inilah yang kemudian mengungkap dugaan korupsi yang dilakukan Zarof.
Dalam dakwaannya, jaksa menyebut Zarof Ricar melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat menyuap Hakim Agung Soesilo yang menangani perkara kasasi Gregorius Ronald Tannur.
Kasasi ini diajukan oleh jaksa setelah Ronald Tannur divonis bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dalam kasus pembunuhan Dini Sera Afrianti pada 4 Oktober 2023.
Jaksa Penuntut Umum menyebut percobaan suap ini dilakukan Zarof bersama pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat, pada 2024.
"Melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi yaitu permufakatan jahat terdakwa Zarof Ricar dan Lisa Rachmat. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim yaitu untuk memberi uang sebesar Rp 5.000.000.000,"
kata jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (10/2/2025).
Jaksa mengungkap, setelah PN Surabaya menyatakan Ronald Tannur bebas dan jaksa menyatakan mengajukan kasasi, Lisa menemui Zarof di kediamannya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Bahwa Lisa berkata kepada Zarof bahwa salah satu hakim kasasi perkara kliennya bernama Soesilo dan Zarof mengaku kenal dengan Soesilo.
Berdasarkan penetapan Ketua MA, Soesilo duduk sebagai ketua majelis kasasi dengan hakim anggota satu Ainal Mardhiah dan anggota dua Sutarjo.
"Kemudian Lisa Rachmat meminta kepada terdakwa untuk mempengaruhi hakim yang mengadili perkara kasasi tersebut agar menjatuhkan putusan kasasi yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Surabaya," beber jaksa.
Lisa kemudian menyatakan akan menggelontorkan dana sebesar Rp6 miliar dengan rincian Rp5 miliar untuk majelis hakim kasasi dan Rp1 miliar untuk Zarof yang membantu memengaruhi hakim. "Atas penyampaian tersebut maka terdakwa Zarof Ricar menyetujui," tutur jaksa.
Menindaklanjuti permintaan Lisa, pada 27 September 2024, Zarof bertemu Soesilo yang menghadiri undangan Pengukuhan Guru Besar Profesor Herri Swantoro di Universitas Negeri Makassar. Zarof pun memastikan bahwa Soesilo menjadi hakim yang menangani perkara kasasi Ronald Tannur dan hal itu dibenarkan oleh Soesilo.
Selanjutnya, Zarof meminta Soesilo membantu perkara kasasi Ronald Tannur agar diputus dengan putusan yang menguatkan vonis PN Surabaya.
Zarof Ricar, eks pegawai MA, makelar kasus. Soesilo pun menyatakan akan melihat perkara Ronald Tannur terlebih dahulu.
"Pada pertemuan tersebut terdakwa Zarof Ricar juga melakukan swafoto bersama dengan hakim Soesilo kemudian terdakwa mengirim foto tersebut melalui WhatsApp yang diterima oleh Lisa Rachmat dengan membalas pesan 'siap pak terima kasih'," tutur jaksa.
Pada 2 Oktober 2024, Lisa menemui Zarof di kediamannya dan menyerahkan uang Rp2,5 miliar dalam bentuk Dollar Singapura sebagai biaya pengurusan perkara kasasi Ronald Tannur.
Pada 12 Oktober, Lisa kembali menemui Zarof dan menyerahkan uang sebesar Rp 2,5 miliar dalam pecahan dollar Singapura. Selain uang, Lisa juga menyerahkan tulisan tangan kepada Zarof yang berisi catatan majelis hakim kasasi berikut uang yang disepakati Lisa dan Rachmat, ungkap Jaksa penuntut.
Dia juga menyerahkan catatan khusus guna memengaruhi putusan kasasi Ronald Tannur. Pada 22 Oktober 2024, majelis kasasi menyatakan Ronald Tannur bersalah dan menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara. Namun, dalam putusan itu, Hakim Agung Soesilo menyatakan dissenting opinion atau perbedaan pendapat.
Penggeledahan
Berdasarkan pemberitaan Monitorindonesia.com, bahwa Zarof Ricar diciduk di salah satu hotel di Jimbaran, Bali pada Kamis (24/10/2024) berdasar surat penangkapan yang terbit sehari sebelumnya.
Pada hari sebelum penangkapan itu, tim penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) telah melakukan penggeledahan di rumah Zarof.
Di suatu ruangan rumah, penyidik menemukan barang bukti berupa uang tunai senilai hampir Rp 1 triliun dari berbagai mata uang. Rinciannya, sejumlah Rp5.725.075.000, 74.494.427 dolar Singapura, 1.897.362 dolar AS, 483.320 dolar Hong Kong, dan 71.200 euro.
Bukan cuma uang tunai, penyidik juga mendapati satu buah dompet merah muda beris tujuh keping emas logam mulia Antam masing-masing 100 gram beserta tiga keping emas logam mulia Antam masing-masing 50 gram.
Juga, ada dompet yang berisi 12 keping emas logam mulia masing-masing seberat 100 gram, dan satu keping emas logam mulia Antam seberat 50 gram.
Dari ruangan yang sama, didapati pula sebuah satu buah plastik berisikan 10 keping emas logam mulia Antam masing-masing 100 gram. Pun, ada dompet berwarna hitam berisikan satu keping emas logam mulia Antam satu kilogram, tiga lembar kuitansi toko emas mulia, dan tiga lembar sertifikat emas. Total logam mulia emas tersebut mencapai 51 kilogram. Jika diakumulasikan jumlahnya setara Rp 75 miliar.
Berselang lima hari setelahnya, tim penyidik kembali menggeledah rumah Zarof. Namun saat itu tidak jelas apa yang disita sebagai barang bukti. Yang jelas, penyidik membawa sejumlah kotak selepas keluar rumah.
Kekayaan Zarof diduga tak hanya sebatas harta, tampak di dalam rumah mewah ratusan meter itu. Sebab, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Hari Siregar, mengatakan kekayaan Zarof diduga didapat dari hasil jahat sebagai makelar kasus di MA.
Diduga, Zarof bermain kasus sejak 2012 hingga 2022. Keterlibatan Zarof dalam utak-atik putusan hakim MA tak berhenti meski dirinya pensiun. Kata Harli Siregar, tugas penyidik kini menelusuri aliran dana yang diterima Zarof.
Perannya sebagai makelar kasus di MA selama satu dasawarsa tak pelak melibatkan banyak pihak berperkara. Penyidik, katanya, sedang mencari kasus mana saja yang diatur oleh Zarof.
Tapi, tidak mudah melakukan itu, lantaran saat itu Zarof masih bungkam. “Tanpa keterangannya, kami tetap akan memastikan proses hukum berjalan. Metode pembuktian terbalik dalam membongkar kasus ini,” kata Harli, Kamis (31/10/2024) lalu.
Metode pembuktian terbalik yang dia maksud adalah membebankan sepenuhnya kesalahan kepada penerima dana. Dengan kata lain, jika penyidik tidak mampu melacak kasus mana saja yang ditunggangi Zarof, maka tidak ada tersangka lain yang bisa diseret Kejagung.
Karier Zarof sebenarnya tidak pernah sampai di level sekretaris MA. Jabatannya sebelum pensiun adalah Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan (Balitbang Diklat Kumdil) MA.
Zarof pun sempat berstatus Direktur Pranata dan Tata Laksana Perkara Pidana Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum MA. Satu-satunya jabatan cukup strategis Zarof ialah saat menjabat Sekretaris Ditjen MA dan saat ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ditjen Badilum pada 2020.
Kembali kepada penggeledahan rumah Zarof di kawasan Senayan, Jakarta Selatan (Jaksel), pada Kamis (24/10/2024), bahwa Kejagung bukan cuma menemukan timbunan uang dan kepingan-kepingan emas batangan yang ditaksir mencapai Rp 1 triliun tetapi tim penyidikan juga menemukan bukti berupa catatan-catatan tentang bagaimana ZR, bersama-sama Lisa Rahmat (LR) mengatur hasil kasasi Gregorius Ronald Tannur terkait kasus pembunuhan Dini Sera Afriyanti.
Sebagaimana foto yang diperoleh Monitorindonesia.com, terdapat catatan bertuliskan tangan, yang terbungkus di dalam tas plastik bening. “Titipan Lisa,”
Lisa adalah Lisa Rahmat pengacara dari Ronald Tannur. Sedangkan ZR, adalah Zarof Ricar. Pada bagian atas catatan pada kertas yang ditemukan penyidik, bertuliskan, “Untuk Ronal Tannur:1466K/Pid.2024”. Kode 1466K/Pid.2024 merupakan nomor perkara kasasi kasus Ronald Tannur di MA.
Dalam catatan tersebut, juga ada dituliskan masing-masing para hakim agung yang memeriksa kasasi kasus Ronald Tannur itu. Para majelis hakim kasasi tersebut, adalah S, A, dan S. Di dalam catatan kertas yang ditemukan penyidik itu, bertuliskan urut ke bawah, “P.Soesilo, P. Ainal, P Sutarjo.”
Runutan nama-nama para hakim agung pemeriksaan kasasi Ronald Tannur itu dibarengi dengan tanda panah siku besar ke arah kanan tulisan, dengan catatan, “Pak Kuatkan PN.”
Di bawah catatan tersebut, tulisannya berlanjut dengan tanda awal bintang. “*Perlu diketahui kematian Dini (korban), berdasarkan visum itu karena ‘benda tumpul’. Bahwa kelalaian; benda tumpul inilah kewajiban JPU harus cari tau mobil siapa?.”
Catatan tulisan tangan tersebut berlanjut dengan penyampaian; “*Oce (Kasasi) team? +(1Bp). *1006 (PK)—> (15) (Sy—> 1 ya Pak). *Tannur (kasasi) +(1Bp). *Kasasi Pid. Blm dpt nomor.” Pada bagian pinggir bawah sebelah kanan catatan tersebut, bertuliskan “Titipan Lisa.”
Namun demikian, menurut sumber di gedung bundar Jampidsus Kejagung, selain itu sebenarnya terdapat pula bukti catatan tertulis “Perkara Sugar Group Rp 200 miliar".
Apabila bukti catatan itu benar, uang sebesar Rp 200 miliar itu patut diduga sebagai titipan untuk hakim agung yang menangani perkara sengketa perdata antara Sugar Group Company (SGC) milik Gunawan Yusuf dkk melawan Marubeni Corporation (MC) dkk.
'Berantas korupsi sembari korupsi'?
Ada yang ganjil yang memantik kecurigaan publik adanya dugaan kejahatan “pemberantasan korupsi sembari korupsi”. Karena, dalam surat dakwaan, diduga JPU dengan sengaja tidak menjelaskan asal usul sumber 'duit haram' Zarof Ricar itu.
Hal ini memberi peluang terdakwa dibebaskan hakim. Lantaran dakwaan dapat dikualifisir kabur (obscur libeli). Sebelumnya, dalam menangani kasus korupsi Jiwasraya dengan terdakwa Heru Hidayat dan kawan-kawan, yang merugikan negara sebesar Rp. 16,8 triliun, Jampidsus Febrie Adriansyah dituding oleh penggiat anti korupsi melakukan dugaan kejahatan “memberantas korupsi sembari korupsi”.
Lelang saham perusahaan tambang batu bara PT. Gunung Bara Utama, aset terpidana Heru Hidayat yang disita senilai Rp. 12,5 triliun itu di mark-down menjadi Rp. 1,945 triliun, melalui proses lelang yang diduga direkayasa, dengan memakai appraisal fiktif (penilaian yang tidak sesuai dengan fakta atau kenyataan) dari 2 Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP).
Lelang dimenangkan oleh PT Indobara Utama Mandiri, perusahaan yang baru berdiri tiga bulan sebelum lelang diselenggarakan. Kini dugaan korupsi lelang saham PT GBU tengah menjadi obyek penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kasus lain adalah terkait Tan Kian yang tidak ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara korupsi Jiwasraya. Padahal terdapat fakta persidangan terdakwa Benny Tjokrosaputro, bahwa aliran pencucian uang Benny Tjokro turut mengalir ke Tan Kian sebesar Rp. 1 triliun hasil penjualan apartemen South Hill di Kuningan Jakarta Selatan, sebagaimana yang dinyatakan majelis hakim.
“Berdasarkan serangkaian fakta itu, Presiden Prabowo Subianto diminta segera mencopot Jampidsus, sekaligus memerintahkan Jaksa Agung RI agar memberikan izin KPK untuk memeriksa Febrie Adriansyah,” kata Jerry Massie Direktur Political and Public Policy Studies (P3S) kepada wartawan di Jakarta, Kamis (13/2/2025).
Nah, dengan tidak diuraikannya dalam surat dakwaan mengenai asal usul sumber uang suap sebesar Rp 920 milyar memang mencurigakan.
Pasalnya, di lain sisi, sumber uang suap itu diduga berasal dari penanganan perkara sengketa perdata antara PT Sugar Group Company (SGC) Dkk melawan MC Dkk, yang diwarnai skandal Hakim Agung Syamsul Maarif yang nekat menabrak Pasal 17 ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Syamsul Maarif adalah hakim agung yang memutus perkara Peninjauan Kembali (PK) No. 1362 PK/PDT/2024, tanggal 16 Desember 2024, hanya dalam tempo 29 hari.
PK No. 1362 PK/PDT/2024, tanggal 16 Desember 2024 itu sendiri, terkait perkara sengketa perdata antara Sugar Group Company (SGC) milik Gunawan Yusuf Dkk melawan Marubeni Corporation (MC) Dkk, bernilai triliunan rupiah, yang pada tahun 2010, sejatinya telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkraht), berdasarkan putusan kasasi No. 2447 K/Pdt/2009 tanggal 19 Mei 2010 dan No. 2446 K/Pdt/2009 tanggal 19 Mei 2010 dimenangkan oleh MC Dkk.
Pun, SGC dkk tidak melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Persoalannya, putusan kasasi dan PK terkait perkara SGC versus MC cukup banyak. Karena mengalami daur ulang berkali-kali. Namun menurut seorang sumber, Zarof Ricar sudah “bernyanyi” di hadapan penyidik.
Patut diduga uang suap Rp 200 miliar itu terkait putusan Kasasi No. 1697 K/Pdt/2015 tanggal 14 Desember 2015 jo. PK Ke-I No. 818 PK/Pdt/2018 tanggal 2 Desember 2019 jo. PK Ke-II No. 887 PK/Pdt/2022 tanggal 19 Oktober 2023, yang merupakan upaya hukum lanjutan untuk perkara yang sejatinya tergolong nebis idem.
Yakni putusan-putusan yang diduga dipakai untuk ngemplang utang SGC kepada MC bernilai triliunan rupiah. Yaitu putusan-putusan No. 373/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst tanggal 1 Maret 2012 jo PT DKI Jakarta No. 75/Pdt/2013/PT.DKI tanggal 22 April 2013.
Konon Zarof Ricar sudah mengaku dengan menyebut nama-nama hakim agung yang terlibat, termasuk seorang mantan Ketua Kamar Perdata MA yang berasal dari Lampung.
Dari hasil penelusuran Monitorindonesia.com, tercatat hakim agung yang duduk pada majelis putusan kasasi No. 1697 K/Pdt/2015 tanggal 14 Desember 2015, adalah:
(1) Soltoni Mohdally
(2) Nurul Elmiyah
(3) Zahrul Rabain
Majelis hakim agung PK Ke-I, No. 818 PK/Pdt/2018 tanggal 2 Desember 2019, adalah:
(1) Sunarto
(2) Maria Anna Samayati
(3) Ibrahim
Sedangkan majelis hakim agung PK Ke-II, No. 887 PK/Pdt/2022 tanggal 19 Oktober 2023, adalah:
(1) Syamsul Maarif
(2) Panji Widagdo
(3) Nani Indarwati
(4) Yodi Martono Wahyunadi
(5) Lucas Prakoso
Dua hakim agung yang disebut terakhir dissenting opinion.
Dalam perkara No. 818 PK/Pdt/2018 tanggal 2 Desember 2019 terdapat nama Sunarto yang kini menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung.
Zarof Ricar dikenal dekat dengan Ketua MA, Sunarto. Tak heran bila pada tanggal 27-28 September 2024, Zarof Ricar yang telah pensiun sejak tahun 2022 itu tampak ikut dalam rombongan pimpinan MA yang melakukan kunjungan ke Keraton Sumenep.
Informasi soal adanya nama hakim dalam setiap tumpukan uang yang disita Kejagung yang berkaitan dengan Zarof Ricar diungkap oleh anggota Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo dalam dengar pendapat dengan Jaksa Agung (13/11/2024).
Dia menanyakan apakah di setiap tumpukan uang terebut terdapat nama-nama pihak pemberi suap serta hakim-hakim yang akan menerimanya.
Namun baik Jaksa Agung maupun Jampidsus tidak menjawab lugas, dengan dalih pertanyaan sudah masuk ke dalam materi penyidikan.
“Saya rasa belum bisa kami buka untuk konsumsi publik karena alat bukti belum penuh saat ekspos dilakukan. Yang jelas jaksa sedang mengidentifikasi uang sudah dilakukan penyitaan sebesar Rp 1 triliun, termasuk menelusuri identitas pemberi uang, nilai nominal uang yang diberikan dan terkait perkara apa."
"Kita tidak bisa ketika tersangka Zarof Ricar mengaku uang dari si A lalu penyidik langsung periksa si A. Harus dicarikan alat bukti lainnya,” kata Jampidsus, Febri Adriansyah.
Akan tetapi memang seharusnya apa pun dalihnya penyidik wajib memeriksa dan mendalami si A yang disebut oleh Zarof Ricar.
Terkait hal itu, Anggota Komisi III DPR RI, Rudyanto Lallo, mendesak Kejagung memanggil SGC milik Gunawan Yusuf itu. “Kita berharap kejaksaan jangan heboh diawal. Seolah-olah mengungkap kasus triliunan rupiah. Kemudian penanganannya jalan di tempat, mandek, dan tuntutannya rendah. Zarof Ricar ditahan penyidik sejak tanggal 24 Oktober 2024. Ia sudah mengaku salah satu sumber uang suap dari SGC," kata Rudyanto, Kamis (16/1/2025).
Menurut politikus Partai Nasional Demokrat (NasDem) itu, kewajiban penyidik melakukan pemeriksaan pendalaman berdasarkan pengakuan itu.
"Tapi Jampidsus malah menjawab penyidik tidak bisa memeriksa pelaku suap sesuai pengakuan tersangka. Ini aneh. Ada apa? Sudah 45 hari sejak Zarof Ricar ditahan belum ada kemajuan yang signifikan. Padahal mensrea penyuapan sudah terang benderang ingin mengemplang utang sebesar triliunan rupiah. Tentu kita sayangkan, bebernya.
Pun dia meminta juga kepada Jaksa Agung agar meluruskan setiap kasus yang ditangani, sebagaimana perintah Presiden Prabowo Subianto yang menjadikan korupsi sebagai musuh negara. “Bahkan saya meminta agar Presiden Prabowo secara khusus ikut mengawal dan mengawasi kasus ini," katanya.
Di lain sisi, Rudianto meyakini Zarof tak bekerja sendiri di lingkungan MA. Oleh sebab itu, diperlukan keseriusan dari Kejagung dalam mengusut setiap aliran uang tersebut.
“Tidak berdiri sendiri, pasti melibatkan orang lawang di lingkungan mahkamah agung. Karena itu, oknum-oknum yang selama ini merusak reputasi peradilan kita, ini harus dibongkar jaringannya," ungkapnya.
Ia menambahkan, bila nanti telah keluar jadwal rapat kerja dengan Kejagung, dirinya akan meminta penjelasan ihwal kelanjutan pengusutan kasus tersebut.
“Tentu pada saat kita rapat kerja dengan mitra, pasti kita akan pertanyakan sejauh mana langkah kejaksaan. Yang pasti saya katakan ini langkah maju kejaksaan," pungkasnya.
Sementara itu, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti (Usakti) Abdul Fickar Hadjar, mendesak Kejaksaan Agung untuk menyelidiki asal usul uang senilai triliunan rupiah dan emas batangan yang ditemukan.
“Kejaksaan Agung harus membongkar tuntas, karena sangat mustahil uang dan batangan emas yang ada di rumah Zarof Ricar itu miliknya sendiri."
"Sangat mungkin itu titipan yang belum diambil oleh hakim-hakim itu guna menghindari sistem pelacakan oleh siste audit keuangan, mengingat kewajiban pejabat untuk melaporkan LHKPN," jelasnya kepada Monitorindonesia.com.
Apakah duit itu semua berasa berasal dari makelar kasus?
Pada Jumat (8/11/2024) sialm, kuasa hukum Zarof Ricar, Handika Honggowongso, sempat mengklaim uang Rp 920 miliar yang berada di rumah kliennya itu tidak semua berasal dari makelar kasus. Hal itu dia sampaikan berdasarkan pengakuan Zarof. “Banyak juga kok uang yang bersumber dari causa yang sah,” kata Handika.
Meski tak semua berasal dari makelar kasus, kuasa hukum Zarof itu belum dapat membeberkan dari mana saja uang Rp 920 miliar itu didapat oleh kliennya. “Iya (tidak semua dari markus). Demikianlah kenyataannya. Akan ada waktu dan tempatnya untuk menguji hasil riksa penyidik nanti.”
Sementara Zarof sempat mengakui bahwa uang hampir Rp 1 triliun yang ditemukan di rumahnya itu ada yang berasal dari makelar kasus. Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, mengatakan Zarof menjadi penghubung antara pengacara Ronald Tanur dengan hakim agung untuk pengurusan kasasi atas vonis bebas Ronald di perkara pembunuhan dan penganiayaan Dini Sera Afriyanti.
"Tim penyidik Jampidsus telah menetapkan ZR (Zarof Ricar) mantan pejabat tinggi mahkamah agung sebagai tersangka permufakatan jahat bersama LR (Lisa Rachmat) terkait penanganan perkara terdakwa Ronald Tannur di tingkat kasasi," kata Abdul Qohar dalam konferensi pers di Kejaksaan Agung, Jumat, 25 Oktober 2024 lalu.
Qohar mengatakan, Zarof diminta oleh pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat, untuk melobi hakim agung yang menangani perkara kasasi anak eks anggota DPR Edward Tannur itu agar putusannya menguatkan vonis bebas Pengadilan Negeri Surabaya. Lisa bahkan menjanjikan uang Rp 5 miliar untuk para hakim agung tersebut. "Untuk ZR, diberikan fee Rp 1 miliar atas jasanya tersebut," kata Qohar.
Sementara itu, Pengamat hukum dari Universitas Bung Karno (UBK), Hudi Yusuf, mendorong Kejagung untuk menjelaskan asal usul yang suap Zarof Ricar itu.
"Uang Rp915 milyar itu harus dijabarkan dari mana sumber uang itu dan kasus apa yang dibantu sehingga terkumpul uang sebanyak itu," kata Hudi kepada Monitorindonesia.com, Selasa (11/2/2025).
Pun, Hudi meminta, agar dilakukan sidang ulang terhadap perkara yang menang atas 'upeti' yang diterima oleh aparat penegak hukum.
"Selanjutnya jika ada kasus yang dibantu perlu diulang proses sidangnya jika yang menang dalam perkara memberi 'upeti' kepada aparat penegak hukum karena sudah dipastikan akibat 'upeti' ada proses peradilan yang sesat dan merugikan para pencari keadilan," kata dia.
Sebelumnya, Jaksa Nurachman Adikusumo, ketika membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (10/2/2025), hanya merincikan gratifikasi yang diterima Zarof berupa uang pecahan 1.000 dolar Singapura senilai 71,07 juta dolar Singapura; uang pecahan Rp100 ribu dan Rp50 ribu sebanyak Rp5,67 miliar; uang pecahan 100 dolar Amerika Serikat (AS) senilai 1,39 juta dolar AS; serta uang pecahan 1.000 dolar Singapura, 100 dolar Singapura, dan 50 dolar Singapura senilai 316.450 dolar Singapura.
Selain itu, uang pecahan 500 euro, 200 euro, dan 100 euro senilai 46.200 euro; uang pecahan 1.000 dolar Hong Kong dan 500 dolar Hong Kong senilai 267.500 dolar Hong Kong; serta logam mulia jenis emas Fine Gold 999.9 kepingan 100 gram dan jenis emas Antam Kepingan 100 gram seberat 46,9 kg.
Sayangnya, tidak dirincikan sumber uang haram itu dari mana. Kabar yang beredar, dari jumlah fantastis itu terdapat uang Rp200 miliar untuk menangani perkara Sugar Group di MA. Zarof Ricar telah mengakui bahwa salah satu sumber uang suap berasal dari Sugar Group Company (SGC).
Pembunuhan karakter?
Di tengah bergulirnya kasus Zarof Ricar di meja hijau Pengadilan Tipikor Jakarta, ada pihak-pihak yang tidak memahami hukum yang mengomentari dakwaan Zarof Ricar terkait asal uang suap yang dikaitkan dengan Jampidsus Kejagung.
Mereka memberikan pernyataan tersebut karena sesuatu untuk menghancurkan nama baik Jampidsus Kejagung Febrie Adriansyah.
"Kasus korupsi Zarof Ricard dikaitkan jampidsus, ini pembunuhan karakter, public percaya fakta, bukan opini yang menyesatkan," kata Pemerhati Intelijen, Sri Radjasa, Senin (17/2/2025).
Menurut Sri Radjasa, dakwaan Zarof Ricar dikaitkan dengan Jampidsus adalah keliru dan memaksakan kehendak untuk melakukan serangan balik serta adanya upaya pembunuhan karakter yang berkaitan dengan isu berhembusnya Presiden Prabowo Subianto akan melakukan reshuffle terhadap beberapa menteri dan pimpinan lembaga atau kementerian. "Ada gerakan yang memang ke arah itu," dugaan Radjasa.
Padahal, kata dia, Jampidsus Kejagung Febrie Adriansyah sudah pernah mengatakan bahwa uang Rp 920 miliar yang ditemukan tim penyidik pada saat penggeledahan itu masih didalami dengan hati-hati asal uang suap yang berasal dari perkara apa saja yang ditangani di tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Kasasi di MA.
Kemudian asal uang suap dan gratifikasi tidak dimasukan dalam dakwaan Zarof Ricar merupakan bagian strategi tim JPU. Nantinya akan dibeberkan di persidangan saat agenda pembuktian dan keterangan saksi-saksi.
"Hal tersebut tentu akan berpengaruh dan berpotensi asal uang suap dan gratifikasi tersebut menyeret beberapa petinggi negara ini, serta dapat menimbulkan kegaduhan politik baik kalangan elite maupun eksekutif," tegasnya.
Ia menilai tanggapan pengamat hukum dan pihak tertentu soal asal uang suap Zarof Ricar tidak dibenarkan karena melakukan fitnah dan tuduhan, serta membunuh karakter secara individu. Karena opini menyesatkan yang tidak ada dasarnya, dan belum ada kejelasan atau masih dalam tahap penyelidikan.
"Opini hanya pada suatu gerakan negatif dan menyesatkan, ini bisa dipidanakan terhadap siapapun yang menyimpulkan sesuatu yang masih tahap penyelidikan, karena dinilai belum adanya peristiwa hukumnya dan akan prematur akhirnya," tuturnya.
Radjasa berharap, masyarakat harus cermat dalam menilai suatu peristiwa berdasarkan fakta-fakta hukum bukan opini yang sengaja dibuat untuk kepentingan pihak koruptor ataupun golongan tertentu yang berambisi mengincar jabatan tertentu.
"Saya percaya masyarakat lebih teliti dan cermat dalam menilai. Dan saya mendorong terus kepada Jampidsus Kejagung untuk berani mengungkap aliran dana dan asal uang suap dan gratifikasi tersebut kepada publik," tandasnya.
Selain itu, Jampidsus dituduh atau dituding oleh pihak tertentu yang tidak ada dasarnya saat menangani kasus korupsi Jiwasraya dengan terdakwa Heru Hidayat dan kawan-kawan, yang merugikan negara sebesar Rp16,8 triliun.
Diketahui, pelaksanaan lelang barang rampasan berupa satu paket saham PT Gunung Bara Utama (PT GBU) dalam perkara PT Jiwasraya itu sepenuhnya dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) dalam hal ini Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) sebagai penyelenggara.
Dengan demikian, tidak ada proses lelang atau pelelangan barang rampasan dilakukan oleh Kejaksaan Agung, dalam hal ini Badan Pemulihan Aset (BPA) yang dulu disebut Pusat Pemulihan Aset (PPA).
Bahkan tidak ada campur tangan atau intervensi permintaan dari jajaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung).
Hal tersebut disampaikan Kepala BPA, Amir Yanto dalam rangka menanggapi desakan beberapa pihak dan pakar hukum yang mengomentari soal laporan Koalisi Sipil Selamatkan Tambang (KSST) kepada KPK terkait pelaksanaan lelang barang rampasan berupa satu paket saham PT Gunung Bara Utama (GBU).
Amir mengatakan bahwa pelaksanaan lelang sepenuhnya dilakukan oleh DJKN dalam hal ini KPKNL sebagai penyelenggara atas permintaan dari BPA atau PPA Kejagung.
"Ya lelang dilakukan DJKN, cq KPKNL atas permintaan Kejagung. Jadi KPKNL sebagai pelaksana lelang," kata Amir kepada wartawan dalam keterangan tertulis saat dihubungi di Jakarta, Selasa (11/2).
Untuk diketahui, Kejagung menilai bahwa laporan KSST ke KPK itu keliru dan salah alamat. Karena pelaksanaan lelang menjadi kewenangan PPA atau yang saat ini disebut BPA.
Bahwa adanya proses pelelangan terkait aset PT GBU setelah ada putusan pengadilan MA pada 24 Agustus 2021 itu seluruhnya diserahkan ke PPA, jadi tidak ada pelaksanaan lelang oleh Pak Jampidsus, jadi kalau ada pelaporan ini keliru.
Seluruhnya diserahkan kepada PPA dan pelelangannya diserahkan kepada Dirjen (DJKN) di bawah Kementerian Keuangan," ujar Ketut Sumedana yang ketika itu menjabat Kapuspenkum dalam jumpa pers di Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu (29/5/2024).
Ia menjelaskan proses lelang saham PT GBU. Bahwa proses lelangan PT GBU ini dilakukan penilaian oleh 3 appraisal.
Pertama, yaitu terkait aset atau bangunan alat berat yang melekat di PT GBU dengan nilai kurang lebih Rp 9 miliar. Kemudian ada juga perhitungan oleh appraisal yang kedua terkait dengan PT GBU dengan nilai Rp 3,4 triliun.
"Dari hasil dua tadi dilakukan satu proses pelelangan pertama, tetapi satu pun tidak ada yang menawar, jadi kalau dibilang ada kerugian Rp 9 triliun, di mana kerugian Rp 9 triliunnya? Rp 3,4 triliun yang kita tawarkan tidak ada yang menawar dan membeli sahamnya, ditambah dengan Rp 9 miliar. Dan yang laku cuma yang Rp 9 miliar," jelas Ketut.
Karena tidak ada penawaran dalam lelang tersebut, Kejagung membuka proses lelang kedua. "Karena tidak ada yang menawar, maka dibuka proses pelelangan kedua dengan melakukan foto appraisal. Pada saat lelang kedua ternyata nilainya mengalami fluktuasi karena nilai sahamnya dipengaruhi oleh harga batu bara pada saat itu. Sehingga kita memperoleh nilai Rp 1,9 triliun. Itu pun kita lakukan satu pelelangan dengan jaminan. Kenapa ada dengan jaminan? Karena di dalam PT GBU itu ada piutang. Ada utang dari perusahaan lain, kurang lebih USD 1 juta, kalau dihitung pada saat itu kurang lebih Rp 1,1 triliun," tuturnya.
Ketut mengatakan, pada proses lelang kedua, ada seseorang yang menawar. Orang tersebut ditetapkan menjadi pemenang. Ia melanjutkan alasan proses lelang cepat karena Kejagung mengaku mengejar pemasukan ke kas negara.
"Karena satu orang yang menawar, maka kita tetapkan sebagai pemenang. Kenapa ini cepat kita lakukan satu proses pelelangan? Perlu teman-teman media ketahui. Karena ini untuk segera dimasukkan ke kas negara, untuk membayar para pemegang polis dan trainee," jelasnya.
Ketut mengatakan setelah proses lelang selesai. Uang hasil lelang diserahkan seluruhnya ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Alasan diserahkan ke Kemenkeu untuk menghindari proses hukum karena PT GBU disebut komplikatif.
"Begitu proses pelayanan lelang selesai, semua uang kita serahkan ke Kementerian Keuangan. Proses pembayaran kepada pemegang polis dan premi yang sedang berjalan," tukasnya. (LA ASWAN)
Topik:
Zarof Ricar Jampidsus Kejagung Kejagung Febrie Adriansyah