Temuan BPK Ini Pintu Masuk Kejagung Periksa Nicke Widyawati dan Alfian Nasution

Firmansyah Nugroho
Firmansyah Nugroho
Diperbarui 15 Maret 2025 01:14 WIB
Mantan Dirut PT Pertamina Patra Niaga (PPN) Alfian Nasution yang kini menjabat sebagai  Direktur Logistik & Infrastruktur PT Pertamina (kiri) dan mantan Direktur Utama PT Pertamina, Nicke Widyawati (Foto: Kolase MI/Aswan/Diolah)
Mantan Dirut PT Pertamina Patra Niaga (PPN) Alfian Nasution yang kini menjabat sebagai Direktur Logistik & Infrastruktur PT Pertamina (kiri) dan mantan Direktur Utama PT Pertamina, Nicke Widyawati (Foto: Kolase MI/Aswan/Diolah)

Jakarta, MI - Duit Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memang selalu menggoda para pencoleng duit negara. Semakin besar BUMN, maka semakin besar pula godaannya. Penguatan dan pengawasan dari Menteri BUMN dan aparat penegak hukum mutlak diperlukan untuk menjaga salah satu lumbung negara dari gerogotan tikus-tikus kantor. 

Salah satu perusahaan BUMN tersorot saat ini adalah PT Pertamina. Perusahaan pelat merah ini merupakan salah satu BUMN paling produktif.

Sampai dengan Oktober 2024, PT Pertamina (Persero) mencatat laba bersih sebesar Rp 41,34 triliun atau US$ 2,6 miliar. Pendapatan perusahaan migas ini mencapai US$ 62,5 miliar. 

Perbandingan laba bersih Pertamina pada tahun-tahun sebelumnya yakni pada tahun 2022, Pertamina membukukan laba bersih sebesar US$ 3,81 miliar atau setara Rp 60,66 triliun dan pada tahun 2023, Pertamina membukukan laba bersih sebesar US$ 4,44 miliar atau Rp 70,72 triliun.

Di balik laba tersebut, publik dibuat heboh dengan dugaan rasuah yang saat ini diusut penyidik gedung bundar Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung). Yakni soal dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) tahun 2018–2023.

Kerugian negara dalam kasus ini akan lebih besar dari yang sudah diumumkan, yaitu Rp 193,7 triliun. Sebab, kerugian Rp 193,7 triliun ini baru merupakan perhitungan dari tahun 2023 saja. Sementara, kasus ini terjadi dari 2018 hingga 2023. 

“Kemarin yang sudah disampaikan dirilis itu Rp 193,7 triliun, itu tahun 2023. Makanya, kita sampaikan, secara logika hukum, logika awam, kalau modusnya itu sama, ya berarti kan bisa dihitung, berarti kemungkinan lebih,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar, saat ditemui di kawasan Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (26/2/2025). 

Namun, perhitungan pasti kerugian negara ini perlu dilakukan oleh ahli keuangan. Besaran kerugian negara ini juga bisa jadi berbeda di tahun kejadian atau pada jumlah di masing-masing komponennya. “Misalnya apakah setiap komponen itu di 2023 juga berlangsung di 2018, 2019, 2020, dan seterusnya. Kan, ini juga harus dilakukan pengecekan,” ujar Harli. 

Melansir dari keterangan resmi Kejaksaan Agung, kerugian negara sementara mencapai Rp 193,7 triliun. Kerugian ini terbagi menjadi lima komponen, yaitu: 

1. Kerugian Ekspor Minyak Mentah Dalam Negeri sekitar Rp 35 triliun. 
2. Kerugian Impor Minyak Mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp 2,7 triliun. 
3. Kerugian Impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp 9 triliun. 
4. Kerugian Pemberian Kompensasi (2023) sekitar Rp 126 triliun. 
5. Kerugian Pemberian Subsidi (2023) sekitar Rp 21 triliun.

Kendati, untuk mengetahui kerugian negara Pertamina yang disebut Rp193,7 triliun tersebut penting peranan para ahli. Sehingga Kejagung tidak asal-asalan dalam menentukan kerugian negara. 

“Harusnya didasarkan pada audit dari BPK,” kata pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti (Usakti) Abdul Fickar Hadjar kepada Monitorindonesia.com, Jumat (14/3/2025).

Abdul Fickar Hadjar
Abdul Fickar Hadjar (Foto: Dok MI)

Menurut dia, peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di awal penyelidikan perkara korupsi itu sangat strategis. "Sepanjang sudah di-back up dengan perhitungan kerugian negara dari ahli, penyelidikan perkara sudah bisa jalan," tandasnya.

Adapun korupsi yang menyelimuti PT Pertamina itu menunjukkan kebobrokan dan masih banyaknya celah kebocoran. Dalam hal tata kelola pengadaan minyak mentah dan produk kilang misalnya, ternyata masih sengkarut. 

Hal ini berujung pada pemborosan hingga berpotensi merugikan keuangan negara melalui perusahaan pelat merah itu. Hal itu merujuk laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2018-2021.

Bahwa Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dengan Tujuan Tertentu atas Pengadaan Minyak Mentah dan Produk Kilang Tahun 2018 sampai dengan Semester I Tahun 2021 pada PT Pertamina (Persero), Subholding dan Instansi Terkait Lainnya di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan nomor 40/AUDITAMA VII/PDTT/04/2022 itu turut diketahui dan ditanda tangani Nicke Widyawati sebagai Direktur Utama PT Pertamina pada 13 April 2022 terdapat sejumlah masalah.

Berkaitan dengan pengadaan minyak mentah, BPK menemukan permasalahan bahwa Pertamina membeli kargo MM Bonga PO 670/T00300/2018-S0 dari Vitol dengan tanggal terakhir ADD yang disepakati adalah 23 Juli 2018. Kapal kargo tiba di Balikpapan dan siap untuk dilakukan pembongkaran kargo pada tanggal 2 Agustus 2018 sehingga kedatangan kargo mengalami keterlambatan selama 10 hari. 

Mengacu ketentuan GTC Pertamina, apabila terjadi keterlambatan pengiriman dengan kriteria tanggal NOR Tendered melebihi 7 hari dari tanggal akhir ADD dan keterlambatan mengakibatkan pengiriman terealisasi pada bulan berikutnya maka perhitungan base price dapat menggunakan rata-rata bulan alokasi atau bulan realisasi (pilih yang lebih rendah). 

"Pertamina melakukan pembayaran kepada Vitol menggunakan rerata Dated Brent bulan Juli 2018 sebesar USD73,9 juta. Pembayaran MM Bonga kepada Vitol apabila menggunakan rerata Dated Brent bulan Agustus 2018 adalah sebesar USD72,3 juta. Dengan demikian, pembayaran kargo MM Bonga mengakibatkan Pertamina menanggung pemborosan keuangan perusahaan sebesar USD1,6 juta," tulis dalam LHP BPK 40/AUDITAMA VII/PDTT/04/2022 dikutip Monitorindonesia.com, Sabtu (15/3/2025).

Lalu, BPK menyatakan bahwa Pertamina membeli kargo MM Bonny light dan Qua Iboe PO 1377/T00300/2019-S0 dengan Incoterm FOB. Untuk jasa pengangkutan dan pengiriman kargo, Pertamina menunjuk PT Pertamina International Shipping (PT PIS).

Biaya pengangkutan MM Qua Iboe yang disepakati dalam kesepakatan awal adalah sebesar USD3,02 juta dan kemudian dilakukan penyesuaian tarif pengangkutan menjadi USD6,02 juta dengan alasan PT PIS tidak dapat mencari kapal yang sesuai dengan harga kesepakatan awal karena perubahan kondisi pasar. 

Penyesuaian tarif MM Qua Iboe seharusnya tidak perlu dilakukan karena tidak terdapat amandemen tanggal pengiriman sehingga tidak ada dasar yang memadai untuk melakukan penyesuaian tarif pengangkutan.

Penyesuaian tarif pengangkutan MM Qua Iboe tersebut mengakibatkan indikasi kerugian perusahaan sebesar USD2,99 juta. Biaya pengangkutan MM Bonny Light yang disepakati dalam kesepakatan awal adalah sebesar USD3,199 juta. 

Pertamina mengajukan pembatalan pengangkutan dikarenakan ketidakpastian laycan MM Bonny Light. Pembatalan kargo ini berpengaruh terhadap harga pengangkutan dan pengiriman kargo Bonny Light yang telah disepakati di awal.

"Sehingga pada saat pengajuan untuk pengangkutan kargo MM Bonny Light ini dilakukan penyesuaian tarif pengangkutan menjadi USD8,176 juta. Penyesuaian tarif pengangkutan MM Bonny Light ini mengakibatkan pemborosan keuangan perusahaan senilai USD4,978 juta," lanjut BPK.

Sementara berkaitan dengan pengadaan produk kilang, BPK menemukan permasalahan bahwa Pertamina memenangkan Trafigura Asia Trading Pte Ltd (TAT) sebagai pemenang direct negotiation walaupun TAT belum mendaftar dua DMUT dan memberikan kepada TAT atas persyaratan registrasi DMUT dan performance bond. 

Dalam proses pengadaan TAT sepakat untuk memberikan tambahan pembayaran sebesar USD250.000,00 di awal perjanjian dan tambahan sebesar 
USD0.10 per barel untuk setiap volume yang disepaki yang melebihi 400 MB.

Dalam korespondensi surel, Trafigura selalu menyatakan bahwa pembayaran kepada Pertamina merupakan komitmen Trafigura untuk mencari solusi yang dapat disepakati bersama atas dispute, menerima pendaftaran TAT ke dalam DMUT dan mencabut status blacklist Trafigura. 

Realisasi invoice untuk menagih pembayaran tambahan atas transaksi dengan TAT sampai dengan bulan Oktober 2021 adalah sebesar USD580.300.00. 

"Penerimaan penawaran pembayaran tambahan tanpa penegasan status peruntukan yang jelas dapat diartikan Pertamina menerima tawaran Trafigura untuk dapat mengikuti kembali pengadaan di Pertamina serta agar TAT dapat diterima ke dalam DMUT," jelas BPK.

Lalu, soal Hin Leong Trading Pte Ltd gagal mengirimkan dua kargo yang diminta oleh Pertamina. Atas hal tersebut Pertamina belum memperoleh penggantian atas biaya tambahan yang timbul untuk kargo penggantinya karena Pertamina dan Hin Leong sepakat untuk menghapus klausul 'Failure of Delivery" dalam GTC. 

Klausul, lanjut BPK, tersebut mengatur jika terjadi kegagalan suplai oleh supplier, maka Pertamina berhak mengajukan klaim biaya langsung atau tidak langsung atas kargo penggantinya. 

"Hal tersebut mengakibatkan Pertamina harus menanggung kerugian atas kegagalan suplai Gasoline 92 RON Unl. (Spot oleh Hin Leong minimal sebesar USD2.135.000,00," jelas BPK.

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan kecuali hal-hal yang dijelaskan pada paragraf di atas, BPK menyimpulkan bahwa Pengadaan Minyak Mentah dan Produk Kilang Tahun 2018 sampai dengan Semester 1 Tahun 2021 pada PT Pertamina (Persero), Subholding dan Instansi Terkait Lainnya, telah dilaksanakan sesuai dengan kriteria yang dinyatakan di atas, dalam semua hal yang material.

Selanjutnya, Badan Pemeriksa Keuangan sampai dengan periode Semester II Tahun 2021 telah melakukan pemantauan tindak lanjut rekomendasi Hasil Pemeriksaan terkait Pengadaan Minyak Mentah dan Produk Kilang dengan rekapitulasi sebagai berikut.

Temuan BPK Ini Pintu Masuk Kejagung Periksa Nicke Widyawati dan Alfian Nasution

"Hasil pemantauan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan BPK dalam LHP tersebut posisi per Semester II 2021 diketahui bahwa dari 35 rekomendasi yang diberikan oleh BPK, sebanyak 22 rekomendasi telah ditindaklanjuti sesuai rekomendasi dan 13 rekomendasi tindak lanjutnya belum sesuai," tulis BPK.

PT Pertamina Patra Niaga

Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu atas Kegiatan Operasional Perusahaan Tahun Anggaran 2017-2019 pada PT Pertamina Patra Niaga sebagai Commercial and Trading Subholding dan Entitas Terkait Lainnya di Jakarta, Jawa Timur dan Kalimatan Timur Uditorat Utama Keuangan Negara VIII Nomor: 32/AUDITAMA VII/PDTT/07/2021, ditemukan sejumlah masalah. LHP itu diketahui dan ditanda tangani Alfian Nasution sebagai Direktur Utama Patra Niaga pada 4 Juni 2021.

Bahwa BPK menemukan permasalahan soal proses penyelesaian piutang macet PT PPN yang kurang memadai. Terdapat selisih
pengakuan piutang oleh PT PPN pada beberapa customer antara lain pada PT Asmin Koalindo Tuhup (PT AKT), PT Emar Elang Perkasa (PT EEP), PT GSM Maritime PTE Ltd (PT GSM), dan PT Bumi Asri Prima Pratama (PT BAPP). 

"Proses penyelesaian piutang macet PT PPN yang kurang memadai tersebut berdampak pada potensi kerugian atas sengketa pengakuan nilai piutang minimal sebesar Rp112.260.413.090,00 serta PT PPN tidak dapat segera dapat memanfaatkan dana untuk keperluan operasional perusahaan karena piutang macet sebesar USD34.922.443,08," tulis BPK dalam LHP Nomor: 32/AUDITAMA VII/PDTT/07/2021.

Selanjutnya BPK menemukan masalah soal kehilangan potensi penerimaan dari sanksi berupa denda keterlambatan dan bunga sebesar minimal Rp290.969.989.297,00 atas penjualan produk BBM secara non tunai tanpa jaminan. 

"Terdapat penjualan produk BBM kepada empat customer secara non tunai tanpa jaminan yaitu PT EEP, PT GSM, PT BAPP, dan PT AKT. PT EEP, PT
GSM, dan PT BAPP melakukan pembelian produk BBM yaitu HSD tanpa didasari adanya perjanjian tertulis. Penjualan BBM non tunai tersebut dilakukan hanya menggunakan Purchase Order (PO). Hanya PT AKT yang melakukan pembelian produk BBM yaitu HSD dengan perjanjian tertulis," jelas BPK.

BPK menjelaskan bahwa penjualan BBM non tunai tersebut dilakukan tanpa credit approval dari Komite Kredit, hanya berupa memo persetujuan dari Dewan Direksi. Penjualan produk BBM secara non tunai tanpa jaminan berdampak pada kehilangan potensi penerimaan dari sanksi berupa denda keterlambatan dan bunga minimal sebesar Rp290.969.989.297,00.

Lalu, BPK juga menemukan masalah soal kerugian akibat penyelesaian piutang macet PT IMK minimal sebesar Rp116.366.475.024,20. Piutang tersebut berasal dari transaksi sejak tahun 2010 berdasarkan kontrak jual beli yaitu Perjanjian Jual Beli PT PPN dan PT IMK No. 249/300.302/KTR/2010 tanggal 17 Mei 2010. Perjanjian tersebut mengatur pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis High Speed Diesel, jasa transportasi BBM, dan jasa handling BBM. 

Pembelian tersebut menggunakan Purchase Order (PO) dengan volume sebanyak 600 KL. Penjualan produk BBM tersebut secara non tunai tanpa
jaminan dan atas penjualan tersebut timbul piutang yang tidak dapat ditagih yaitu piutang macet sebesar Rp100.442.138.049,00. 

BPK menjelaskan bahwa proses penyelesaian piutang PT IMK telah masuk legal action dan pada tahun 2014 telah dibuat putusan pengesahan perdamaian (homologasi) oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 07/Pdt.Sus-PKPU/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 3 Maret 2014 dimana nilai utang PT IMK kepada PT PPN berikut dendanya sebesar Rp135.814.127.204,00.

"Berdasarkan perhitungan putusan homologasi, PT PPN hanya akan menerima penjualan piutang maksimal sebesar Rp19.447.652.179,80 dan minimal sebesar 3 Rp12.889.537.974,56 dari total nilai piutang macet sebesar Rp135.814.127.204,00 sehingga PT PPN akan menderita kerugian akibat kehilangan penerimaan dari pengembalian piutang yang tidak dapat tertagih maksimal sebesar Rp122.924.589.229,44 dan minimal sebesar Rp116.366.475.024,20," ungkap BPK.

Kemudian juga, BPK menemukan masalah soal ketidaktegasan Direksi PT PPN dalam pencairan jaminan pembayaran berupa Bank Garansi sebesar Rp244.897.893.000,00. PT PPN melakukan penjualan produk BBM yaitu HSD secara non tunai dengan jaminan bank garansi kepada PT KSE dan PT AS.

BPK dalam laporannya itu menjelaskan bahwa penjualan produk BBM tersebut tanpa didasari adanya perjanjian tertulis dan hanya menggunakan purchase order (PO). PT KSE dan PT AS mengajukan beberapa kali permohonan penundaan pembayaran piutang dan penundaan pencairan bank garansi namun PT PPN masih memberikan kesempatan penyaluran BBM dimana seharusnya PT PPN melakukan penghentian penyaluran produk sesuai dengan pedoman pengelolaan piutang ketika piutang customer masuk kategori macet. 

"Ketidaktegasan Direksi PT PPN dalam pencairan jaminan pembayaran berupa Bank Garansi berdampak pada PT PPN tidak dapat segera memanfaatkan dana yang berasal dari pencairan jaminan bank garansi serta kehilangan potensi penerimaan pendapatan dari denda keterlambatan pembayaran piutang," beber BPK.

Tak hanya itu saja, adanya indikasi pengaturan pemilihan mitra pelaksana pembangunan Depot Mini LPG Pressurized di Lombok serta perencanaan yang tidak memadai juga menjadi temuan BPK. 

Bahwa hasil penelusuran dokumen pengadaan, tidak ada dasar atau justifikasi penentuan undangan kepada empat calon vendor yang diundang selain itu tidak dapat diketahui alasan mengundang empat calon vendor tersebut dan tidak ditemukan korespondensi bukti pengiriman undangan tersebut. 

Penelusuran lebih lanjut, orang yang mewakili PT. Petrojaya Adi Perkasa dan PT Prima Bakti Mandiri sebagai peserta dalam kegiatan pengadaan adalah pegawai PT ACB. 

Hasil penelusuran lebih lanjut atas dokumen profil perseroan yang diperoleh dari Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) diketahui bahwa Komisaris dan Direktur peserta pengadaan berstatus sebagai pegawai pada PT ACB. Selain itu Penunjukan langsung PT ACB tidak sesuai dengan Kerangka Acuan Kerja yang mensyaratkan dokumen teknis berupa pengalaman pekerjaan sejenis paling sedikit dua tahun terkait pembangunan dan kerjasama operasi yang memiliki nilai proyek minimal sama dengan proyek yang akan ditangani.

Selanjutnya, soal perencanaan pekerjaan pembangunan Depot Mini LPG Pressurized di Donggala oleh Patra Trading kurang memadai serta adanya keterlambatan pelaksanaan pekerjaan. Proses pemilihan investor yang cukup lama menyebabkan pekerjaan pembangunan Depot Mini LPG Pressurized di Sulawesi Tengah berhenti pada bulan Maret 2018 sampai dengan Oktober 2019. 

"Pembayaran kepada PT PBAS oleh Patra Trading baru terealisasi pada tanggal 23 Februari 2018 sementara pekerjaan pembangunan sudah dimulai pada tanggal 15 Agustus 2016. Berhentinya pekerjaan sejak 27 April 2018 hingga Oktober 2019 dan belum selesainya pekerjaan hingga saat ini menimbulkan pemborosan dan potensi pemborosan pekerjaan sebesar Rp6.112.778.515,00 dan Rp22.852.337.013,00," jelas BPK.

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan, kecuali hal-hal yang dijelaskan pada paragraf di atas, BPK menyimpulkan bahwa kegiatan operasional perusahaan mencakup pendapatan, biaya, dan investasi tahun 2017 s.d 2019, telah dilaksanakan sesuai dengan kriteria yang dinyatakan di atas, dalam semua hal yang material.

Selanjutnya, Badan Pemeriksa Keuangan sampai dengan periode Semester II Tahun 2020 melakukan pemantauan tindak lanjut rekomendasi Hasil Pemeriksaan terkait Kegiatan Trading dan Fleet Management dan Hasil Pemeriksaan terkait Kegiatan Operasional PT Pertamina Patra Niaga dengan rekapitulasi sebagai berikut

Temuan BPK Ini Pintu Masuk Kejagung Periksa Nicke Widyawati dan Alfian Nasution

Hasil pemantauan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan BPK dalam kedua LHP tersebut posisi per Semester II 2020 diketahui bahwa dari 83 rekomendasi yang diberikan oleh BPK, sebanyak 74 rekomendasi telah ditindaklanjuti sesuai rekomendasi dan 9 rekomendasi tindak lanjutnya belum sesuai.

Usai Ahok, Kejagung akan memeriksa Nicke dan Alfian

Kejaksaan Agung (Kejagung) akan memeriksa mantan Direktur Utama Pertamina Persero, Nicke Widyawati dan mantan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Alfian Nasution. 

Rencana tersebut dilakukan usai mantan Komisaris Utama Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok diperiksa pada Kamis (13/3/2025) kemarin.

Sementara Ahok sendiri sempat menyatakan bahwa keduanya kudu diperiksa, namun semua tergantung daripada kebutuhan penyidikan. "Bisa nanya ke penyidik," kata Ahok kepada Monitorindonesia.com, Jumat (14/3/2025).

Adapun peluang pemeriksaan terhadap Nicke dan Alfian itu sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar menyoal saksi-saksi yang perlu digarap di kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023. 

Pun, Ahok juga kemungkinan akan diperiksa lagi penyidik gedung bundar Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus).

“Tidak tertutup juga kemungkinan untuk (Ahok) dipanggil lagi, termasuk kepada pihak-pihak mana pun yang terkait dengan peristiwa ini apakah direksi, apakah jajaran komisaris dan seterusnya, apakah di jajaran subholding maupun di holding-nya,” kata Harli saat ditemui di kawasan Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (14/3/2025). 

Harli Siregar
Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar (Foto: Dok MI)

Sejauh ini, tambah Harli, penyidik telah memeriksa lebih dari 120 saksi. Tetapi, belum ada nama Nicke Widyawati maupun Alfian Nasution di dalam daftar nama tersebut. “Sampai hari ini, ada sekitar lebih dari 120 orang. Dan, ini kan kalau kita lihat kan tahunnya kan tempusnya kan 2018-2023 dan memang ada banyak-banyak orang yang harus dimintai keterangan terkait itu,” jelas Harli. 

Harli mengatakan, sejumlah saksi memang sudah beberapa kali diperiksa sesuai dengan kebutuhan penyidik. Menurut dia, pemanggilan saksi-saksi juga mengikuti kebutuhan penyidik dalam mengungkap perkara, mana yang perlu diutamakan untuk membuat terang kasus ini. 

“Nanti kita lihat apakah penyidik sudah merencanakannya (pemanggilan Nicke) karena ini kan terkait dengan kebutuhan penyidikan dan terkait dengan perbuatan para tersangka. Tentu, pihak-pihak mana yang lebih diutamakan dulu untuk membuat terang perkara ini, tentu itu yang akan didahulukan,” ujar Harli. 

Apa kata Ahok usai diperiksa?

Mantan Komisaris Utama (Komut) PT Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) agar memeriksa mantan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga (PPN) Alfian Nasution dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023. 

"Ia (harusnya diperiksa Kejagung). Bisa nanya ke penyidik" kata Ahok kepada Monitorindonesia.com, Jumat (14/3/2025).

Ahok juga usai diperiksa Kejagung pada Kamis (13/3/2025) kemarin menyebut bahwa Alfian merupakan orang lama di Pertamina. Lalu saat ini Alfian menjabat sebagai Direktur Logistik dan Infrastruktur di PT Pertamina Persero. 

Ahok
Mantan Komisaris Utama (Komut) PT Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok usai diperiksa Kejagung, Kamis (13/3/2025) (Foto: Dok MI/Albani Wijaya)

“Saya kira nanti beliau bisa sudah dipanggil atau belum, saya enggak tahu. Harusnya sudah dipanggil ya. Kan masih dirut yang lama," kata Ahok.

Kalau Riva sudah tersangka, tambah dia, seharusnya sudah saatnya Kejagung memeriksanya. Sebab dia paling lama di PT PPN itu, yakni dari 2018-2021. "Kalau Pak Riva kena (jadi tersangka), harusnya dirutnya (sebelum Riva) juga dipanggil, mungkin ya,” jelas Ahok.

Dalam pemeriksaan Kemarin, Ahok mengaku menjelaskan soal agenda dan isi rapat ketika dia masih menjabat sebagai Komisaris Utama Pertamina di tahun 2019-2024.  “Saya cuma sampaikan agenda rapat kita terekam, tercatat,” kata Ahok menambahkan.

Karena Ahok sudah mundur dari Pertamina, maka dia tidak lagi bisa memberikan data yang dibutuhkan penyidik. Untuk mendapatkan data-data yang diperlihatkan dan dijelaskan Ahok, penyidik harus meminta langsung kepada Pertamina. 

“Silakan di Kejaksaan Agung untuk meminta dari Pertamina. Nah, saya sendiri sampaikan bahwa ini ya, sebatas itu, kita tahu lah,” lanjut dia. 

Ahok menegaskan, dirinya bersedia membantu penyidik untuk mengungkap perkara yang ada.

“Tentu, saya sampaikan pada Kejaksaan Agung penyidik. Intinya, saya mau membantu. Mana yang kurang nanti setelah dia dapat data-data dari Pertamina, setelah mereka pelajari, (Ahok akan datang lagi jika dipanggil),” tutur Ahok.

Ahok juga sebelumnya menyatakan bahwa dirinya punya rekaman dan notulensi tiap rapat selama menjabat Komut Pertamina. 

Apa yang terjadi di Pertamina hari ini, merupakan praktik yang sudah lama. “Menurut saya ini permainan sudah lama, yang masing-masing penguasa tidak mau stop,” jelas Ahok.

Di sisi lain, Ahok mengatakan saat jadi Komut selalu mengancam memecat bawahannya di Pertamina ketika ngeyel. Namun dia tidak punya kewenangan untuk memecat.

“Kalian jangan anggap saya enggak berdaya hari ini. Mungkin ada yang menganggap saya macan ompong di Pertamina,” ucapnya.

“Tapi tunggu. Semua catatan yang saya pegang, suat hari ganti rezim, kupenjarakan kalian semua. Catat baik-baik kalimat saya,” tambahnya.

Jika rezim ingin membereskan korupsi di Pertamina, menurutnya catatannya selama ini sudah cukup. “Saya bisa baik-baik keluar dari sini, tapi catatan yang saya punya kalau rezim betul-betul membereskan korupsi Migas dan Pertamina, saya dengan data ini akan menjamin penjarakan kalian semua,” imbuhnya.

Ia menduga Direktur Utama Pertamina Patra Niaga yang telah ditetapkan tersangka bukan satu-satunya pemain. Pun dia menyebut oknum Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) walau tak mendetail identitasnya. "Makanya saya harap ini kasus ini buka hanya Reva Patra niaga kok. Mana mungkin, saya kira oknum BPK bisa terlibat. Anda yang audit kok,” pungkasnya.

Sekadar tahu, bahwa Ahok diperiksa pada Kamis (13/3/2025) kemarin untuk berkas perkara semua tersangka yang saat ini berjumlah sembilan orang. 
Dari sembilan tersangka itu, enam di antaranya merupakan petinggi dari anak usaha atau subholding Pertamina.

Keenamnya yakni Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan;  Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi; Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin;

Kemudian, VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono; Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya; dan VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne.

Sementara itu, ada tiga broker yang menjadi tersangka yakni Muhammad Kerry Adrianto Riza selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa; Dimas Werhaspati selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; dan Gading Ramadhan Joedo selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

Tersangka Korupsi Pertamina

Kejagung menaksir dugaan kerugian negara pada kasus ini mencapai Rp 193,7 triliun. 

Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Penting diketahui bahwa bukan sekali saja Dirut Pertamina harus berakhir dibui akibat terlalu jauh terlibat dalam jeratan mafia minyak di Pertamina dan kemudian terbukti korupsi. 

Ketegasan dan kecerdasan penegak hukum tentunya dengan integritas yang terukur kini menjadi tumpuan harapan rakyat untuk bisa mendorong pembersihan di tubuh perusahaan minyak ini. 

Pemeriksaan terhadap Nicke dan Alfian diperlukan diperlukan karena tempus delicti atau waktu terjadinya suatu tindak pidana korupsi periode 2018-2023. Begitu pun dengan petinggi PT Pertamina di periode itu tak ada alasan lagi untuk tidak diperiksa jika mengetahuinya sebagaimana kebutuhan penyidik JAM Pidsus Kejagung. (wan)

Topik:

Kejagung BPK Pertamina Nicke Widyawati Alfian Nasuiton