Ketua MPR RI Tegaskan Tak Bahas  Perpanjangan Periodisasi Presiden di Amandemen UUD 

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 13 September 2021 17:14 WIB
Monitorindomesia.com - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) bersama Ketua Bidang Hukum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas dan Ketua Fraksi Partai Demokrat Benny Harman memahami tentang pentingnya Indonesia memiliki Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai bintang penunjuk arah pembangunan. MPR RI melalui Badan Pengkajian memahami dengan Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI serta melibatkan pakar/akademisi dari berbagai disiplin ilmu, termasuk Lembaga Negara dan Kementerian Negara, sedang menyelesaikan Rancangan PPHN naskah akademiknya. Ditargetkan pada awal tahun 2022 sudah selesai. Badan Pengkajian MPR RI juga telah melakukan kajian tentang pilihan bentuk hukum PPHN, yakni bisa dimasukkan dalam konstitusi, Ketetapan MPR, atau undang-undang. Paling ideal menurut laporan Badan Kajian MPR yang disampaikan pada pimpinan MPR pada Januari 2021 lalu dilakukan dalam bentuk Ketetapan MPR. Bukan melalui undang-undang yang masih dapat diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. "Juga tidak diatur langsung dalam konstitusi, karena PPHN adalah kebijakan yang berlaku periodik, dan disusun berdasarkan dinamika kehidupan masyarakat, serta bersifat direktif, tidak normatif seperti halnya konstitusi. Maka materi PPHN tidak mungkin dirumuskan dalam satu pasal atau satu ayat saja dalam konstitusi, " ujar Bamsoet dalam Webinar yang diselenggarakan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, secara virtual dari Bali, Senin (13/9/2021). Turut hadir antara lain Ketua LHKP PP Muhammadiyah Yono Reksoprodjo, Wakil Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah Titi Anggraini, Peneliti Senior LIPI Siti Zuhro, dan Peneliti Senior Pusat Kajian Konstitusi dan Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Jakarta Iwan Satriawan. Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, pemilihan Ketetapan MPR sebagai bentuk hukum yang ideal bagi PPHN, memiliki konsekuensi adanya amandemen terbatas, setidaknya terkait dengan dua pasal dalam konstitusi. Antara penambahan ayat pada pasal 3 yang memberi wewenang kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN, serta penambahan ayat pada pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan oleh Presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN. "Kekhawatiran amandemen terbatas akan membuka kotak pandora dan membuka peluang membuka amandemen pada substansi lain di luar PPHN, juga tidak beralasan dan terlalu prematur. Proses panjang amandemen sudah diatur dalam ketentuan 37 ayat 1-3 UUD NRI 1945. Ayat 1 menjelaskan, usul perubahan pasal-pasal konstitusi dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh setidaknya 1/3 dari jumlah anggota MPR, sekitar 237 dari 711 jumlah MPR dan pengambilan keputuasannya harus memenuhi kuorum 2/3 anggota MPR yang terdiri dari 9 Fraksi di DPR dan 136 anggota DPD,” jelas Bamsoet. Kepala Bela Negara FKPPI dan Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menambahkan, di ayat 2 dijelaskan bahwa setiap usul perubahan pasal-pasal konstitusi harus diajukan secara dan dengan jelas yang diusulkan untuk diubah proposalnya. Sedangkan di ayat 3, dijelaskan untuk mengubah pasal-pasal konstitusi, sidang MPR harus dihadiri sedikitnya 2/3 dari jumlah anggota MPR, sekitar 474 dari 711 anggota MPR. Sementara di ayat 4 dijelaskan, keputusan mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sedikitnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari anggota MPR, sekitar 357 dari 711 anggota MPR. "Sehingga tidak mungkin ada feri gelap di luar PPHN. Seperti untuk mengubah periode jabatan kepresidenan menjadi 3 periode," pungkas Bamsoet.[Lin]

Topik:

MPR RI Amandemen UUD 1945