Mafia Minyak Goreng Ditangkap, Tingkat Kepuasan Publik kepada Presiden Jokowi-Jaksa Agung Meningkat

Surya Feri
Surya Feri
Diperbarui 28 April 2022 16:58 WIB
Jakarta, MI - Tingkat kepuasan publik kepada Presiden Jokowi dan Jaksa Agung ST Burhanuddin meningat pasca ditangkapnya mafia minyak goreng yang meresahkan masyarakat. Direktur eksekutif Lembaga Survey Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, tren kepuasan terhadap Presiden Jokowi sempat menurun dibanding survei awal Januari 2022 yang pada saat itu mencapai 75%. Tren kepuasan ini kembali melorot seiring dengan mulai langkanya minyak goreng. Pada Februari 2022, kepuasan Presiden menjadi 71% merosot menjadi 64,6% menurut SMRC pada Maret 2022. Dengan demikian, dalam empat survei terakhir kepuasan Presiden terus merosot hingga di bawah 60% pada pertengahan April 2022. “Namun uniknya, pada survei kedua yang kami lakukan pada 20-25 April 2022, approval rating Presiden Jokowi justru meningkat cukup lumayan dari 59% menjadi 64,1%,” ujar Burhanuudin dalam paparan release survey Indikator pada Kamis (28/4/2022). Hadir dalam paparan survey tersebut Menkopolhukam Mahfud MD, Ketua Persepsi Philips Vermonte yang digelar secara daring. Survei Nasional digelar 20–25 April 2022. Pengalaman selama ini, kata Burhanudin, responden survei telepon cenderung lebih kritis dibanding warga secara umum. Pada survei-survei telepon sebelumnya, approval Presiden biasanya lebih rendah dibanding survei tatap muka. “Tidak ada kejadian lain yang terjadi pada satu pekan terakhir kecuali dua peristiwa penting yang bisa menjelaskan mengapa kepuasan terhadap presiden meningkat kembali,” papar Burhanuddin. Pertama, kata dia, langkah Jaksa Agung menetapkan tersangka kasus ekspor minyak goreng. Kedua, pengumuman Presiden Jokowi menyetop ekspor minyak sawit hingga kebutuhan warga bisa terpenuhi secara memadai. “Dua peristiwa penting ini bisa jadi menjelaskan mengapa tren penurunan kepuasan Presiden berhenti, dan bukan hanya itu juga meningkatkan kembali approval rating Jokowi,” jelasnya. Survei menemukan betapa krusialnya migor dalam menjelaskan approval Presiden. Selama ini Indikator Politik menemukan naik-turunnya kepuasan terhadap presiden sangat dipengaruhi oleh tingkat inflasi. Namun, kelangkaan minyak goreng selama berbulan-bulan diyakini menurunkan approval rating Presiden karena meskipun terjadi surplus perdagangan dan naiknya pajak, hal-hal ini tidak dirasakan masyarakat luas. Hasil temuan Indikator, 84% warga secara nasional mengaku sulit menemukan minyak goreng. Pada survei terakhir setelah terjadi penegakan hukum kasus minyak goreng dan pengumuan Presiden melarang ekspor bahan baku minyak goreng, responden yang mengaku masih sulit mendapat minyak goreng menurun signifikan. Pada survei 14-19 April, 73% mereka juga tahu bahwa minyak goreng langka karena minyak goreng lebih banyak diekspor keluar negeri. Sebanyak 86% lebih juga yakin kelangkaan minyak goreng karena ulah para mafia. “Hal ini yang menjelaskan mengapa kemudian dukungan publik sangat besar diberikan kepada Jaksa Agung dalam memerangi mafia minyak goreng yang kemudian berkorelasi dengan peningkatan kepuasan terhadap presiden,” tambah Burhanuddin. Namun demikian, situasi saat ini tetap menunjukkan celah kritis dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi nasional. Pada tingkat kepercayaan warga yang tinggi terhadap intitusi penegak hukum, dan tren positif atas evaluasi kinerja lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan KPK, persepsi warga secara umum terhadap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi tampak sangat kritis, terutama pemberantasan korupsi. Dia mencontohkan kasus mega korupsi Bank Century (KPK), Djoko Tjandra (Kepolisian), dan yang paling terkini terkait ekspor minyak goreng (Kejaksaan) tampak kebanyakan warga menaruh keyakinan yang tinggi pada setiap lembaga yang menanganinya mampu menuntaskan kasus-kasus tersebut secara adil. Bentuk keadilan menurut warga kemungkinan besar adalah hukuman berat yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi, terutama jika pelaku adalah pejabat tinggi negara. Mayoritas warga, di hampir setiap basis demografi, mengharapkan pejabat tinggi negara yang menjadi pelaku korupsi dihukum sangat berat, seumur hidup atau bahkan hukuman mati.