Beda Sikap TNI dan Polri soal OPM dan KKB hingga Perpres Tak Kunjung Keluar

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 13 April 2024 14:51 WIB
Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM) (Foto: Istimewa)
Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM) (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Tentara Nasional Indonesai (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) berbeda sikap tentang pergantian penyebutan separatis di Papua dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM). 

Sebelumnya, kelompok separatis berdiri di tanah Papua sejak 1965. Menamakan diri OPM, kelompok itu ingin melepaskan daerah yang dulu bernama Irian Jaya itu dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Seiring berjalan waktu, pemerintah mengganti istilah OPM menjadi KKB. Pemerintah juga menetapkan kelompok tersebut sebagai teroris.

Namun, perbedaan sikap TNI dan Polri dalam penggunaan sebutan untuk kelompok pro-kemerdekaan Papua itu pun dianggap sebagai salah satu cerminan sikap pemerintah Indonesia yang tak mampu merumuskan solusi konflik, sehingga pada akhirnya membuat warga sipil menjadi korban.

Isu ini mengemuka setelah Panglima TNI, Jenderal TNI Agus Subiyanto, memutuskan untuk menggunakan kembali istilah Organisasi Papua Merdeka (OPM) melalui surat telegram tertanggal 5 April 2024, yang baru terungkap ke publik pada Rabu (10/4/2024).

Meski berganti istilah, TNI tetap tidak mentoleransi keberadaan OPM. Menurut Agus, kelompok itu melakukan teror melakukan pembunuhan, pemerkosaan kepada guru, nakes, masyarakat, TNI, dan Polri.

Namun dengan keputusan ini, TNI tak lagi memakai sebutan kelompok separatis teroris (KST) untuk merujuk kelompok pro-kemerdekaan Papua. Sementara itu, posisi terakhir Kepolisian RI masih menggunakan terminologi kelompok kriminal bersenjata (KKB).

“Ini persoalan kebijakan yang saling bertentangan, yang nanti mengorbankan tidak hanya masyarakat Papua, tapi juga anggota kepolisian, TNI, dan organisasi kemanusiaan di lapangan," kata Budi Hernawan, pengamat dan penulis buku Torture and Peacebuilding in Indonesia: The Case of Papua, Sabtu (13/4/2024).

Sementara itu, Direktur lembaga gereja Katolik yang bergerak di bidang advokasi, Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua, Yuliana Langowuyo menyatakan “Kita butuh kejelasan itu dalam rangka minimalisir korban dari masyarakat sipil. Perlu ada status yang jelas supaya masyarakat sipil itu betul-betul bisa diamankan".

Di tengah 'ketidakjelasan' ini, juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Sebby Sambom, menegaskan bahwa apa pun dampak keputusan itu terhadap tindakan TNI di lapangan, mereka tetap siap bertempur.

Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen TNI Nugraha Gumilar, menjelaskan keputusan TNI menggunakan istilah OPM karena kelompok ini memiliki sistem organisasi yang jelas serta ideologi yang ingin memisahkan diri dari Indonesia.

“Dia sendiri menyebutnya Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka. Dia statusnya bukan kriminal lagi karena statusnya sudah menjadi tentara yang punya tujuan politik sendiri,” ujar Nugraha.

Nugraha menambahkan, para anggota OPM yang melakukan perlawanan menggunakan senjata pun dapat dianggap sebagai kombatan.

Berdasarkan perangkat Hukum Humaniter Internasional (HHI), katanya, kombatan yang terlibat dalam perang, posisinya sah untuk dijadikan sasaran serang. “Dengan demikian, diharapkan prajurit kami di lapangan tidak lagi ragu-ragu,” ucap Nugraha.

“Ketika berhadapan dengan mereka sebagai kombatan, [personel TNI] bisa mengambil tindakan tegas. Itu sebetulnya supaya tidak ada keraguan di lapangan. Kami kan perlu melindungi prajurit kami juga. Jangan sampai ragu sehingga malah jadi korban.”

Meski demikian, peneliti ahli utama dan profesor riset tim kajian Papua dari BRIN, Cahyo Pamungkas, menganggap dasar pemikiran ini kurang tepat karena Hukum Humaniter Internasional hanya berlaku dalam status berperang.

Hingga saat ini, menurut Cahyo, tidak ada deklarasi resmi dari pemerintah yang menyatakan bahwa Indonesia berperang melawan TPNPB-OPM. Atas dasar itu, tambahnya, operasi yang dilakukan pemerintah di Papua saat ini seharusnya hanya berdasarkan tujuan penegakan hukum, bukan perang.

“Tidak bisa, karena statusnya adalah operasi penegakan hukum, maka prosedurnya harus mengikuti proses menangkap dan mengadili kriminal,” tutur Cahyo.

Di sisi lain, Polri juga sampai saat ini masih memperlakukan TPNPB sebagai KKB. Seperti dikutip sejumlah media, Kasatgas Humas Operasi Damai Cartenz, AKBP Pol. Bayu Suseno menegaskan, "Polri sampai saat ini masih menggunakan istilah KKB", seraya menegaskan belum ada petunjuk dari pimpinan Polri terkait perubahan nomenklatur tersebut.

Cahyo memandang perbedaan ini sejatinya hanya masalah perebutan klaim antara TNI-Polri yang sudah berlangsung sejak lama. “Sebenarnya itu perebutan klaim siapa yang paling depan atau siapa yang paling bertanggung jawab untuk menghadapi kelompok bersenjata ini,” kata Cahyo.

Dia kemudian menjabarkan bahwa jika satu operasi diberi label “penegakan hukum”, maka kepolisian lah yang menjadi ujung tombak di lapangan, disokong oleh TNI di belakangnya. Namun, ketika menghadapi satu kelompok berideologi separatisme terorganisasi, TNI yang berada di garda depan.

Di tengah ketidakjelasan ini, Juru Bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, menyatakan kelompoknya tak peduli operasi atau metode apa pun yang digunakan di lapangan.

Ia menegaskan bahwa kelompok pro-kemerdekaan Papua sudah biasa melakukan perlawanan terhadap berbagai rezim dengan segala metodenya sejak medio 1960-an.

“Operasi apa pun mereka sudah pernah buat sejak 1960-an. Mau pikir operasi apa lagi? Jadi itu kami sangat siap. Tidak masalah. Kami tunggu saja mereka mau bikin apa, karena kami kan pemilik negeri. Kami bukan pencuri, bukan perampok," katanya.

Namun, Mayjen TNI Nugraha mengeklaim TNI dan Polri akan tetap solid ketika beroperasi. “Kita solid sama Polri di lapangan sesuai dengan tupoksi masing-masing. Polri melaksanakan tugas kamtibmas [keamanan dan ketertiban masyarakat], kita melaksanakan tugas pertahanan, keamanan,” kata Nugraha.

Meski demikian, pengamat Papua, Budi Hernawan menilai perbedaan ini tak hanya akan memicu kebingungan skala kecil seperti petugas di lapangan, tapi juga di jajaran tinggi perangkat negara.

“Di atasnya juga bingung karena keputusannya kan saling bertentangan antara kapolri, panglima TNI, kemudian masih ada perpres tentang otsus Papua itu yang dikendalikan oleh wapres,” ucap Budi.

Presiden dimana?
Budi menganggap ketidakjelasan situasi ini mencerminkan Indonesia masih belum mampu merumuskan kebijakan di Papua. “Ini satu konfirmasi bahwa sampai hari ini pemerintah tidak mampu merumuskan satu kebijakan terhadap Papua yang jelas,” katanya.

Ia kemudian menyoroti kejanggalan pemberian label OPM oleh TNI. Menurutnya, penetapan status itu merupakan kebijakan politik yang seharusnya diambil presiden, bukan TNI. “Menurut Undang-Undang TNI, sebuah kebijakan militer itu adalah kebijakan politik. Jadi, keputusan terhadap Papua harus dikeluarkan oleh presiden melalui perpres,” ujar dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu.

Sebenarnya isu ini sudah pernah digaungkan anggota Komisi I DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, TB Hasanudin, dalam rapat dengar pendapat dengan TNI pada Januari 2023 lalu.

Bahwa saat itu, TB Hasanuddin memprotes dasar hukum operasi militer di Papua yang disebutnya tidak jelas. Perpres yang dijanjikan sejak dua tahun sebelumnya tak kunjung keluar, padahal perintah presiden itu penting untuk teknis di lapangan.

“Kalau perpres diturunkan, jelas nanti bagaimana pelibatan TNI di sana. Selama perpres itu tidak ada, sulit untuk menentukan bentuk-bentuk operasinya seperti apa. Apakah operasi intelijen, operasi teritorial, atau operasi tempur? Kan macam-macamnya ada," katanya.

Dengan demikian, Budi mendesak presiden untuk segera menentukan payung hukum yang jelas. “Ini persoalan kebijakan yang saling bertentangan, yang nanti mengorbankan tidak hanya masyarakat Papua di lapangan, tapi juga anggota kepolisian, anggota TNI dan keluarganya, dan organisasi-organisasi kemanusiaan di lapangan,” kata Budi.

Di lain pihak, kekhwatiran serupa juga terlontar dari Yuliana Langowuyo selaku direktur lembaga gereja Katolik yang bergerak di bidang advokasi, Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua.

Yuliana mendesak pemerintah segera mengeluarkan pernyataan resmi mengenai status di Papua. Jika sudah ditetapkan status perang, maka akan ada pula turunan aturan mengenai perlindungan warga sipil.

“Ini akan menjadi masalah besar ketika tidak ada pernyataan resmi pemerintah Indonesia bahwa di Papua ini situasinya perang, maka langkah-langkah untuk mengamankan penduduk sipil itu tidak akan dilakukan,” ujar Yuliana.

“Masyarakat sipil yang tidak punya hubungan sama sekali dengan Organisasi Papua Merdeka pun mungkin bisa akan jadi korban dari kedua belah pihak karena memang langkah-langkah mengamankan sipil itu tidak ada.”

Menurut Yuliana, masyarakat Papua sendiri sekarang hidup dalam stigma dan dilema, di mana nyawa menjadi taruhannya. “Masyarakat-masyarakat ini kan mereka dekat dengan tentara tidak boleh, salah, karena nanti yang TPNPB akan datang dan bilang, 'Kalian mata-mata TNI atau kalian mata-mata militer Indonesia,'” tutur Yuliana.

“Namun, kalau mereka menutup mata atau membatasi diri untuk tidak melakukan komunikasi dengan militer Indonesia, militer Indonesia akan memberikan cap kepada mereka bahwa mereka adalah simpatisan atau informan untuk TPNB.”

Yuliana lantas mengambil contoh tragedi petugas gereja di Paroki Gereja Katolik Santo Mikael Bilogai, Rufinus Tigau, yang tewas ditembak aparat gabungan TNI-Polri di Intan Jaya, Papua, pada 2020.

“Pastor-pastor kami mendapat stigma. Seperti peristiwa 2019 di Pegunungan Tengah sana, yang katekis kami ditembak itu, Rufinus Tigau, itu mati itu kan karena stigma,” katanya.

Selain itu, masyarakat dikhawatirkan akan terus hidup dalam ketakutan jika tidak ada penyelesaian masalah di Papua secara menyeluruh melalui resolusi konflik.

Peneliti Jaringan Damai Papua (JDP), Adriana Elisabeth, menganggap resolusi konflik menjadi sangat krusial setelah TNI melabeli TPNPB-OPM dengan sebutan OPM saja.

Masalahnya, OPM sebagai gerakan pro-kemerdekaan Papua sendiri sebenarnya terdiri dari tiga sayap, salah satunya memang kelompok yang berjuang dengan angkat senjata seperti TPNPB.

Namun, ada pula yang berjuang melalui gerakan non-kekerasan dan lewat diplomasi di luar negeri, seperti United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

“Pendekatannya harus berbeda karena mereka tiga organ yang memang melakukan gerakannya secara berbeda. Justru tidak bisa disatukan. Jadi let's say kalau kelompok politik, ya masa dengan bersenjata? Kan harus dengan negosiasi politik,” katanya.

“Kalau dijadikan satu, kalau enggak dirancang resolusi konflik secara spesifik tentang Papua, menurut saya enggak akan menyelesaikan [masalah], tapi malah menambah PR saja.”

Pemerintah Indonesia libatkan gereja dalam negosiasi pembebasan pilot Selandia Baru - Siapa tokoh gereja yang 'didengarkan' sayap militer OPM?
Senada dengan Adriana, Presiden Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua, Socratez Yoman, juga menyatakan masalah di Papua harus diselesaikan dengan resolusi konflik.

“Harus ada resolusi konflik dan itu harus dibangun berdasarkan hasil temuan LIPI, empat akar masalah. Fondasinya selesaikan empat itu dulu, bukan kembalikan nama OPM dan segala macam,” ucap Socratez.

Socratez merujuk pada laporan LIPI pada 2009 yang merangkum empat akar masalah Papua. Pertama, masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia.

Kedua, kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua melalui operasi militer yang dimulai pada 1965. Ketiga, perasaan terdiskriminasi dan termarjinalkan akibat penyingkiran orang Papua dalam rumusan pembangunan di tanah mereka.

Terakhir, kegagalan pembangunan di Papua yang tidak hanya soal akses dan ekonomi rakyat, tapi juga pendidikan dan kesehatan. Menurut Socratez, dialog yang dibangun pemerintah selama ini hanya untuk masalah pembangunan, belum menyentuh resolusi konflik menyeluruh.

“Segala pembangunan itu solusi? Bukan. Itu pembangunan yang memang kewajiban negara, tanggung jawab pemerintah, seperti di provinsi-provinsi yang lain. Papua itu perlu resolusi konflik. Itu bedanya,” katanya. (B)

Topik:

kkn opm tni polri