PP Nomor 28 Tahun 2024 Berpotensi Halalkan Zina - Referensi para Siswa dan Remaja?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 5 Agustus 2024 2 jam yang lalu
Tabel jumlah kasus HIV di Indonesia dari tahun ke tahun (Foto: Dok. Ditjen P2P)
Tabel jumlah kasus HIV di Indonesia dari tahun ke tahun (Foto: Dok. Ditjen P2P)

Jakarta, MI -  Menjelang lengser, Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada 26 Juli 2024 menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan). 

PP ini terdiri dari 1172 pasal, ditambah penjelasannya, dengan total 172 halaman. Namun ada beberapa bagian kontroversial dari PP Nomor 28 Tahun 2024 tersebut, dengan adanya pasal-pasal yang secara resmi mengatur perilaku seksual dan penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja.

Pasal 103 ayat (2) : Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi setidaknya berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi; menjaga kesehatan alat reproduksi; perilaku seksual berisiko dan akibatnya; keluarga berencana (KB); melindungi diri dan mampu menolak hubungan seksual; serta pemilihan media hiburan sesuai usia anak.  

Anak-anak usia sekolah dan remaja, sudah ada aturan terkait perilaku seksual yang berisiko, ini menunjukkan ada pilihan lain yaitu perilaku seksual yang tidak berisiko (save sex). 

PP ini hanya berfokus pada seks yang aman secara kesehatan tanpa menimbang seks yang halal (halal sex) atau seks yang haram di luar nikah. 

Berikutnya terkait keluarga berencana (KB), hal ini tentu terlalu dini diberikan pada siswa dan remaja, yang seharusnya diberikan pada pasutri atau orang dewasa. 

Dikhawatirkan hal ini menjadi referensi para siswa dan remaja untuk menggunakan KB dalam praktik seks pra nikah. 

Aspek yang paling berbahaya dari pasal ini adanya penghalalan zina, legalisasi seks bebas di kalangan anak usia sekolah dan remaja, meski tidak secara eksplisit.

Pasal 103 ayat (5) : Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d dilaksanakan dengan memperhatikan privasi dan kerahasiaan, serta dilakukan oleh tenaga medis, tenaga kesehatan, konselor, dan/atau konselor sebaya yang mempunyai kompetensi sesuai dengan kewenangannya. 

Ada kerancuan di dalam pasal ini, yang memunculkan pertanyaan 'Konselor sebaya seperti apa yang sudah memiliki kompetensi untuk usia semuda itu?", 'Apakah yang dimaksud adalah  teman seumuran tapi sudah berpengetahuan luas dan berpengalaman dalam praktik zina yang aman secara kesehatan?'

Pasal 107 ayat (2) : Setiap orang berhak memperoleh akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan kesehatan reproduksi.

Frasa 'setiap orang' dalam pasal ini berarti mencakup anak-anak usia sekolah dan remaja. Apakah ini berarti jika ada anak SD, SMP, atau SMA membeli kondom di apotek misalnya, atau minta layanan kontrasepsi ke klinik, misal mau pasang IUD (spiral), atau ada kasus kehamilan di luar nikah yang mau periksa di RS atau dokter, harus dilayani sesuai dengan pasal ini? Tentu ini memicu kekhawatiran berbagai pihak.

Potensi kerusakan yang ditimbulkan
Pada tahun 2023 BKKBN mencatat bahwa pada remaja usia 16-17 tahun ada sebanyak 60% remaja yang melakukan hubungan seksual, usia 14-15 tahun ada sebanyak 20%, dan pada usia 19-20 sebanyak 20%. 

Penetapan PP Nomor 28 Tahun 2024 berpotensi meningkatkan jumlah pelaku hubungan seksual pada usia sekolah dan remaja baik secara jumlah maupun rentan usia.

PP Nomor 28 Tahun 2024 yang terindikasi berpotensi menghalalkan zina, menjadikan Indonesia mencukupi disebut sebagai negara yang berpaham Sekuler, yaitu negara yang mendasarkan pada paham fashluddin ‘an al-hayah, atau paham yang memisahkan agama dari pengaturan kehidupan manusia.

Netty Prasetiyani, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (RI) di Komisi IX yang membidangi kesehatan dan kependudukan, dalam pernyataannya menyebut PP yang ditandatangani pada Jumat (26/7/2024) itu “dapat menimbulkan anggapan pembolehan hubungan seksual pada anak usia sekolah dan remaja”.

Aksi WO-nya Dianggap Cari Popularitas, Netty: Sejak Awal FPKS Menolak Perppu Ciptaker
Netty Prasetiyani, Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (Foto: Dok MI)

 

“Aneh kalau anak usia sekolah dan remaja mau dibekali alat kontrasepsi. Apakah dimaksudkan untuk memfasilitasi hubungan seksual di luar pernikahan?” ujar Netty pada Minggu (4/8/2024).

Berdasarkan isi dari dokumen regulasi, bagian “penyediaan alat kontrasepsi” dalam konteks usia sekolah dan remaja tidak dijelaskan lebih lanjut.

Meski begitu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, ketika dihubungi menegaskan pelayanan kontrasepsi “bukan untuk semua remaja” melainkan “remaja yang sudah menikah tetapi menunda kehamilan”.

“Kondom tetap untuk yang sudah menikah. Usia sekolah dan remaja tidak perlu kontrasepsi. Mereka harusnya abstinensi [tidak melakukan kegiatan seksual],” kata Nadia seraya menambahkan aturan itu akan diperjelas dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).

Sementara itu, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, mengatakan pihaknya selama ini menyasar pasangan suami istri atau yang dirujuk sebagai “pasangan usia subur” untuk pemberian alat kontrasepsi.

Adapun untuk usia sekolah dan remaja, Hasto menekankan yang dilakukan selama ini adalah pemberian edukasi mengenai seks dan kesehatan reproduksi dan bukannya pemberian alat kontrasepsi.

Hasto menekankan pihaknya akan “duduk bersama” dengan Kementerian Kesehatan juga berbagai pakar termasuk tokoh agama untuk merumuskan aturan tersebut secara teknis.

“Di Indonesia ini, kan, norma agama. Sehingga akhirnya biasanya kita menerjemahkannya kita pertimbangkan dari segenap tokoh agama seperti Majelis Ulama,” tegasnya.

PP ini sangat diperlukan?
Aktivis dan konsultan gender, Tunggal Pawestri, mengapresiasi terbitnya PP Nomor 28 tahun 2024 yang memuat hak-hak kesehatan reproduksi bagi anak dan remaja.

Menurut Tunggal, peraturan pemerintah ini sungguh diperlukan “mengingat tingginya angka kehamilan tidak diinginkan yang juga berpengaruh terhadap tingginya stunting”.

Di sisi lain, Tunggal mengaku skeptis mengenai apakah PP Nomor 28 Tahun 2024 ini akan benar-benar dilaksanakan di lapangan.

“Kita juga sudah punya PP Kesehatan Reproduksi Nomor 61 Tahun 2014, tapi tetap saja remaja masih kesulitan mengakses informasi apalagi layanan kesehatan yang ramah,” ujar Tunggal.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 mengenai Kesehatan Reproduksi juga mengatur pelayanan kesehatan reproduksi remaja di Pasal 11 dan Pasal 12. Walaupun begitu, kedua pasal itu tidak secara gamblang menyebut penyediaan pelayanan kontrasepsi terhadap remaja.

Jokowi Alat Kontrasepsi
“Kita lihat saja nanti prakteknya, saya yakin bahwa pemerintah tidak akan secara serius implementasikan ini di lapangan, dan nanti jika ditanya atau ditagih, kita rasanya bisa menduga apa jawaban mereka. Banyak kok contohnya indah di kertas, nol besar di pelaksanaan,” tukas Tunggal.

Disinggung mengenai pelaksanaan PP Nomor 28 Tahun 2024 dalam konteks kaidah-kaidah agama, Tunggal mengatakan tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan.

“Siapa sih yang enggak tahu kalau di Indonesia, hampir semua hal selalu dikaitkan dengan agama? Tapi jangan sampai kita tutup mata dan tidak peduli dengan fakta dan data di lapangan bahwa banyak remaja sudah aktif secara seksual,” ujarnya.

Sementara itu, psikolog anak dan remaja Grace Eugenia Sameve menyambut baik adanya PP Nomor 28 Tahun 2024 dan berpikir lebih positif. Dia menyebut seksualitas merupakan suatu faktor yang tidak dapat dipisahkan dari manusia sejak lahir .

“Maka upaya untuk merawat [kesehatan reproduksi] perlu diupayakan serta dikenalkan sejak dini, tentunya perlu disesuaikan dengan usia atau tahap perkembangan anak,” ujarnya.

“PP ini merupakan satu upaya yang patut didukung walaupun tentunya keberhasilan akan sangat membutuhkan implementasi dari berbagai pihak.”

Di sisi lain, Grace menyebut PP Nomor 28 Tahun 2024 bisa menjadi acuan untuk memastikan setiap anak dan remaja mendapat informasi dan akses layanan yang setara terlepas dari latar belakang maupun lokasi geografis mereka.

“‘Penyediaan alat kontrasepsi’ bisa menjadi upaya yang bermanfaat untuk populasi tertentu saat ini. Jika misalnya, ke depannya dinilai tidak relevan, maka bisa direvisi kembali,” katanya.

“Mengingat tujuannya baik, semoga selama prosesnya kita semua selalu saling melindungi dan memikirkan kepentingan terbaik dari satu sama lain,” ujarnya.

Tak sejalan amanat Diknas
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menilai penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar tidak sejalan dengan amanat pendidikan nasional (Diknas).

"Itu tidak sejalan dengan amanat pendidikan nasional yang berasaskan budi pekerti luhur dan menjunjung tinggi norma agama,” kata Fikri dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (5/8).

Sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

PP Nomor 28 Tahun 2024 Berpotensi Halalkan Zina
Wakil Ketua Komisi X DPR-RI dari Fraksi PKS (Sumber Foto: Akun Instagram Abdul Fikri)

Selain itu, juga disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Fikri menilai penyediaan fasilitas alat kontrasepsi bagi siswa itu sama saja dengan membolehkan tindakan seks bebas kepada pelajar.

“Alih-alih mensosialisasikan risiko perilaku seks bebas kepada usia remaja, malah menyediakan alatnya, ini nalarnya ke mana?” ujarnya.

Fikri mengatakan bahwa semangat dan amanat pendidikan nasional adalah menjunjung budi pekerti yang luhur dan dilandasi norma-norma agama yang telah diprakarsai oleh para pendiri bangsa Indonesia.

Dia menekankan pentingnya pendampingan bagi siswa dan remaja, khususnya edukasi mengenai kesehatan reproduksi melalui pendekatan norma agama dan nilai pekerti luhur yang dianut budaya ketimuran di Nusantara.

“Tradisi yang telah diajarkan secara turun temurun oleh para orang tua kita adalah mematuhi perintah agama dalam hal menjaga hubungan dengan lawan jenis, dan risiko penyakit menular yang menyertainya,” kata dia.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) yang terdiri dari 1.172 pasal diundangkan pada 26 Juli 2024.