Dugaan Korupsi Triliunan Rupiah Dilidik KPK, Petinggi Askrida Tiarap!

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 5 Agustus 2024 3 jam dari sekarang
PT Asuransi Bangun Askrida (ABA) (Foto: Dok MI)
PT Asuransi Bangun Askrida (ABA) (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Dugaan fee komisi dari PT Asuransi Bangun Askrida (ABA) kepada sejumlah gubernur di Indonesia tengah menjadi sorotan. Terlebih jumlahnya disebutkan mencapai triliunan.

Di tengah maraknya pemberitaan terkait hal ini, petinggi Askrida tiarap. Begitu Monitorindonesia.com, Minggu (4/8/2024) meminta konfirmasi atau komentar kepada pihak Askrida, baik lewat email hingga kepada Direktur Utama Nonot Haryanto dan Direktur Operasional, Wawan Mulyawan, belum memberikan respons.

Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menyatakan bahwa kasus ini sudah naik ke tahap penyelidikan. "Sudah diekspose dan disepakati untuk ditingkatkan ke tahap lidik," kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak.

Sementara itu, Jubir KPK, Tessa Mahardika Sugiarto menyatakan bahwa semua laporan yang masuk ke lembaganya akan ditindaklanjuti. "Pada prinsipnya bila dokumen yang diajukan sebagai lampiran laporan lengkap, akan diproses dan ditindaklanjuti. Bila tidak, akan dimintakan untuk dilengkapi terlebih dahulu oleh pelapor," kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika Sugiarto kepada Monitorindonesia.com.

Sementara itu, Indonesian Audit Watch (IAW) menyampaikan laporannya kepada KPK soal dugaan korupsi yang dilakukan oleh beberapa gubernur terkait penyalahgunaan wewenang.

Kerugian negara yang ditimbulkan akibat dugaan penyalahgunaan wewenang oleh sejumlah gubernur ini disebutkan mencapai Rp 4,5 triliun selama kurun waktu 5 tahun.

Adapun sejumlah gubernur yang diadukan oleh IAW, yakni Gubernur Sumatera Barat periode 2018-2022 dengan besaran fee hampir Rp 600 miliar. Gubernur DKI periode 2018-2022 hampir Rp 800 miliar.

Kemudian ada pula Gubernur Banten periode 2018-2022 serta sejumlah gubernur lain juga ditengarai menikmati aliran dana korupsi ini melalui PT ABA.

Fee yang didapat Gubernur Sumbar dan Gubernur DKI kabarnya didapat sebagai komisi dari mengasuransikan seluruh bangunan dan pegawai pemerintah provinsi (pemprov). Jumlah premi yang dibayarkan kedua pemprov ini mencapai Rp14 triliun selama kurun 5 tahun.

Seluruh bangunan dan pegawai kedua pemerintah provinsi ini diasuransikan ke PT ABA yang seluruh sahamnya dimiliki oleh pemprov seluruh Indonesia dan BUMD milik pemerintah provinsi.

Menurut sekretaris pendiri IAW, Iskandar Sitorus, dugaan korupsi ini timbul lantaran penerimaan fee komisi asuransi yang diterima oleh sejumlah gubernur, tidak dilaporkan ke dalam LHKPN, seperti yang diatur dalam undang undang.

"Menggunakan jabatan untuk mengalokasikan uang negara demi komisi, jelas bertentangan dengan prinsip good and clean government," kata Iskandar kepada Monitorindonesia.com, dikutip Minggu (4/8/2024).

Menurutnya, pemberian fee kepada sejumlah gubernur ini diberikan secara cash dan bertahap melalui dua orang berinisial MH dan EY.

Berikut jumlah fee yang dibayarkan PT ABA kepada sejumlah gubernur di Indonesia, berbanding dengan keuntungan yang diperoleh PT ABA dalam kurun lima tahun menurut data IAW:

Komisi 2018 Rp 849.726.000.000 (laba Rp 162.185.000.000),

Komisi 2019 Rp 819.751.000.000 (laba Rp 79.913.000.000),

Komisi 2020 Rp 718.281.000.000 (laba Rp 75.949.000.000),

Komisi 2021 Rp 941.590.000.000 (laba Rp 74.899.000.000),

Komisi 2022 Rp 1.075.714.000.000 (laba Rp 93.846.000.000),

Dalam laporan yang diberikan kepada bagian pengaduan masyarakat di gedung KPK, IAW menyertakan sejumlah bukti, berupa transaksi perusahaan terkait laporan keuangan, surat dari Bank Mandiri berupa kewajiban PT ABA untuk membayar biaya klaim, serta surat jawaban PT ABA kepada Bank Mandiri yang isinya berupa strategi dalam pengelolaan resiko bisnis.

Laporan IPW
Selain laporan IAW, Indonesia Police Watch (IPW) dalam laporannya di KPK pada Selasa (5/3/2024) lalu sempat menyinggung Askrida. Laporan tersebut diterima KPK dengan nomor informasi: 2024-A-00727.

"Terkait aliran dana dari beberapa perusahaan asuransi dalam bentuk cashback kepada Direksi Bank Jateng yang diduga terjadi dari 2014 sampai 2023. Direksinya berinisial S," kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso.

Sugeng menjelaskan, aksi korupsi itu diduga dilakukan oleh Direktur Bank Jateng berinisial S melalui modus penyerahan cashback dari pihak asuransi. 

Sugeng menyebut cashback itu sejatinya merupakan bentuk jaminan terhadap seluruh kredit yang disalurkan oleh Bank Jateng apabila sewaktu-waktu debitur meninggal dunia tanpa menyelesaikan pembayaran.

"Apabila debitur sudah meninggal, bank mendapatkan hak pertanggungan dari asuransi. Diduga ada cashback jumlahnya sebesar 16 persen kepada Bank Jateng oleh Astrindo, Askrida dan beberapa asuransi," jelasnya.

Kendati demikian, Sugeng menyebut dari jumlah cashback itu hanya 5 persen yang diterima oleh Bank Jateng sebagai dana operasional perusahaan. 

Sementara 5,5 persen lainnya justru disalurkan kepada sejumlah pemegang saham dari Bank Jateng itu sendiri. "Diduga ya ini ada dari pemerintah daerah, kabupaten atau kota. Ada juga yang diterima oleh pemegang saham pengendali dengan inisial GP, itu yang dilaporkan oleh saya," tegasnya.

Meski begitu, Sugeng enggan membeberkan lebih jauh apakah sosok berinisial GP tersebut merupakan Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jateng pada saat itu.

Sugeng menilai hal itu merupakah ranah dari penyidik untuk menindaklanjuti kasus dugaan korupsi yang telah dilaporkan IPW. Dalam pelaporan itu, Sugeng mengatakan pihaknya juga telah menyerahkan sejumlah barang bukti terkait kasus korupsi yang terjadi di Bank Jateng.

"Saya tidak tahu, tapi inisial pemegang saham pengendali itu GP. Ini kan diserahkan kepada proses di KPK, kami juga mengajukan telah mendeskripsikan alat buktinya kepada KPK, semoga KPK bisa menindaklanjuti," pungkasnya.

Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri saat itu membenarkan adanya pelaporan kasus dugaan korupsi di Bank Jateng. Ia mengatakan nantinya laporan tersebut akan didalami oleh Bagian Pengaduan Masyarakat KPK.

"Betul ada laporan masyarakat dimaksud. Kami segera tindaklanjuti dengan verifikasi lebih dahulu oleh bagian pengaduan masyarakat KPK," katanya.

Hingga saat ini, perkembangan laporan IPW tersebut tak nyaring lagi di KPK.

Sekadar tahu, bahwa Askrisa didirikan sejak 2 Desember 1989 dari semangat patungan beberapa Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan Dana Pensiunan BPD, menyetor modal dasar sebesar 60,61% saham dan beberapa Pemerintahan Daerah Provinsi menyetor modal dasar sebesar 39,39% saham dengan modal dasar PT sebesar 400 miliar rupiah mendirikan perusahaan jasa asuransi konstruksi untuk tujuan memberikan perlindungan asuransi terhadap risiko dan kerugian yang diperuntukkan bagi bangunan/gedung dari properti pemerintahan daerah. 

Mendapatkan izin usaha berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI No. JEP.192/KM.13/1990 tanggal 14 Maret 1990. Tahun 1996 Askrida memperluas saham perusahaan untuk 27 Pemerintahan Daerah Provinsi. 

Tahun 2007 Askrida memperluas usaha asuransi bangunan syariah dan asuransi kendaraan bermotor dinas Pemda syariah. Tahun 2011-2012  memperluas bidang usaha asuransi kesehatan, asuransi kredit BPD, dan asuransi oil dan gas. Berkantor pusat di Jl, Pramuka Kav.151 Pulogadung Jakarta Timur.  

Pemegang saham terbesar mayoritas Askrida adalah Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (16,31% saham), Dana Pensiun PT BPD Jawa Barat dan Banten (Dapen Bank BJB)  (12,76% saham) dan PT. BPD Jawa Barat & Banten (Bank BJB) (9,45% saham). Dan saham terkecil minoritas Pemerintahan Provinsi Papua (0,01% saham).

Dewan Komisaris Askrida Tahun 2018-2022 adalah Komisaris Utama Efa Yonnedi (Jopang 2  Mei 1972) lulusan Universitas Andalas (1985), Magister Monash University Australia (2002) dan Doctoral University of Manchester United Kingdom (2007) sejak RUPS Askrida Tahun 2018. Mantan Dewan Komisaris Bank Nagari atau BPD Sumatera Barat (2011-2018) dan dosen, Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Padang (1996-2017). 

Komisaris Independen Askrida sejak RUPS Tahun 2019 Muchlis Hasyim Yahya (Surabaya 25 Mei 1964) lulusan BBA New York Institute of Technology Amerika Serikat (1999) sebelumnya Komisaris Utama  PT Praba Arta Buana Utama (sejak 2018), wirausaha humas/motivator (1999-2015) dan Komisaris PT Interlink Nusa Niaga (sejak 2015). 

Selain itu Komisaris Independen Askrida sejak 21 Juni 2022 Hadi Susanto (Banda Aceh, 29 Juli 1958) lulusan Universitas Sumatera Utara (1988) mantan staf karyawan hingga Direktur Utama Dana Pensiunan Pegawai Bank SUMUT atau BPD Sumatera Utara  (1982-2021). 

Komisaris Independen Askrida lainnya Didik Supriyanto (Tuban, 8 Juli 1966) sejak RPUS tahun 2018. Dia Lulusan Universitas Gajah Mada Yogya (1986) dan Magister dari FISIP UI (2007), Mantan Dirut PT Sarana GSS Trembul (2016-2017), Pimpred PT Kapan Lagi.Networks (2011-2016), Direktur PT Detik Koran Cepat (2002-2005), Wapimpred PT Agranet Multicitra Siberkom (2000-2011), Redaktur Pelaksana Tabloid ADIL PT. Abdi Bangsa Group (1997-1999). 

Adapun Dewan Komisaris dibantu Komite Audit dan Komite Pemantau Risiko.

Dewan Direksi terdiri dari Direktur Utama Askrida sejak 25 Juni 2020 Nonot Haryoto (Karanganyar, 10 Juli 1972) dan berkarier sejak awal di Askrida mulai tahun 2008 ,sebelumnya di Kementerian Keuangan (1994-2008). 

Direktur Kepatuhan Askrida sejak 17 Mei 2019 Hendro Friendiyanto (Jakarta 24 September 1968). Lulusan STIE Dwipa Kencana Jakarta (2015) mulai berkarier di Askrida sejak 1996 hingga menjadi Dirut Dana Pensiun Askrida sejak 2018. 

Direktur Teknik Askrida sejak 17 Mei 2019 Abdul Mulki (Padang, 20 November 1973) lulusan Universitas Andalas Padang  (1996) dan berkarir di Askrida sejak 2017. Sebelumnya di PT Reasuransi Indonesia (1999-2012) dan Wicaksana Overseas International Holding Company (1997-1999).

Direktur Pemasaran Askrida Bunyamin (Jakarta 12 Juni 1969) sejak 25 Juni 2020 dan berkarier di Askrida sejak 1991. Direktur Operasional Askrida sejak 25 Juni 2020 Wawan Mulyawan (Kuningan 24 Juli 1964). Sebelumnya berkarir di BPD Jawa Barat & Banten (Bank BJB) sejak tahun 2011.

Pada tahun 2023 RUPS memilih dan mengangkat Dewan Komisaris  PT Askrida Rinaldi, Didik Supriyanto, Herry Yanson, Prakoso Budi Wibowo, dan Hadi Susanto.  Sedangkan Dewan Direksi Henry Ananda Siregar, Suryadi Apriyanto, dan Mohammad Sjafril Lawado. 

Dalam laporan keuangan audit ternyata utang Askrida mempunyai utang pada Bank Mandiri sebesar 1,5 triliun rupiah dan Taspen Bank Mandiri sebesar 800 miliar rupiah. 

Pada tahun 2018 deviden yang dibagikan Rp. 849.726.000.000,- sedangkan laba PT hanya Rp. 162.185.000.000. Artinya ada defisit minus Rp.687.541.000.000.

Tahun 2019 deviden yang dibagikan Rp. 819.751.000.000,- sedangkan laba PT hanya Rp. 79.913.000.000. Artinya defisit minus Rp. 739.838.000.000.

Tahun 2020 deviden yang dibagikan Rp 718.281.000.000,- sedangkan laba PT Rp. 75.949.000.000. Artinya defisit minus Rp. 642.332.000.000. 

Tahun 2021 deviden yang dibagikan Rp 941.590.000.000,- sedangkan laba PT hanya Rp. 74.899.000.000. Artinya defisit minus Rp. 866.691.000.000.

Tahun 2022 deviden yang dibagikan Rp. 1.075.714.000.000,- sedangkan laba PT hanya Rp. 93.846.000.000. Artinya defisit minus Rp. 981.868.000.000.

Permasalahan lain Askrida: Investasi uang nasabah asuransi digunakan dalam perusahaan bermasalah dan berafiliasi dengan manajemen dan pemegang saham seperti PT. Mahanusa Graha Persada; Permasalahan keuangan yang defisit serta perusahaan tidak bisa membayar rasio klain dan rasio beban usaha Askrida, artinya ada kemungkinan gagal bayar tagihan; Penurunan peringkat hasil resiko underwriting; Ketidakmampuan rasio likuiditas.

Lalu, Ketidakseimbangan angka ROE dan ROA; Beban klaim retensi lebih besar 88,32% dari aset dan modal PT; Beban Reasuransi lebih besar dari 11,68% dari aset dan modal PT; Tagihan klaim lebih besar dari setoran premi; Pembagian deviden (komisi pemegang saham) lebih besar daripada penerimaan laba.

Selanjutnya, soal Perubahan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) tanpa RUPS tapi memori Direktur saja RKAP Askrida Tahun 2022 dari Rp. 4.233.970.000.000,- menjadi  Rp. 4.675.000.000.000,- (adanya penambahan Rp.441.030.000.000,-); Pembebanan revisi premi tanpa aturan dan Direksi mengambil keputusan tanpa persetujuan RUPS tentang Perjanjian Kredit (pinjaman) dengan Bank Mandiri sebesar 2,3 triliun rupiah. (an)