IAW Soroti Sawit Ilegal: Desak Pemerintah Hentikan 'Lingkaran Dosa' Alih Fungsi Hutan

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 5 April 2025 16:58 WIB
Sawit Ilegal Ancam Negeri, Saatnya Indonesia Putus Rantai Perusakan Hutan (Foto: Dok MI)
Sawit Ilegal Ancam Negeri, Saatnya Indonesia Putus Rantai Perusakan Hutan (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Krisis alih fungsi hutan di Indonesia ternyata bukan isu baru. Indonesian Audit Watch (IAW) menyoroti bahwa praktik perusakan hutan demi kepentingan ekonomi telah berlangsung selama puluhan tahun, bahkan sejak masa penjajahan Belanda. Kini, kondisi tersebut dinilai sebagai ancaman serius bagi masa depan lingkungan dan perekonomian nasional.

Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, menegaskan bahwa pengelolaan hutan di Indonesia selama ini lebih banyak sarat kepentingan daripada keberlanjutan. Negara yang dulu dikenal sebagai paru-paru dunia, kini sebagian besar hutannya telah berubah menjadi hamparan perkebunan sawit, baik yang legal maupun ilegal. Dan faktanya alih fungsi hutan ini bukan sekadar pelanggaran hukum tapi kegagalan kolektif puluhan tahun.

Eksploitasi hutan Indonesia dimulai sejak masa kolonial Belanda melalui Agrarische Wet 1870 dan Domeinverklaring, yang mengklaim tanah tak bertuan sebagai milik negara. Kebijakan ini dilanjutkan Orde Baru dengan pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) besar-besaran, menyebabkan hilangnya 1,7 juta hektar hutan per tahun (1985–1997).

Reformasi tidak banyak mengubah nasib hutan. UU Kehutanan 1999 gagal menahan laju deforestasi, sementara desentralisasi justru memicu korupsi perizinan. Di era Jokowi, UU Cipta Kerja semakin melonggarkan aturan, dan Greenpeace mencatat 3,25 juta hektar hutan hilang dalam 7 tahun terakhir.

"Jika terus begini, hutan akan habis, dan sawit sebagai komoditas andalan juga tak punya masa depan," tuturnya, dikutip Sabtu (5/4/2025).

Audit terbaru dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap fakta mengejutkan: sekitar 3,1 juta hektare perkebunan sawit ditemukan beroperasi secara ilegal di dalam kawasan hutan. Sebanyak 1.210 pelaku usaha melanggar hukum, dengan potensi kerugian negara yang ditaksir mencapai triliunan rupiah. 

Tak hanya itu, muncul dugaan adanya keterlibatan sejumlah oknum pejabat yang diduga sengaja memperlambat atau menghambat tindak lanjut atas rekomendasi BPK.

"Laporan BPK seperti teriakan di padang gurun. Didengar, tapi belum ditindaklanjuti," ungkap Iskandar.

Iskandar menekankan perlunya pendekatan yang lebih bijak dan tidak sekadar hitam-putih dalam menyikapi persoalan ini. Ia menilai bahwa kawasan hutan yang telah berubah menjadi kebun sawit tidak serta-merta harus dikriminalisasi. Namun, di sisi lain, negara juga tak bisa begitu saja melegalkannya tanpa syarat yang jelas dan tegas.

Ia menjelaskan, negara bisa menghadirkan sebuah aturan untuk menata hutan. Misalnya dengan meniru model dari Badan Bank Tanah (Perpres 64/2021) dengan menetapkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL). 

Hak Guna Usaha (HGU) juga bisa diberikan dengan penyesuaian karakter hutan kepada perusahaan yang mau patuh aturan. Dan wajibkan rehabilitasi hutan 30%, audit lingkungan, serta sekaligus berkontribusi karbon.

Iskandar menambahkan bahwa negara dengan ini bisa tahu siapa mengelola hutan dan bisa masuk dalam neraca aset negara. Negara mendapat pajak lingkungan dan reforestasi berpotensi Rp2–4 triliun/tahun. Ada carbon trading aktif berpotensi US$80 juta per tahun. Lalu hutan tidak lagi liar dan tak bertuan, tapi menjadi tercatat, dikelola, dan bisa diaudit.

Iskandar Sitorus juga menyerukan agar pemerintah segera mengambil langkah konkret dalam menindaklanjuti upaya penyelamatan hutan yang direkomendasikan oleh BPK. 

Ia menekankan pentingnya langkah-langkah seperti penertiban kebun sawit ilegal, audit spasial menyeluruh, legalisasi terbatas bagi pelaku usaha yang patuh, optimalisasi pungutan negara, penegakan hukum pidana hingga menghadirkan kebijakan nasional penataan ulang kawasan hutan.

Lebih lanjut, Iskandar menilai pemerintah memiliki peluang besar untuk menjalankan reformasi tersebut melalui pembentukan Satgas Pencegahan dan Pengendalian Hutan (PKH). 

Lewat satgas ini, pemerintah bisa menjalankan rekomendasi terkait, ,menghindari pelanggaran hukum dalam penertiban hingga menciptakan win-win solution dimana negara dapat pendapatan, lingkungan dipulihkan, bisnis tetap berjalan, dan rakyat dapat kepastian hukum.

"Kita harus hentikan lingkaran dosa alih fungsi hutan. Tidak perlu lagi saling menyalahkan, tapi mulai dengan akal sehat," pungkasnya.

Topik:

kelapa-sawit iaw