Masalah Visa hingga Digitalisasi Nusuk, DPR Dorong Perombakan Sistem Haji Indonesia


Jakarta, MI - Evaluasi pelaksanaan haji 2025 diwarnai sorotan tajam dari DPR RI. Dalam forum penting yang digelar di Alqimma Hall, Makkah, Rabu (4/6/2025), anggota Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI, Abdul Fikri Faqih, menyuarakan perlunya reformasi mendalam dalam tata kelola ibadah haji Indonesia.
"Permasalahan yang kita hadapi bukan sekadar teknis, ini menyangkut sistem. Kita butuh reformasi menyeluruh, bukan tambal sulam," tegas Fikri dalam rapat evaluasi yang juga dihadiri perwakilan Kementerian Agama, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), hingga unsur Kemenkumham dan Kementerian Luar Negeri.
Ketua Timwas Haji DPR, Cucun Ahmad Syamsurijal, dalam pembukaan rapat menyebut sejumlah persoalan mendasar masih berulang setiap musim haji. Di antaranya, layanan pemondokan yang belum merata, keterlambatan distribusi kartu Nusuk, serta kesiapan layanan di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna). Selain itu, standar konsumsi, transportasi, dan kesehatan juga masih jadi keluhan jemaah.
Namun, Fikri Faqih membedah lebih dalam akar dari berbagai persoalan tersebut. Legislator Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKS ini menyebut ada tiga isu besar yang perlu mendapat perhatian serius dan menjadi dasar reformasi.
Pertama, terkait persoalan visa yang dinilainya masih menjadi kendala serius. "Isu visa memang berskala global, tapi dampaknya sangat lokal bagi jemaah kita. Ini tidak bisa terus-terusan jadi beban Kementerian Agama sendiri," ujarnya.
Fikri mencontohkan kasus jemaah Indonesia yang dideportasi karena terbentur masalah hukum yang belum diselesaikan dengan otoritas Arab Saudi. "Ini menunjukkan perlunya keterlibatan aktif Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham dan Kementerian Luar Negeri dalam pengelolaan dokumen dan diplomasi haji. Harus ada koordinasi lintas kementerian yang lebih solid," ujarnya tegas.
Masalah kedua yang diangkat Fikri adalah dominasi penuh perusahaan swasta Arab Saudi (syarikah) dalam layanan teknis penyelenggaraan haji. "Semua layanan—pemondokan, katering, transportasi, hingga layanan Armuzna—dikuasai syarikah. Kita tidak punya ruang tawar," ungkapnya.
Untuk mengatasi ketergantungan ini, Fikri mengusulkan model kerja sama Business to Business (B2B) seperti yang diterapkan dalam skema haji furoda. "Kita perlu opsi penyelenggaraan haji yang lebih mandiri dan profesional. Model B2B ini seharusnya bisa masuk ke dalam Undang-Undang Haji sebagai alternatif legal," jelasnya.
Isu ketiga yang tak kalah penting adalah tantangan digitalisasi. Arab Saudi saat ini sedang menerapkan sistem digital terpadu bernama Nusuk, platform resmi untuk manajemen haji dan umrah.
"Semua urusan mulai dari pengaturan waktu tinggal, rute layanan, hingga program ibadah, kini berbasis aplikasi Nusuk. Semua harus terintegrasi. Tapi sistem kita belum siap sepenuhnya untuk menyambut ini," ujar Fikri.
Ia menilai Indonesia harus menyesuaikan diri dengan arsitektur digital yang dibangun oleh Kerajaan Arab Saudi. "Kalau tidak, kita akan selalu tertinggal secara sistemik. Ini soal interoperabilitas data dan sistem manajemen haji yang harus dipercepat," katanya.
Menjawab tantangan tersebut, Fikri mendorong tiga langkah besar: reformulasi kebijakan, redefinisi fungsi sektor publik, dan rekonstruksi kelembagaan.
"Pertama, reformasi kebijakan pelaksanaan haji dan umrah harus dilakukan secara menyeluruh. Tidak bisa lagi sektoral," katanya. Kedua, menurutnya, perlu ada redefinisi terhadap peran dan fungsi pemerintah dalam mengelola ibadah haji—bukan hanya sebagai regulator, tapi juga sebagai integrator sistem.
Langkah ketiga yang ia tawarkan adalah pembentukan lembaga atau bahkan kementerian khusus haji dan umrah. "Mengingat besarnya skala penyelenggaraan, potensi fiskal, serta kompleksitas persoalan yang dihadapi, pembentukan kementerian haji menjadi opsi realistis yang patut dipertimbangkan secara serius," pungkasnya.
Topik:
Ibadah Haji Pelaksanaan Haji Fikri Faqih DPR