Pelantikan Badan Industri Mineral, Bukti Kerakusan Rezim Prabowo

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 26 Agustus 2025 16:43 WIB
Presiden RI Prabowo Subianto resmi melantik Brian Yuliarto sebagai Kepala Badan Industri Mineral berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 77P Tahun 2025. Foto: Dok MI/Istimewa
Presiden RI Prabowo Subianto resmi melantik Brian Yuliarto sebagai Kepala Badan Industri Mineral berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 77P Tahun 2025. Foto: Dok MI/Istimewa

Jakarta, MI - Meneguhkan kerakusan rezim Prabowo-Gibran sekaligus menandai kemunduran komitmen rezim ini terhadap keselamatan rakyat dan ekologi. Ketamakan itu ditunjukkan lewat pelantikan Brian Yuliarto -- yang merupakan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi -- sebagai Kepala Badan Industri Mineral, yang notabene membuat ia merangkap jabatan.

Lembaga ini akan memuluskan rencana pemerintah menjarah Indonesia melalui berbagai proyek hilirisasi sumber daya mineral seperti nikel, bauksit, tembaga, hingga logam tanah jarang. 

Pada April 2025 lalu, Direktur Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Nizhar Marizi mengatakan pemerintah memiliki fokus pada hilirisasi empat komoditas mineral strategis, yakni nikel, tembaga, bauksit, dan satu lagi yang masih dalam pembahasan. 

Brian mengatakan Badan Industri Mineral bertugas mengelola material strategis yang dibutuhkan untuk industri pertahanan. Ia menyebutkan mineral yang menjadi lingkup kerja badan tersebut antara lain mineral logam tanah jarang dan mineral radioaktif.

"Dalam kacamata Jarinagn Advokasi Tambang (JATAM) badan ini hanyalah instrumen negara untuk mempercepat hilirisasi sumber daya mineral strategis seperti nikel, bauksit, tembaga, hingga logam tanah jarang," kata Alfarhat Kasman, Divisi Kampanye JATAM kepada Monitorindonesia.com, Selasa (26/8/2025).

Namun, ungkap Farhat, di balik narasi industrialisasi dan pertahanan, tersembunyi logika ekstraktivisme yang mengutamakan eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan daya rusak ekologis dan sosial yang ditimbulkan. 

"Hilirisasi bukanlah solusi jika hanya menjadi kedok untuk memperluas perampasan ruang hidup rakyat dan memperdalam ketimpangan struktural," jelasnya.

Logika ekstraktivisme yang diusung rezim ini bersifat akumulatif dan destruktif. Logika tersebut tidak hanya menguras cadangan mineral, tetapi juga mengakumulasi kerusakan ekologis, konflik agraria, dan ketimpangan ekonomi. 

Ketika negara menjadi fasilitator utama bagi korporasi tambang, maka keselamatan rakyat dan semesta ruang hidup rakyat menjadi korban. "Dalam konteks ini, Badan Industri Mineral bukanlah lembaga pembangunan, melainkan mesin perampasan yang bekerja atas nama nasionalisme semu," bebernya.

Dalam praktiknya, hilirisasi yang digadang-gadang sebagai jalan menuju kemandirian industri justru memperkuat ketergantungan pada pasar global dan teknologi asing. 

Proyek-proyek smelter dan pemurnian mineral sering kali melibatkan investasi asing yang besar, sementara masyarakat lokal hanya menerima dampak negatif berupa pencemaran, penggusuran, dan hilangnya mata pencaharian. 

Alih-alih memperkuat kedaulatan, hilirisasi justru melegitimasi kolonialisme ekonomi dalam bentuk baru.

Pendekatan ekstraktivisme ini mengabaikan prinsip keadilan ekologis. Wilayah-wilayah kaya mineral seperti Sulawesi, Kalimantan, dan Bangka Belitung terus menjadi sasaran eksploitasi tanpa mekanisme perlindungan yang memadai. 

"Negara tidak hadir sebagai pelindung rakyat, melainkan sebagai fasilitator bagi korporasi tambang. Dalam banyak kasus, izin tambang diberikan tanpa konsultasi publik yang berarti, dan dampak lingkungan tidak pernah menjadi pertimbangan utama," ungkapnya.

Badan untuk Memfasilitasi Kerakusan Oligarki Tambang

Hal lain yang perlu diwaspadai adalah konsentrasi kekuasaan dalam satu lembaga seperti Badan Industri Mineral, cenderung membuka ruang bagi praktik korupsi, konflik kepentingan, dan pengabaian terhadap prinsip transparansi. 

Ketika pengelolaan mineral strategis diserahkan kepada segelintir elit yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan, maka demokrasi ekonomi menjadi ilusi. 

"Rezim Prabowo-Gibran telah menunjukkan bahwa kepentingan oligarki lebih diutamakan daripada keselamatan rakyat dan keberlanjutan ekologi," lanjut Farhat.

Salah satu figur sentral dalam oligarki tambang mineral strategis adalah Hashim Djojohadikusumo, adik kandung Presiden Prabowo Subianto dan pemilik Arsari Group. 

Melalui perusahaan tambangnya, PT Arsari Tambang, Hashim menguasai konsesi timah yang luas di Bangka Belitung, termasuk melalui anak usaha seperti AEGA Prima yang memiliki izin operasi produksi hingga puluhan tahun ke depan. 

"Investasi besar-besaran dalam peleburan dan pemurnian timah, seperti pembangunan pabrik PT Solder Tin Andalan Indonesia senilai Rp 400 miliar, menunjukkan betapa masifnya ekspansi bisnis tambang yang dilakukan oleh keluarga inti kekuasaan," katanya.

Kedekatan antara pengusaha tambang dan kekuasaan politik menciptakan struktur oligarki yang mengaburkan batas antara kepentingan negara dan kepentingan pribadi. 

Ketika figur seperti Hashim memiliki akses langsung ke kebijakan strategis dan lembaga negara, maka pengambilan keputusan tidak lagi didasarkan pada kepentingan publik, melainkan pada akumulasi kapital dan kontrol atas sumber daya. 

"Dalam konteks ini, Badan Industri Mineral berpotensi menjadi alat legitimasi bagi ekspansi bisnis tambang yang dilakukan oleh oligarki," ucapnya.

Kritik terhadap oligarki tambang bukanlah sekadar persoalan etika, melainkan soal keberlangsungan demokrasi dan keadilan ekologis. Ketika sumber daya strategis dikuasai oleh segelintir elite yang memiliki kedekatan istimewa dengan penguasa, maka rakyat kehilangan kendali atas masa depan ruang hidupnya. 

"Rezim Prabowo tidak hanya gagal menjaga jarak dari kepentingan bisnis keluarga, tetapi juga aktif memfasilitasi ekspansi tersebut melalui kebijakan dan lembaga negara. Ini bukan sekadar konflik kepentingan—ini adalah bentuk kerakusan yang terlembagakan," sebut Farhat.

Keberadaan Badan Industri Mineral bukanlah jawaban atas kebutuhan rakyat, melainkan manifestasi dari negara yang telah disetir habis-habisan oleh oligarki tambang. 

"Di tangan rezim yang berkelindan dengan kepentingan bisnis keluarga dan kroni, lembaga ini akan menjadi alat legalisasi perampokan sumber daya, memperdalam luka ekologis, dan memperkuat dominasi politik-ekonomi oligarki."

"Pembentukan badan baru untuk memfasilitasi para pengusaha tambang rakus ini menunjukkan negara telah berubah menjadi fasilitator kerakusan, bukan pelindung keselamatan rakyat dan ekologi," imbuh Farhat.

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto resmi melantik Brian Yuliarto sebagai Kepala Badan Industri Mineral berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 77P Tahun 2025. Pelantikan berlangsung di Jakarta pada Senin (25/8/2025), ditandai dengan pembacaan sumpah jabatan yang dipimpin langsung oleh Presiden.

Dalam Keppres tersebut, Brian Yuliarto ditetapkan menjabat Kepala Badan Industri Mineral terhitung sejak tanggal pelantikan. Keputusan juga menyebutkan bahwa pejabat yang diangkat diberikan hak keuangan dan fasilitas lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta segala peraturan perundang-undangan, dan akan menjalankan tugas jabatan dengan sebaik-baiknya, penuh rasa tanggung jawab, serta menjunjung tinggi etika jabatan,” ucap Brian Yuliarto saat mengikrarkan sumpah jabatan yang dikutip dalam tayangan laman YouTube Sekretariat Presiden, Senin (25/8/2025).

Pembentukan Badan Industri Mineral dipandang sebagai langkah strategis pemerintah dalam mempercepat hilirisasi sumber daya alam serta memperkuat kemandirian nasional di sektor mineral. Badan ini memiliki fungsi utama dalam mengoordinasikan kebijakan pengelolaan, pemurnian, hingga pengembangan teknologi pengolahan mineral agar memberi nilai tambah lebih besar bagi perekonomian Indonesia.

Presiden Prabowo dalam beberapa acara sering mengarahkan dan menekankan bahwa sektor mineral merupakan salah satu pilar penting dalam pembangunan industri nasional.

“Kita ingin mineral Indonesia tidak hanya diekspor dalam bentuk bahan mentah, tetapi diolah di dalam negeri untuk kesejahteraan rakyat,” kata Presiden. (an)

Topik:

JATAM Badan Industri Mineral