Rapat di Sofifi Hasilkan 7 Kesepakatan, PT STS Wajib Tunduk pada Suara Warga


Sofifi, MI – Pemerintah Provinsi Maluku Utara (Pemprov Malut) mengambil langkah strategis dalam meredam potensi konflik sosial antara PT. Sambaki Tambang Sentosa (STS) dan masyarakat lingkar tambang di Kecamatan Maba dan Maba Tengah, Kabupaten Halmahera Timur (Haltim). Melalui rapat resmi yang difasilitasi di lantai IV Kantor Gubernur Malut, Sofifi, Rabu (30/4/2025), seluruh pemangku kepentingan dihadirkan dalam satu forum untuk menyepakati solusi konkret atas ketegangan yang muncul akibat dugaan pelanggaran hak masyarakat atas tanah dan lingkungan.
Rapat dimulai pukul 14.22 WIT dan dihadiri langsung oleh Wakil Gubernur Malut, Sarbin Sehe, Kapolda Malut Brigjen Pol Waris Anggono, Ketua Komisi III DPRD Malut Merlisa Marsaoly, Sekprov Samsudin A. Kadir, Bupati Haltim Ubaid Yakub, Wabup Anjas Taher, Dandim 1505 Tidore Letkol Kav Chalter Purba, Kapolres Haltim AKBP Hidayatullah, Ketua DPRD Haltim Idrus Maneke, perwakilan masyarakat adat Maba-Maba Tengah, dan pimpinan PT. STS.
Wakil Gubernur Sarbin Sehe menegaskan, kehadiran pemerintah provinsi dalam mediasi ini merupakan bentuk tanggung jawab terhadap potensi disharmoni yang bersumber dari kelalaian perusahaan dalam memenuhi prinsip partisipasi dan perlindungan hak masyarakat.
Ia menyebut, pengaduan warga beberapa hari sebelumnya menjadi indikator bahwa perusahaan belum menjalankan fungsi sosial sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020.
“Pemprov Malut tidak bisa diam melihat warga lingkar tambang merasa dizalimi. Perusahaan tambang harus tunduk pada prinsip keadilan sosial dan penghormatan terhadap hak atas tanah, terutama tanah adat dan tanah bersertifikat milik warga,” tegas Sarbin.
Bupati Haltim Ubaid Yakub menyampaikan bahwa sejak awal pihaknya telah berupaya mengingatkan perusahaan untuk menjalin komunikasi yang sehat dengan masyarakat.
Namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa sejumlah prosedur, seperti konsultasi publik dan penyusunan RIPPM (Rencana Induk Pemberdayaan Masyarakat), tidak dijalankan secara inklusif.
“Pemkab tidak anti-investasi, tapi kami tidak bisa membiarkan perusahaan bertindak seolah-olah bebas dari kontrol sosial. Sikap arogan perusahaan hanya akan melahirkan resistensi,” ujar Ubaid.
Kapolda Malut Brigjen Waris Anggono mengingatkan bahwa konflik pertambangan sangat rentan bereskalasi apabila perusahaan mengabaikan keberadaan hutan hak dan hutan adat sebagaimana diatur dalam UU Kehutanan.
Ia menekankan bahwa aparat tidak akan berpihak kepada salah satu, melainkan menjaga ketertiban, dengan tetap memberi ruang kepada masyarakat untuk menyuarakan haknya.
Ketua Komisi III DPRD Malut, Merlisa Marsaoly, menegaskan bahwa DPRD telah melakukan verifikasi langsung di lapangan dan menemukan bahwa tuntutan masyarakat sangat rasional.
Menurutnya, keengganan perusahaan memenuhi kewajiban sosial hanya akan memperkuat krisis kepercayaan publik.
Perwakilan PT. STS, Debi Falentina, menyampaikan permohonan maaf atas terjadinya ketegangan sosial antara perusahaan dan warga lingkar tambang.
Ia mengakui bahwa proses sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat belum maksimal dan menyatakan kesediaan perusahaan untuk melakukan perbaikan menyeluruh.
“Sebanyak 21 dari 28 bidang tanah bersertifikat telah diverifikasi. Sisanya akan diselesaikan melalui mekanisme yang disepakati. Perusahaan juga sepakat memberikan tali asih atas lahan-lahan yang berada dalam wilayah konsesi dan akan melibatkan seluruh desa dalam penyusunan RIPPM,” ucap Debi.
Ketua DPRD Haltim, Idrus Maneke, menilai perusahaan telah mengabaikan etika sosial dan kearifan lokal. Ia mendesak agar permintaan maaf dari PT. STS disampaikan secara terbuka dan dituangkan dalam komitmen tertulis.
“Kami ingin perusahaan ini tidak hanya bicara soal keuntungan. Harga diri masyarakat kami tidak boleh diinjak. Tanggung jawab sosial itu bukan hadiah, tapi kewajiban,” tegasnya.
Rapat diakhiri pukul 16.00 WIT dengan penandatanganan Berita Acara yang memuat tujuh poin kesepakatan antara PT. STS, Pemkab Haltim, dan masyarakat lingkar tambang. Berikut isi lengkap tujuh poin kesepakatan tersebut:
1. Konsultasi Publik sebagai Prasyarat Operasi Tambang
PT. STS wajib melaksanakan konsultasi publik secara terbuka dan menyeluruh sebelum memulai aktivitas penambangan di Kecamatan Maba dan Maba Tengah, guna menjamin partisipasi masyarakat.
2. Penyusunan RIPPM Harus Inklusif dan Transparan
Perusahaan dan Pemkab Haltim berkomitmen menyusun RIPPM dengan melibatkan seluruh desa di Kecamatan Maba Tengah. Seluruh proses wajib mengedepankan transparansi dan musyawarah.
3. Distribusi CSR Melalui Pemerintah Desa dan Struktur Adat
Penyaluran program CSR perusahaan diwajibkan melalui mekanisme Pemerintah Desa dengan koordinasi Camat dan tokoh adat Qimalaha Wayamli, dengan prioritas pada pendidikan, kesehatan, dan keagamaan.
4. Program Pemberdayaan Wajib Jalan di Semua Wilayah
PT. STS wajib menjalankan program pemberdayaan masyarakat di semua wilayah lingkar tambang secara terukur, terencana, dan dapat diaudit melalui RIPPM yang disepakati.
5. Penyelesaian 28 Bidang Lahan Bersertifikat Milik Warga
Perusahaan menyetujui penyelesaian status dan kompensasi atas 28 bidang lahan bersertifikat, termasuk 16 bidang di Bukit Nyamuk, berdasarkan musyawarah dan dokumen hukum yang sah.
6. Tali Asih bagi Lahan di Kawasan Hutan
Pemberian tali asih sebagai bentuk penghargaan terhadap hak masyarakat atas lahan-lahan di kawasan hutan akan dilakukan melalui kesepakatan tertulis sebelum dimulainya operasi tambang.
7. Sengketa Tumpang Tindih Lahan Diselesaikan Secara Adil
Konflik kepemilikan lahan di Tanjung Memeli akan diselesaikan melalui pendekatan hukum dan kekeluargaan yang difasilitasi oleh pemerintah dan perangkat adat untuk menjamin keadilan.
Penandatanganan Berita Acara disaksikan oleh seluruh unsur yang hadir dan akan menjadi dasar legal serta moral bagi perusahaan untuk menjalankan seluruh kewajibannya.
Melalui fasilitasi Pemprov Malut, konflik sosial antara PT. STS dan masyarakat lingkar tambang memasuki babak baru penyelesaian berbasis keadilan, partisipasi, dan transparansi.
Pemerintah daerah menegaskan bahwa keberpihakan pada rakyat tidak akan dikompromikan demi kepentingan korporasi. Di sisi lain, PT. STS kini dituntut untuk membuktikan komitmennya bukan lewat retorika, tapi lewat tindakan nyata di lapangan. (RD)
Topik:
Pemprov Malut