Swakelola Proyek Rp8,8 Miliar, DPRD Curiga Ada Akal-akalan Pengadaan

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 9 Mei 2025 08:44 WIB
Ketua DPRD Malut, Ikbal Ruray (Foto: MI/Rais Dero)
Ketua DPRD Malut, Ikbal Ruray (Foto: MI/Rais Dero)

Sofifi, MI — Dugaan penyimpangan dalam proyek rehabilitasi rumah dinas gubernur Maluku Utara (Malut) senilai Rp8,8 miliar terus menuai sorotan. Ketua DPRD Malut, Ikbal Ruray, secara tegas mempertanyakan legalitas pelaksanaan proyek tersebut yang menggunakan skema swakelola tanpa melalui proses lelang.

Proyek yang digagas oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Malut itu tercatat menelan anggaran sebesar Rp8.854.900.000, dan saat ini sedang dalam sorotan tajam karena dinilai menyalahi prinsip-prinsip dasar pengadaan barang dan jasa pemerintah.

“Nilainya begitu besar, harus lelang. Kalau kegiatan yang dikelola sesuai proses pengadaan langsung, maksimal hanya Rp400 juta. Kalau sudah di atas Rp400 juta, itu wajib lelang,” tegas Ikbal saat ditemui wartawan di Kantor DPRD Malut, Sofifi, Kamis (8/5/2025).

Pernyataan Ikbal bukan tanpa dasar. Ia mengacu langsung pada ketentuan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, yang mengatur bahwa pengadaan barang/jasa dengan nilai besar harus melalui mekanisme tender terbuka untuk menjamin asas transparansi, akuntabilitas, dan kompetisi sehat di antara para penyedia jasa.

Sebagai bentuk langkah pengawasan, Ikbal menegaskan DPRD Malut akan segera menjadwalkan Rapat Dengar Pendapat (RDP) melalui Komisi III DPRD yang membidangi infrastruktur. 

Pemanggilan ini dimaksudkan untuk meminta klarifikasi resmi dari Dinas PUPR dan Biro Pengadaan Barang dan Jasa (BPBJ) atas keputusan pelaksanaan proyek secara swakelola.

“Kami akan koordinasi dengan Komisi III untuk segera panggil Dinas PUPR dan BPBJ. Supaya semua proses dijelaskan secara resmi dalam forum terbuka, bukan koordinasi-koordinasi informal yang tidak bisa dipertanggungjawabkan,” ujar Ikbal.

Menurutnya, mekanisme RDP akan menjamin adanya dokumentasi resmi seperti notulen dan daftar hadir, yang menjadi landasan kuat untuk menilai apakah proses pengadaan telah sesuai aturan atau justru mengandung potensi penyimpangan.

“Sekarang ini tidak bisa lagi cuma koordinasi begitu-begitu saja. Harus ada forum resmi. Biar tidak simpang siur,” tambahnya.

Ikbal menilai penggunaan skema swakelola dalam proyek bernilai miliaran rupiah ini sangat tidak rasional. Swakelola, menurutnya, hanya diperbolehkan dalam situasi sangat khusus, seperti pekerjaan mendesak, pekerjaan yang bersifat padat karya, atau tidak memungkinkan dilakukan oleh penyedia jasa profesional.

“Kalau swakelola itu harus ada alasan kuat dan mendesak. Tapi ini kan bukan urusan darurat, melainkan proyek rehab rumah dinas. Dan anggarannya sampai Rp8,8 miliar, itu wajib tender!” tegas Ikbal.

Ia khawatir praktik ini akan menjadi preseden buruk bagi OPD lainnya. Jika dibiarkan, pola ini dapat membuka peluang pelanggaran sistematis terhadap regulasi pengadaan, dan bahkan membuka ruang praktik korupsi terselubung.

“Kalau sudah bikin contoh begitu, yang lain juga nanti ikut. Ini bukan soal suka atau tidak, ini soal aturan. Tabrak aturan itu tidak bisa dibiarkan!” kata dia.

Pernyataan Ikbal mencerminkan kekhawatiran akan rendahnya transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan anggaran daerah. Ia menyoroti pentingnya proses tender bukan sekadar prosedural, tetapi juga untuk menjamin kualitas pekerjaan, efisiensi anggaran, dan keterlibatan pelaku usaha lokal secara adil.

“Sistem pelelangan itu dibuat supaya pihak ketiga bisa berkompetisi secara sehat. Kalau swakelola terus, lalu siapa yang diberdayakan? Ini justru menutup peluang bagi penyedia jasa yang sah,” tutup Ikbal. (Rais Dero)

Topik:

DPRD Maluku Utara