Mahalnya Proyek Swakelola PUPR Malut: Legal Tapi Kontroversial


Sofifi, MI – Polemik proyek swakelola yang dijalankan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Maluku Utara (Malut) memaksa Sekretaris Daerah (Sekda) Samsuddin Abdul Kadir turun tangan. Pada Selasa (20/5), Sekda memanggil langsung Plt Kepala Dinas PUPR, Risman Iriyanto Djafar, untuk meminta penjelasan terkait legalitas dan mekanisme pelaksanaan proyek yang diduga tidak melibatkan pihak ketiga.
Proyek yang dimaksud meliputi pekerjaan rehabilitasi Kediaman Gubernur, Kediaman Wakil Gubernur, dan Kantor Gubernur, semuanya menggunakan skema swakelola.
Skema ini belakangan menuai sorotan publik karena dianggap tidak lazim dan rawan penyimpangan, serta diduga adanya ketidakwajaran dalam pelaksanaan sejumlah proyek yang dikerjakan dengan skema swakelola oleh Dinas PUPR Malut.
Menanggapi isu tersebut, Sekda Malut, Samsuddin Abdul Kadir, mengambil langkah cepat dengan memanggil langsung Plt Kepala Dinas PUPR, Risman Iriyanto Djafar. Pertemuan itu dilakukan untuk meminta klarifikasi langsung terkait prosedur dan dasar hukum pelaksanaan proyek swakelola yang kini menuai polemik.
Samsuddin menyampaikan bahwa berdasarkan penjelasan yang diberikan oleh Dinas PUPR, pelaksanaan proyek-proyek tersebut telah mengikuti seluruh prosedur yang ditetapkan pemerintah pusat, termasuk mendapatkan persetujuan dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
“Iya jadi tadi kita juga sudah panggil Kadis PU bahwa semua prosedur telah dilalui oleh Dinas PU terkait dengan pelaksanaan swakelola, itu sudah dapat persetujuan dari LKPP, kemudian dari Dinas PU,” ujar Samsuddin kepada wartawan.
Lebih lanjut, Samsuddin menjelaskan bahwa skema swakelola bukanlah hal baru dalam sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah. Namun, karena selama ini jarang digunakan, publik kerap memandangnya sebagai metode yang menyimpang dari kebiasaan.
“Memang ini jadi perdebatan di banyak hal karena sebenarnya pelaksanaan proyek itu biasanya oleh pihak ketiga. Swakelola itu sebenarnya soal pilihan, ketika memilih yang mana, jadi bukan berarti itu tidak ada ketentuan. Ada ketentuannya,” jelasnya.
Menurut Samsuddin, dalam regulasi pengadaan barang dan jasa, terdapat beberapa tipe swakelola yang sah digunakan, seperti yang dilakukan oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) atau instansi pemerintah sendiri.
Ia menegaskan bahwa selama semua syarat dan ketentuan dipenuhi, maka tidak ada pelanggaran hukum.
“Ada yang namanya KSM, kelompok masyarakat, swakelola, dan ada beberapa tipe. Nah itu, sepanjang dipenuhi ketentuan-ketentuannya, itu sebenarnya tidak ada persoalan, ya,” katanya.
Ia juga menggarisbawahi bahwa penggunaan metode swakelola menjadi kontroversial karena jarang diterapkan, sehingga ketika digunakan, muncul kesan bahwa itu adalah metode yang tidak lazim atau bahkan bermasalah.
“Jadi sepertinya memang selama ini pilihan itu jarang dipakai, kemudian karena jarang dipakai sehingga seakan-akan kegiatan itu tidak ada, begitu ya,” lanjutnya.
“Nah, ketika itu dipakai, terlihat seperti ‘wah ini barang asing’. Jadi setelah saya konfirmasi ke Pak Kadis, itu pilihan saja, Pak. Jadi kita terserah mau yang seperti apa. Kalau tidak salah ada tiga paket,” tambahnya.
Menanggapi pertanyaan wartawan soal dugaan bahwa pelaksanaan proyek swakelola ini berpotensi dimonopoli atau sengaja diarahkan ke kelompok tertentu tanpa proses lelang terbuka, Samsuddin dengan tegas membantah tudingan tersebut.
“Tidak, tidak. Jadi kebetulan itu hanya persoalan pilihan yang kemudian mungkin yang dipilih oleh Dinas PU. Dari sisi perhitungan dari berbagai aspek, memilih ke situ,” katanya.
Ia menegaskan bahwa skema swakelola tetap berada dalam koridor regulasi, meskipun selama ini tidak populer dibandingkan metode pengadaan konvensional melalui tender atau penyedia pihak ketiga.
“Cuman saya bilang, itu bukan tidak ada. Ada, tapi selama ini jarang dipakai,” tegasnya lagi.
Saat ditanyakan apakah pola serupa bisa diterapkan oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lain di lingkup Pemprov Malut, Samsuddin menyatakan bahwa hal tersebut tergantung pada kebutuhan dan kebijakan masing-masing OPD.
Namun, ia mengingatkan bahwa dalam beberapa kasus, pemilihan metode pengadaan tertentu harus memperhatikan keberadaan opsi lain yang lebih efisien, seperti e-katalog.
“Eee saya kira itu kan sebenarnya, eee apa namanya, tergantung kepada pilihan yang mau dipakai. Kecuali ada hal-hal tertentu yang, kalau sudah ada yang ini, berarti pilihan yang itu sebaiknya tidak dilakukan. Misalnya seperti katalog. Kalau sudah ada katalog, sebaiknya yang lain jangan ada lagi, begitu kan. Tapi ada yang pilihan itu selalu terbuka, begitu kan. Cuman sepenuhnya jarang dipilih, sehingga orang tidak mengingat lagi soal pilihan itu. Ketika pilihan itu dipakai, seperti seakan-akan melanggar,” pungkasnya. (Rais Dero)
Topik:
PUPR Provinsi Malut Sekda Malut Pemprov Malut