DPD RI Desak Presiden Bebaskan Warga Haltim yang Ditahan karena Protes Tambang


Sofifi, MI - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Hasby Yusuf, melayangkan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto, Senin (23/6/2025), guna mendesak pembebasan 11 warga Halmahera Timur yang sebelumnya ditangkap oleh Kepolisian Daerah Maluku Utara (Polda Malut) dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Pengadilan Negeri Soasio, Kota Tidore Kepulauan.
Dalam surat terbuka tersebut, Hasby meminta Presiden turun tangan secara langsung untuk mengintervensi proses hukum yang ia nilai sarat ketidakadilan dan telah menjadi perhatian publik. Ia menegaskan bahwa penahanan terhadap 11 warga tersebut bukan semata soal hukum, melainkan persoalan keadilan dan hak-hak dasar warga negara yang harus dipenuhi negara.
“Masalah ini telah menjadi perhatian publik. Masyarakat menuntut agar 11 warga yang ditahan segera dibebaskan. Sangat disayangkan ketika pemerintah daerah justru memilih diam dan membiarkan masyarakatnya sendiri menghadapi tekanan,” ungkap Hasby dalam pernyataannya.
Ia menilai, meskipun aparat penegak hukum (APH) menjalankan prosedur hukum, namun tak terlihat adanya keadilan substansial bagi masyarakat yang hanya menyuarakan hak atas tanah dan ruang hidup mereka. Menurutnya, negara seharusnya hadir untuk melindungi masyarakat, bukan malah membiarkan mereka dikriminalisasi.
“Selama ini, ketika masyarakat Maluku Utara memprotes aktivitas pertambangan, mereka justru digiring ke ranah pidana. Negara seolah-olah berpihak pada perusahaan tambang dan melupakan rakyatnya sendiri,” kata Hasby.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa 11 warga yang ditangkap tersebut adalah warga negara Indonesia, bukan warga negara asing, sehingga Presiden sebagai kepala negara memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk melindungi mereka.
“Jika pemerintah daerah tidak mampu membela masyarakat, maka negara harus hadir. Yang berdaulat atas negeri ini adalah rakyat, bukan pemilik perusahaan tambang,” tegasnya.
Hasby menekankan bahwa investasi pertambangan seharusnya memberikan manfaat nyata bagi masyarakat Maluku Utara, bukan justru merugikan mereka. Bila masyarakat menjadi korban akibat hadirnya investasi, negara wajib hadir membela rakyat, bukan justru mengarahkan aparat negara untuk menjaga kepentingan korporasi.
“Jangan sampai negara kehilangan peran dan keberpihakan hanya karena tunduk pada kekuatan modal,” lanjutnya.
Tak hanya mendesak pembebasan, Hasby juga meminta Presiden Prabowo mengevaluasi secara menyeluruh pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) di wilayah Maluku Utara. Menurutnya, sejumlah proyek PSN justru menimbulkan ketegangan dan konflik sosial di tengah masyarakat, terutama di wilayah lingkar tambang.
“Jangan sampai kita terjebak dalam narasi Proyek Strategis Nasional, lalu mengabaikan warga negara. Yang lebih penting di sini bukanlah investasi, tetapi rakyat,” ujarnya.
Ia mempertanyakan arah kekuatan militer dan aparat kepolisian yang sering kali diturunkan untuk menjaga proyek-proyek besar, namun justru abai terhadap keselamatan dan kesejahteraan masyarakat lokal.
“Bagaimana mungkin kekuatan militer dan Polri diarahkan hanya untuk membela Proyek Strategis Nasional? Itu tidak boleh. Perlindungan negara harus ditujukan kepada rakyat, bukan korporasi,” katanya.
Hasby juga menyinggung kasus PT STM dan PT STS yang ditengarai terlibat pencemaran lingkungan di Teluk Weda dan Pulau Obi. Menurutnya, kasus-kasus seperti ini seharusnya menjadi evaluasi bagi pemerintah pusat terkait keberpihakan proyek-proyek PSN terhadap masyarakat.
“Jika proyek strategis itu benar-benar untuk rakyat, maka dampaknya harus dirasakan oleh masyarakat. Jika tidak, maka proyek itu telah kehilangan tujuannya,” katanya.
Kepada masyarakat Maluku Utara, Hasby mengajak agar bersatu dan tidak diam terhadap berbagai bentuk ketidakadilan. Ia menyerukan kepala daerah, media, dan seluruh elemen masyarakat untuk bersikap.
“Saya berharap seluruh elemen masyarakat, kepala daerah, dan rekan-rekan media bersatu membela kepentingan daerah ini,” katanya.
Dalam narasi yang lebih luas, Hasby menegaskan bahwa Maluku Utara bukanlah wilayah jajahan yang bisa diperlakukan seenaknya oleh kekuatan modal. Ia mengingatkan bahwa daerah ini merupakan bagian sah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang punya hak setara.
“Maluku Utara bukan daerah kolonial. Kita bukan lagi negeri terjajah. Kita adalah bangsa yang pernah merdeka dan dengan sadar memilih bergabung dengan Republik,” ujarnya.
“Jika negara mengakui konsensus itu, maka negara harus memperlakukan rakyat Maluku Utara secara adil. Dari Aceh sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote, semua memiliki hak yang sama,” tegasnya lagi.
Menurutnya, tidak ada perbedaan antara orang Jawa, Maluku, atau Aceh. Semuanya adalah warga negara yang memiliki hak konstitusional yang harus dipenuhi negara.
“Kita tidak boleh mendefinisikan warga negara berdasarkan wilayah, tetapi berdasarkan haknya sebagai manusia dan warga Indonesia,” ujarnya.
Di akhir pernyataannya, Hasby menegaskan bahwa perjuangannya bukan untuk menuntut kemerdekaan, tetapi untuk menuntut keadilan sosial dan ekonomi bagi rakyat Maluku Utara yang selama ini hanya dijadikan objek eksploitasi oleh korporasi.
“Kita bukan menuntut merdeka, tapi menuntut hak sebagai sesama warga negara. Apalagi kita punya sumber daya alam yang melimpah. Jangan sampai kekayaan ini hanya dinikmati oleh Jakarta, sementara masyarakat lokal tetap sengsara,” pungkasnya. (Jainal Adaran)
Topik:
DPD RI Hasby Yusuf Halmahera Timur Maluku Utara Protes TambangBerita Sebelumnya
Pemkab Muaro Jambi Gandeng Universitas Jambi, Teken MoU untuk Perkuat Fondasi Pembangunan Daerah
Berita Selanjutnya
Wagub Malut Buka Kemah Remaja GMIH 2025 di Pediwang
Berita Terkait

Empat Aset Pemprov jadi Kado Indah Gubernur Sherly di HUT Provinsi Maluku Utara ke-26
30 September 2025 04:37 WIB

MotoGP Mandalika 2025, Momentum NTB Perkuat Citra Pariwisata Dunia
29 September 2025 14:17 WIB