Warga Aur Kenali dan Mendalo Darat Serukan Penolakan Keras, PT SAS Dinilai Abaikan Hak Lingkungan dan Keselamatan Warga

Albani Wijaya
Albani Wijaya
Diperbarui 6 Juli 2025 12:59 WIB
Alat berat jenis ekskavator terlihat tengah beroperasi membuka lahan di tengah permukiman warga Kelurahan Aur Kenali, Kota Jambi. Aktivitas ini diduga terkait pembangunan jalan hauling menuju stockpile milik PT. Sinar Anugrah Sentosa (SAS) yang menuai penolakan keras dari masyarakat setempat (Foto: Dok/MI)
Alat berat jenis ekskavator terlihat tengah beroperasi membuka lahan di tengah permukiman warga Kelurahan Aur Kenali, Kota Jambi. Aktivitas ini diduga terkait pembangunan jalan hauling menuju stockpile milik PT. Sinar Anugrah Sentosa (SAS) yang menuai penolakan keras dari masyarakat setempat (Foto: Dok/MI)

Jambi, MI – Gelombang penolakan terhadap aktivitas hauling batubara milik PT. Sinar Anugrah Sentosa (SAS) kembali mencuat. Kali ini, suara lantang datang dari warga Kelurahan Aur Kenali, Kota Jambi dan Desa Mendalo Darat, Kabupaten Muaro Jambi. Mereka dengan tegas menyatakan penolakan keras terhadap aktivitas pembangunan jalan khusus hauling yang tiba-tiba dikerjakan perusahaan tambang tersebut di tengah permukiman, Jumat (4/7/2025).

Kemunculan alat berat yang beroperasi tanpa pemberitahuan dan persetujuan warga memicu kemarahan. Proyek ini diyakini sebagai bagian dari jalur hauling menuju stock pile PT. SAS, yang ironisnya sudah sejak 2023 mendapat penolakan dari masyarakat. Namun, perusahaan dinilai tetap memaksakan kehendak tanpa pertimbangan aspek sosial dan ekologis.

Warga menilai aktivitas alat berat tersebut telah merusak ekosistem penting. Timbunan tanah dibuang ke embung dan wilayah resapan air yang selama ini berfungsi menampung limpasan hujan. Jika hal ini terus berlanjut, ancaman banjir hanya tinggal menunggu waktu.

“Kami kaget alat berat tiba-tiba muncul, langsung kerja tanpa ada pemberitahuan. Tanah-tanah ditimbun ke embung, ke tempat resapan air. Ini tidak main-main. Kalau musim hujan datang, kami yang kebanjiran, bukan perusahaan,” ujar Rifai (42), warga RT 17 Aur Kenali.

Selain ancaman lingkungan, warga juga ketakutan terhadap dampak sosial yang ditimbulkan. Truk-truk bertonase besar yang akan melintas di jalan permukiman dinilai sangat berbahaya bagi keselamatan warga. Debu pekat, kebisingan, getaran, dan risiko kecelakaan lalu lintas menjadi alasan utama penolakan.

“Ini jalan kampung, bukan jalan tambang. Anak-anak kami lewat sini tiap hari. Kalau truk batubara melintas, siapa yang bisa jamin keselamatan mereka?,” ungkap Lestari (37), ibu rumah tangga asal Mendalo Darat.

Warga juga menyayangkan minimnya keterbukaan informasi. Sejak awal, tidak pernah ada sosialisasi, forum publik, atau mekanisme pelibatan warga yang dijalankan oleh PT. SAS. Semuanya berjalan senyap dan seolah disengaja untuk menghindari protes.

Penolakan warga ini diperkuat oleh temuan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jambi. Berdasarkan hasil overlay data spasial melalui WebGIS “Rencana Tata Ruang Online” milik ATR/BPN, diketahui bahwa lokasi Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) milik PT. SAS justru berada di dalam Kawasan Perlindungan Setempat (KPS). Wilayah ini secara hukum harus dijaga kelestariannya dan tidak bisa dialihfungsikan untuk aktivitas industri ekstraktif seperti tambang batubara.

Direktur Eksekutif WALHI Jambi, Oscar Anugerah, menegaskan bahwa pembangunan jalan hauling di wilayah permukiman adalah bentuk pelanggaran hak rakyat.

“WALHI menolak keras aktivitas hauling batubara yang melintasi permukiman warga. Debu, kebisingan, getaran, hingga kerusakan jalan bukan dampak ringan. Ini penderitaan langsung bagi warga, terutama anak-anak dan kelompok rentan,” ujar Oscar dalam keterangannya saat dikonfirmasi, Sabtu (5/7/2025).

Oscar juga mengingatkan bahwa aktivitas hauling batubara secara langsung mempercepat kerusakan infrastruktur jalan yang dibiayai negara. Jalan umum yang sejatinya dibangun untuk masyarakat kini harus menanggung beban truk tambang bertonase tinggi. Dan pada akhirnya, rakyat jugalah yang menanggung kerugian.

“Negara bangun jalan dengan uang rakyat. Tapi yang rusak karena tambang. Ini bentuk ketidakadilan yang nyata,” tegasnya.

Lebih jauh, Oscar meminta pemerintah agar tidak tunduk pada tekanan korporasi dan menjalankan amanat konstitusi. Ia menegaskan bahwa hak atas lingkungan hidup yang sehat adalah bagian dari hak asasi manusia sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, serta Pasal 65 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009.

“Pemerintah harus hadir. Harus menegakkan hukum lingkungan hidup dan melindungi warganya. Ini bukan hanya soal tambang, tapi soal harga diri negara dalam melindungi rakyatnya dari kerusakan dan penderitaan,” tegas Oscar.

Atas dasar itu, WALHI Jambi bersama warga Aur Kenali dan Mendalo Darat menyerukan penghentian segera semua aktivitas hauling batubara PT. SAS. Mereka juga mendesak aparat penegak hukum dan pemerintah daerah agar bertindak tegas dan tidak membiarkan praktik-praktik yang merugikan rakyat terus berlangsung.

Topik:

Mauro Jambi PT. Sinar Anugrah Sentosa