Iqbal Ruray, Said Banyo, dan Isman Abas dalam Drama Kunker DPRD Malut yang Tak Ingin Diketahui Publik


Sofifi, MI - Saat publik dan pemerintah provinsi tengah sibuk menyusun strategi efisiensi anggaran, sejumlah anggota DPRD Malut justru memilih agenda kunjungan kerja ke luar daerah. Informasi yang dihimpun Monitorindonesia.com menyebutkan bahwa Komisi I, II, dan III DPRD Malut berencana melakukan perjalanan ke empat wilayah sekaligus, yaitu Jakarta, Yogyakarta, Kepulauan Riau, dan Papua.
Keberangkatan para anggota dewan dijadwalkan pada Rabu 16 Juli 2025 dan Kamis 17 Juli 2025. Namun hingga kini tak ada keterangan resmi dari DPRD Malut mengenai maksud, tujuan, atau urgensi kunjungan tersebut. Fakta bahwa agenda ini disusun secara diam-diam sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa kunjungan ini diduga bukan murni untuk kepentingan rakyat.
Yang lebih disorot publik, kegiatan tiga komisi ini diduga menghabiskan anggaran ratusan juta rupiah dari APBD Malut Tahun Anggaran 2025. Biaya yang mencakup tiket pesawat, akomodasi hotel bintang tiga ke atas, uang harian, serta biaya pendampingan dan konsumsi, menjadi beban bagi keuangan daerah yang saat ini justru sedang dalam tekanan efisiensi.
Upaya wartawan Monitorindonesia.com untuk memperoleh kejelasan ihwal agenda keberangkatan sejumlah anggota DPRD Malut ke luar daerah justru menemui jalan buntu.
Saat menghubungi pihak Sekretariat DPRD untuk mengonfirmasi informasi yang telah beredar melalui telepon dan pesan singkat whatsapp tidak ada penjelasan resmi yang diberikan.
Padahal, sebagai instansi yang mengelola dan mencatat setiap aktivitas resmi dewan, termasuk perjalanan dinas, sekretariat seharusnya menjadi sumber informasi yang paling terbuka.
Namun sikap berbeda justru ditunjukkan oleh Pelaksana Harian (Plh) Sekretaris DPRD Malut, Isman Abas. Saat dimintai keterangannya, Isman menolak untuk berkomentar langsung. Alih-alih memberikan klarifikasi atau informasi dasar, ia justru mengalihkan pertanyaan tersebut kepada bawahannya.
“Konfirmasi ke beliau ni,” ucap Isman singkat, sambil mengirimkan nomor handphone milik Fahmi, salah satu pejabat fungsional di bawah struktur koordinasinya.
Tindakan Isman ini menimbulkan kesan bahwa informasi terkait agenda perjalanan komisi-komisi DPRD Malut sengaja tidak dibuka kepada publik. Sebagai pejabat struktural yang berperan penting dalam sistem administrasi kelembagaan DPRD, pengalihan tanggung jawab informasi ini menambah daftar panjang lemahnya transparansi di internal lembaga legislatif.
Pernyataan Isman tersebut tidak menjawab substansi pertanyaan, melainkan justru melempar tanggung jawab ke pihak lain tanpa kejelasan siapa yang dimaksud. Hal ini mengesankan ada upaya untuk menutupi informasi dari publik.
Dihubungi terpisah, pejabat Sekretariat DPRD Malut lainnya, Fahmi, juga menunjukkan sikap enggan menjelaskan. Ia mengaku belum mengetahui dengan pasti agenda masing-masing komisi.
Ketika dikonfirmasi secara terpisah, pejabat fungsional Sekretariat DPRD Malut, Fahmi, tidak memberikan jawaban pasti terkait rencana kunjungan kerja sejumlah komisi. Ia menyatakan belum mengetahui secara rinci agenda masing-masing komisi dan belum bisa memastikan kebenaran informasi tersebut.
“Nanti saya cek dulu di masing-masing komisi, kalau memang ada agenda ke luar daerah nanti saya konfirmasi ulang. Karena saya tidak bisa berkomentar karena itu masing-masing komisi pe agenda,” ujarnya.
Hal ini menunjukkan bahwa Sekretariat DPRD Malut tampaknya tidak memiliki koordinasi yang solid dengan komisi-komisi terkait, atau setidaknya enggan membuka informasi soal agenda resmi ke luar daerah.
Sikap tersebut menambah ketidakjelasan terhadap rencana kunjungan kerja yang dilakukan oleh Komisi I, II, dan III DPRD Malut yang hingga kini belum diumumkan secara terbuka kepada publik.
Alih-alih memberikan data yang pasti, Fahmi justru menyampaikan bahwa dirinya belum dapat memastikan kebenaran agenda tersebut dan memilih untuk mengecek ulang ke pihak lain yang mendampingi komisi-komisi.
“Untuk memastikan nanti saya konfirmasi ke masing-masing pendamping karena setiap komisi pe agenda berbeda-beda,” kata Fahmi.
Penjelasan tersebut semakin menegaskan bahwa informasi soal rencana kunjungan kerja (kunker) tidak terpusat di Sekretariat DPRD dan justru cenderung disamarkan dengan alasan bahwa tiap komisi memiliki agenda masing-masing.
Saat ditanya lebih lanjut untuk memastikan kebenaran informasi yang telah beredar, Fahmi justru mendorong agar media menghubungi langsung tiap komisi tanpa menjelaskan secara konkret posisi sekretariat dalam mengoordinasi agenda tersebut.
“Tapi kita pastikan dulu, lebih bagus konfirmasi ke masing-masing komisi supaya lebih jelas dong pe agenda,” kata Fahmi.
Saran tersebut sekali lagi bukan jawaban atas pertanyaan inti yang diajukan wartawan, melainkan bentuk pengalihan tanggung jawab komunikasi publik kepada komisi-komisi secara individual.
Ketika diminta penjelasan lanjutan, Fahmi hanya menyebut bahwa agenda dewan masih dalam pembahasan internal dan bergantung pada hasil rapat badan musyawarah (BANMUS).
“Untuk minggu ini masih dalam rapat kerja. Tapi nanti saya cek hasil BANMUS dulu karena dorang pe agenda kerja itu berdasarkan rapat hasil Badan Musyawarah, jadi nanti saya konfirmasi dulu ke pimpinan DPRD,” jelas Fahmi.
Selain itu, Fahmi berusaha membangun narasi prosedural dengan menyebut bahwa rencana kunjungan kerja disusun berdasarkan hasil rapat Badan Musyawarah (BANMUS).
Namun, ia tidak menjelaskan apakah rapat tersebut sudah benar-benar dilaksanakan, serta tidak memberikan informasi konkret terkait hasilnya. Ketidakjelasan ini memperkuat kesan bahwa agenda kunker tersebut sengaja tidak diungkapkan secara terbuka kepada publik.
Akhirnya, ia menutup penjelasannya dengan pernyataan yang kembali melempar tanggung jawab informasi ke pihak lain. “Kalau mau memastikan langsung lebih baik komonikasi ke pimpinan DPRD, bisa konfirmasi ke Pak Kuntu Daud, bisa juga ke Pak Iqbal,” ucap Fahmi.
Respons dari pimpinan komisi dan pimpinan DPRD Malut terhadap sorotan publik soal kunjungan kerja diam-diam justru mempertebal kesan tidak transparan. Wakil Ketua Komisi II, Said Banyo, saat dimintai klarifikasi melalui pesan WhatsApp, tidak memberikan jawaban substansi apa pun. Ia malah membalas dengan kalimat ringan yang seolah mengabaikan urgensi pertanyaan wartawan.
“Dinda nnti e sy ada joging 🙏” tulis Said.
Jawaban tersebut bukan hanya tidak profesional, tetapi juga menunjukkan sikap yang meremehkan pentingnya akuntabilitas di tengah meningkatnya tuntutan keterbukaan informasi publik. Di saat masyarakat mempertanyakan penggunaan dana daerah, wakil rakyat justru memilih berlindung di balik aktivitas santai.
Sementara itu, Ketua DPRD Malut, Iqbal Ruray, yang seharusnya menjadi rujukan utama untuk mendapatkan kejelasan agenda resmi, malah menyampaikan jawaban singkat yang bertolak belakang dengan informasi di lapangan.
“Belum ada” tulis Iqbal.
Ucapan tersebut tidak menjawab inti persoalan. Sebab informasi yang dihimpun media menunjukkan telah ada persiapan keberangkatan anggota komisi. Ketidaksesuaian ini memunculkan pertanyaan serius apakah pimpinan DPRD benar-benar tidak mengetahui atau justru memilih untuk tidak mengungkapkannya.
Sikap serupa juga diperlihatkan oleh Wakil Ketua DPRD Malut yang juga anggota Komisi II, Husni Bopeng. Saat dihubungi lewat sambungan telepon, ia memilih mematikan panggilan.
Tindakan tersebut menambah daftar anggota DPRD yang menghindar dari upaya konfirmasi media. Penolakan memberikan penjelasan, diam, hingga menghindar dari panggilan telepon menjadi pola yang konsisten dari para wakil rakyat dalam masalah ini.
Tak hanya pimpinan, sejumlah ketua komisi dan anggota DPRD Malut lainnya juga tak merespons pesan maupun panggilan telepon dari Monitorindonesia.com. Konfirmasi melalui WhatsApp dan sambungan langsung tak membuahkan hasil. Tak satu pun dari mereka memberikan jawaban.
Fakta bahwa tak ada satupun yang bersedia menjelaskan kepada publik memunculkan dugaan kuat bahwa kunker kali ini memang disusun secara sembunyi-sembunyi. Sebuah tindakan yang tidak mencerminkan akuntabilitas lembaga legislatif terhadap rakyat yang mereka wakili.
Ironisnya, anggaran untuk kunjungan ini tetap bersumber dari uang rakyat, yakni APBD Pemprov Malut tahun 2025, yang seharusnya digunakan secara selektif dan produktif. Jika benar dana ratusan juta rupiah dihabiskan untuk kunjungan kerja yang tertutup dan tak transparan, maka ini bukan sekadar soal kebijakan, melainkan soal moralitas penggunaan uang daerah. (Jainal Adaran)
Topik:
DPRD Malut