Warga dan WALHI Jambi Kompak Menolak Pembangunan Stockpile PT. SAS, Bentuk Barisan Perjuangan Rakyat


Jambi, MI – Gelombang penolakan terhadap rencana pembangunan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) atau stockpile batubara milik PT. Sinar Anugrah Sentosa (PT. SAS) di wilayah padat penduduk semakin meluas. Pada Sabtu (2/8/2025), masyarakat dari Aur Kenali, Mendalo Darat, Mendalo Laut, Penyengat Rendah, serta beberapa desa sekitarnya menggelar konferensi pers bersama WALHI Jambi di Posko Perlawanan Rakyat. Agenda tersebut menjadi momen penting lahirnya konsolidasi akar rumput sebagai bentuk penolakan tegas terhadap aktivitas industri yang dinilai mengancam ruang hidup dan keselamatan warga.
Tidak berhenti pada pernyataan sikap, warga terdampak juga secara resmi membentuk organisasi perjuangan rakyat bernama Barisan Perjuangan Rakyat (BPR). Lembaga ini menjadi simbol keberanian masyarakat sipil dalam menghadapi tekanan korporasi dan minimnya perlindungan dari negara terhadap hak-hak dasar warga, terutama hak atas lingkungan yang sehat dan aman.
Direktur WALHI Jambi, Oscar Anugrah, menilai bahwa proyek stockpile PT. SAS adalah cerminan nyata dari praktik perampasan ruang hidup yang telah lama menjadi pola konflik agraria dan lingkungan di berbagai daerah di Indonesia. Menurutnya, pembangunan yang dilakukan terlalu dekat dengan permukiman dan sumber air bersih masyarakat merupakan bentuk kelalaian serius dalam tata kelola lingkungan.
“Pembangunan yang mengorbankan keselamatan rakyat dan keberlanjutan lingkungan bukanlah pembangunan, tapi bentuk kejahatan ekologis. Negara punya tanggung jawab konstitusional untuk melindungi warganya, bukan justru memfasilitasi kepentingan modal,” tegas Oscar.
Ia menyoroti lokasi stockpile yang hanya berjarak sangat dekat dari Intake PDAM Aurduri—fasilitas vital yang menyuplai air bersih bagi lebih dari 20.000 rumah tangga di Kota Jambi. Jika aktivitas tambang dan pengolahan batubara di kawasan ini tetap dilanjutkan, risiko pencemaran air akan sangat tinggi dan berpotensi menimbulkan krisis air bersih yang berdampak luas secara sosial dan kesehatan masyarakat.
Lebih lanjut, Oscar menyebut kelahiran BPR sebagai kekuatan strategis rakyat yang selama ini terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan. Ia juga menyesalkan kurangnya keterlibatan publik dalam proses perizinan proyek tersebut, yang seharusnya mematuhi prinsip transparansi dan partisipasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Ketua BPR, Rahmat Supriadi, dalam pernyataannya menyampaikan bahwa rakyat tidak pernah menolak pembangunan atau investasi, selama dilakukan dengan memperhatikan aspek keselamatan dan keberlanjutan lingkungan. Namun, ia menolak tegas investasi yang justru membawa bencana ekologis.
“Rakyat adalah pemilik konstitusi. Kami bukan anti-investasi. Tapi kami menolak investasi yang membawa maut. Kami menolak pembangunan stockpile yang hanya akan menghadirkan penderitaan bagi ribuan keluarga yang hidup di wilayah ini,” tegas Rahmat.
Menurutnya, pemerintah daerah mulai dari tingkat kota hingga provinsi, bahkan pusat, harus kembali ke prinsip dasar konstitusi: melindungi rakyat, bukan membiarkan mereka jadi korban dari keputusan politik yang berpihak pada pemodal besar.
Sikap serupa juga disampaikan oleh perwakilan pemuda dari Aur Kenali dan sekitarnya. Aldian, salah satu tokoh muda lokal, mengingatkan bahwa proyek seluas 70 hektare tersebut akan menjadi titik awal kerusakan lingkungan berskala besar. Ia menyebut bahwa dampaknya bukan hanya bersifat jangka pendek, tetapi akan dirasakan dalam jangka panjang oleh generasi mendatang.
“Ini soal masa depan keluarga kami. Soal anak-anak kami yang akan menghirup udara tercemar dan minum air yang tidak lagi layak. Ini soal ibu-ibu dan bapak-bapak kami yang kesehatannya akan terancam karena debu batubara dan limbah. Kami tolak dengan tegas!” serunya lantang.
Dalam konferensi pers tersebut, Barisan Perjuangan Rakyat bersama WALHI Jambi menyampaikan empat tuntutan utama:
1. Mendesak Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Jambi untuk mencabut seluruh perizinan pembangunan stockpile PT. SAS yang berada di wilayah hunian warga.
2. Menuntut Pemerintah Kota Jambi dan Kabupaten Muaro Jambi untuk menjalankan fungsi perlindungan terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup dari dampak buruk pembangunan.
3. Meminta agar setiap proses perizinan yang menyangkut proyek-proyek berdampak lingkungan wajib dibuka secara transparan dan melibatkan partisipasi aktif warga.
4. Menolak secara tegas pembangunan stockpile PT. SAS di kawasan permukiman karena membahayakan kualitas hidup, keselamatan warga, dan keberlanjutan ekosistem lokal.
Fenomena perlawanan warga di Jambi ini bukan kasus tunggal, tetapi bagian dari gambaran besar betapa seringnya masyarakat dikorbankan dalam proyek pembangunan yang tidak sensitif terhadap aspek lingkungan. Monitor Indonesia mencatat bahwa di banyak daerah, lemahnya pengawasan dan tidak transparannya proses perizinan kerap menjadi akar konflik antara warga dan perusahaan.
Kini, sorotan publik kembali tertuju pada pemerintah daerah dan pusat—apakah mereka akan mendengar suara rakyatnya atau tetap memilih diam demi kenyamanan modal. Yang jelas, masyarakat Jambi sudah mengambil sikap: ruang hidup mereka bukan untuk dijual, dan masa depan anak cucu mereka tak boleh dikorbankan demi tumpukan batubara.
Topik:
WALHI Jambi PT. SAS Barisan Perjuangan Rakyat JambiBerita Terkait

Warga Aur Kenali dan Mendalo Darat Tolak Kehadiran Stockpile PT SAS
13 September 2025 18:41 WIB

Bulog Jambi Masif Gelontorkan Beras SPHP, Jamin Stok dan Harga Terkendali
4 September 2025 20:20 WIB

Lintas Iman Jambi: Suara Rakyat Jangan Dibungkam, Anarkisme Harus Ditolak!
1 September 2025 02:01 WIB

Kebakaran Truk Fuso Pengangkut Paket Online Shop di Kaliberau, Polisi dan Masyarakat Turun Tangan Padamkan Api
21 Agustus 2025 14:54 WIB