Mengkritisi RUU Kesehatan dan RUU P2SK

No Name

No Name

Diperbarui 18 November 2022 11:47 WIB
Oleh: Timboel Siregar/ Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Opsi) SAAT ini Pemerintah dan DPR sedang menggodok dua RUU dengan menggunakan metode omnibus law. Kedua RUU tersebut adalah RUU P2SK (Pengembangan dan Penguatan Sistem Keuangan) dan RUU kesehatan. Kedua RUU melibatkan banyak UU eksisting yang pasal-pasalnya akan direvisi di kedua RUU tersebut. Kedua RUU ini mendapatkan sorotan masyarakat karena dalam naskah akademiknya merancang hal- hal yang berpotensi menciptakan kontraproduktif. Dalam naskah akademik RUU Kesehatan, mengatur banyak hal yang merevisi UU eksisting. Salah satu UU yang akan ikut direvisi adalah UU No. 24 tahun 2011tentang BPJS. Sebagai contoh, pasal-pasal di UU BPJS yang akan direvisi adalah tentang tanggungjawab Direksi BPJS (BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan) yaitu ke Menteri teknis, yang di UU BPJS saat ini Direksi bertanggungjawab langsung ke Presiden. Posisi BPJS ingin dijadikan seperti BUMN, yang dikendalikan Menteri. Lalu peran Dewan Pengawas BPJS akan dijadikan seperti Komisaris BUMN yaitu mengarahkan kerja-kerja Direksi serta mengusulkan pemberhentian dan pengangkatan Direksi BPJS. Demikian juga ada 14 UU terkait kesehatan dan kedokteran yang akan direvisi seperti keberadaan konsil kedokteran, organisasi IDI, dsb. Dari diskusi-diskusi yang saya ikuti, RUU kesehatan ini menuai banyak protes dari kalangan organisasi kesehatan, pekerja kesehatan serta lembaga masyarakat lainnya. Dari kandungan naskah akademik yang beredar di masyarakat pun, tampak pembuatan naskah akedemik sepertinya dibuat berdasarkan kepentingan beberapa pihak saja dan menarasikan sesuatu yang tidak benar. Padahal esensi naskah akademik akan menjadi acuan dalam penyusunan batang tubuh RUU Kesehatan. Salah satu narasi yang menurut saya tidak benar dan diuraikan secara hiperbol adalah tentang relasi Menteri dan Direksi BPJS yang selalu tidak harmonis. Dari narasi ketidakharmonisan tersebut dimunculkan ide Direksi bertanggungjawab ke Menteri teknis. Apa dasar acuan naskah akademik menyatakan telah terjadi ketidakharmonisan tersebut? Bukankah antara kementerian dan BPJS sudah memiliki peran dan fungsi yang jelas dan saling melengkapi. Kementerian sebagai regulator sementara BPJS sebagai operator. Saya kira seharusnya naskah akademik dibuat secara obyektif berdasarkan fakta yang ada serta mengarah dan mengabdi pada kesejahteraan rakyat, bukan dibuat demi kepentingan segelintir orang. Demikian juga RUU P2SK, menurut saya seharusnya bisa menjawab persoalan masyarakat saat ini sehingga RUU P2SK akan mendukung kesejahteraan rakyat. Salah satu yang diatur kembali dalam RUU P2SK adalah tentang Dana Pensiun. Dana pensiun yg diatur dalam UU no. 11 tahun 1992 bersifat sukarela, sesuai kesanggupan pengusaha, bisa berupa DPPK (Dana Pensiun Pemberi Kerja) atau DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan). Dengan adanya program jaminan pensiun di UU no. 40 tahun 2004 yg bersifat wajib maka kecenderungannya pengusaha mengalihkan program dana pensiun ke program jaminan pensiun. Namun RUU P2SK tidak menyentuk program jaminan pensiun di UU SJSN. Seharusnya Pemerintah dan DPR dalam RUU P2SK ini juga memperbaiki program jaminan pensiun sehingga jaminan pensiun bisa mendukung kesejahteraan seluruh pekerja yang memasuki masa pensiun. Yang perlu diperbaiki adalah : 1. Mengkoneksikan Jaminan pensiun dgn dana pensiun. Dana pensiun adalah top up dari jaminan pensiun. 2. Jaminan pensiun dibuka untuk pekerja informal atau bukan penerima upah termasuk pekerja kemitraan dan pekerja migran Indonesia. Tidak boleh ada diskriminasi pekerja dalam mengakses jaminan pensiun. Semakin banyak pekerja yg terdaftar maka semakin banyak pekerja yg sejahtera di masa tuanya. 3. P2SK harusnya mengatur pengelolaan jaminan pensiun ASN (PNS dan PPPK) ke BPJS ketenagakerjaan. Putusan MK menjadi celah masuk percepatan pengalihan pensiun PNS ke BPJS ketenagakerjaan. Putusan MK membatalkan tahun 2029 berarti pengalihan harus segera dilakukan karena UU BPJS hanya membolehkan 2 BPJS menyelenggarakan jaminan sosial, tidak mengenal Taspen. 4. P2SK harus merevisi UU ASN yang selama ini tidak memberikan jaminan pensiun ke PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Jadi Pekerja PPPK harus didaftarkan ke jaminan pensiun di BPJS Ketenagakerjaan di RUU P2SK. Demikian juga Non ASN wajib didaftarkan ke jaminan Pensiun. 5. Jaminan pensiun yg mengatur usia mendapatkan manfaat pensiun di PP no. 45 tahun 2015 harus direvisi di UU P2SK dengan memastikan perlakuan yg sama dgn PNS yaitu paska pensiun langsung dapat manfaat pensiun. 6. PNS dan PPPK serta Non ASN juga harus mendapatkan perlakuan sama atas program JHT seperti pekerja swasta, yaitu pemerintah sebagai pemberi kerja harus mengiur 3.7 persen dan PNS/PPPK dan Non ASN mengiur 2 persen. Dan program JHT bagi PNS dan PPPK serta Non ASN dikelola BPJS ketenagakerjaan. Semoga Pemerintah dan DPR lebih memperhatikan kepentingan rakyat, dengan memberikan ruang lebih luas kepada masyarakat memberikan masukan sesuai amanat Pasal 96 UU no. 13 tahun 2022 tentang Perubahan Kedua UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan. Pemerintah dan DPR tidak memaksakan pembahasan kedua RUU tersebut dengan instan dan selesai di akhir Desember 2022.