MK Sebagai Kontrol Demokrasi Melalui Pengajuan PHPU Sebagai Upaya Mewujudkan Pemilu Berkeadilan

Chyntia T Hutabalian - Advokat Muda

Chyntia T Hutabalian - Advokat Muda

Diperbarui 22 Maret 2024 19:44 WIB
Advokat Muda, Chyntia T Hutabalian [Foto: Doc. MI]
Advokat Muda, Chyntia T Hutabalian [Foto: Doc. MI]

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, dalam Rapat Pleno Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan suara Nasional Pemilu 2024, Rabu (20/32024).

Menyoroti dinamika sepanjang penyelenggaran Pemilu 2024 ini, tentunya sangat mungkin terdapat pihak-pihak yang tidak puas, bahkan keberatan terhadap hasil Pemilu yang telah diumumkan oleh KPU.

Adanya dugaan-dugaan kecurangan Pemilu yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif tentu akan menjadi alasan utama, bagi para pihak yang keberatan terhadap hasil Pemilu.

Sebagai negara hukum yang menjamin berlangsungnya prinsip demokrasi, tentunya Indonesia harus memiliki regulasi terkait penegakan hukum Pemilu, khususnya dalam memberikan kesempatan bagi para pihak, yang merasa hak elektoralnya dirugikan dalam penetapan hasil Pemilu.

Setelah penetapan hasil Pemilu oleh KPU, maka selanjutnya proses penegakan hukum Pemilu akan berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini sesuai dengan kewenangan MK dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilu.

MK pada kamis kemarin (21/3/2024) sudah mulai membuka gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2024. Para pihak yang keberatan dengan putusan KPU terkait hasil pemilu, dapat mengajukan PHPU ke MK. 

Untuk para peserta pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dapat mengajukan permohonan PHPU ke MK, dalam jangka waktu paling lama 3x24 jam sejak hasil pemilu ditetapkan secara nasional oleh KPU.

Sedangkan untuk para peserta pemilu presiden dan wakil presiden, dapat mengajukan permohonan PHPU ke MK dalam waktu paling lama tiga hari, setelah penetapan hasil pemilu presiden dan wakil presiden dibacakan oleh KPU.

Upaya pengajuan PHPU ke MK harus dipandang tidak hanya sebagai alat legitimasi atau pemberian stempel terhadap hasil pemilu saja, tetapi juga harus dipandang sebagai upaya untuk memastikan bahwa penyelenggaraan Pemilu, dilaksanakan secara bersih, jujur, adil, akuntabel, dan berintegritas.

MK harus memastikan bahwa nantinya dalam putusan terhadap PHPU, harus dapat memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan kepada publik. Hal ini tidak terlepas dari krisis kepercayaan publik terhadap pasca putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023. 

Momentum penyelesaian PHPU ini nantinya, harus dapat dimanfaatkan oleh MK untuk membuktikan bahwa MK masih independent sekaligus, guna membantah isu terkait adanya dugaan konflik kepentingan di tubuh MK sendiri. 

Mengenai apakah kepercayaan publik terhadap MK akan pulih atau tidak, sangat ditentukan oleh isi putusan MK terhadap proses PHPU.

Apabila dalam putusan tersebut nantinya MK tetap menunjukkan indikasi adanya konflik kepentingan dan gagal mewujudkan keadilan, maka itu sama artinya bahwa MK telah gagal menjalankan fungsinya sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), dan pengendali Keputusan berdasarkan sistem demokrasi (control of democracy).

Semoga Mahkamah Konstitusi (MK) dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan yang seadil-adilnya, dalam putusan terhadap PHPU yang diajukan nantinya.

Penafian: Monitorindonesia.com tidak bertanggung-jawab atas kiriman artikel langsung dari pembaca dalam rubrikasi forum atau opini.