Inklusivitas Jakarta

Agustinus Tamtama Putra - Mahasiswa Program Doktor Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma/ Pengamat Kebijakan Publik GMT Institute Jakarta

Agustinus Tamtama Putra - Mahasiswa Program Doktor Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma/ Pengamat Kebijakan Publik GMT Institute Jakarta

Diperbarui 27 Agustus 2024 11:38 WIB
Agustinus Tamtama Putra, Mahasiswa Program Doktor Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma/ Pengamat Kebijakan Publik GMT Institute Jakarta (Foto: Dok MI)
Agustinus Tamtama Putra, Mahasiswa Program Doktor Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma/ Pengamat Kebijakan Publik GMT Institute Jakarta (Foto: Dok MI)

Genesis Inklusivitas

Sedari "sono"-nya, Jakarta tempat berkumpul berbagai suku, agama, ras dan golongan.

Sudah sedari waktu tak terhitung, Jakarta menjadi tempat perjumpaan interkultural, pencampuradukan budaya dan sekolah keberagaman yang mendidik generasi bangsa Indonesia. 

Keberagaman ini sangat kompleks di Jakarta dan menjadi emblematis dalam kerangka NKRI. 

Menjadi tantangan kemudian bagi pemerintah untuk menelurkan kebijakan humanis di mana prinsip "the greater good for the greatest number" (utilitarian a la Jeremy Bentham) bisa terlaksana. 

Namun tentu prinsip ini tidak cukup mengingat utilitarian cenderung menggeneralisasi sehingga mengabaikan "angka" yang sedikit itu, sementara jumlah kecil itu adalah manusia, subjek-subjek hidup yang punya martabat setara dan harus diperhitungkan serenta atau sesemenjana apapun mereka. 

Tidak cukup hanya Utilitarian

Heru Budi Hartono akhir-akhir ini berjumpa dengan kaum difabel. Syahdan, kelompok ini sangat mungkin menjadi double bahkan triple minority, artinya dalam kehidupan sosial bermasyarakat, kaum difabel kerap disingkirkan. 

Mereka dipandang sebelah mata seolah olah bukan manusia, dan berdasarkan prinsip utilitarian di atas tidak masalah bila "satu orang mati demi kepentingan seluruh bangsa" (kayafas). 

Pemprov DKI Jakarta berkomitmen untuk menghargai setiap orang sebagai human person. Maka bukan prinsip utilitarian yang dipakai dalam kebijakan, namun prinsip yang mengayomi semua. 

Tidak ada seorang pun yang boleh dimarjinalkan, dianggap sepi, dinomorduakan, tidak diperhatikan. 

Maka kebijakan juga turun dari prinsip kebaikan untuk semua, tanpa memandang siapapun dia dan apapun latar belakangnya. 

Termasuk bagi kaum difabel, mereka tetap manusia yang sama derajatnya sehingga justru mengingat keterbatasan mereka hak-hak hidup dan jaminan sosial mereka coba dipenuhi dan bahkan dilimpahkan. 

Perjalanan masih panjang dan mungkin tak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi pemerintah yang memperhatikan rakyatnya akan dicintai masyarakat, tetapi juga berhidayah di hadapan sang ilahi yang memberi mandat pemerintahan.

Sukses Jakarta untuk Indonesia!

Topik:

Inklusivitas Jakarta DKI Jakarta Jakarta 2024