Riezky Aprilia: Anda Sekjen Partai, tapi Bukan Tuhan! Uang Pelicin Hasto dan Cognitive Warfare

Andre Vincent Wenas - Pemerhati Ekonomi dan Politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Perspektif (LKSP), Jakarta

DARI sejak awal bakal ditersangkakan, jauh hari Hasto sudah berkampanye, atau tepatnya melakukan agitasi atau propaganda ala Joseph Goebels, dengan mengulang-ulang frasa “kriminalisasi”, “daur ulang”, “politisasi hukum” sampai ke statusnya yang sekarang sebagai terdakwa, muncullah istilah baru-tapi-lama, “tahanan politik”.
Hasto mengaku-ngaku dirinya sebagai “tahanan politik” walau sejatinya pengadilannya bertajuk formal: Sidang Tipikor (Tindak Pidana Korupsi), kasusnya diusut oleh Jaksa Penuntut Umum dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Ini soal korupsi, titik.
Kata "korupsi" berasal dari bahasa Latin "corruptio" atau "corruptus" yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, atau menyogok. "Corruptio" sendiri berasal dari kata kerja "corrumpere" dalam bahasa Latin yang lebih tua. Dalam bahasa Inggris, kata ini menjadi "corruption", sedangkan dalam bahasa Belanda adalah "corruptie".
Jadi jelas, keterlibatannya adalah dalam kasus korupsi, kasus suap. Kita ingat, penggerebekan terakhir KPK terkait kasus ini adalah di rumah Djan Farids (mantan Ketum PPP dan mantan anggota Wantimpres). Dari rumah Djan Farids, KPK berhasil menyita uang yang katanya diperuntukan sebagai pelicin untuk membatalkan status tersangkanya Hasto waktu itu, tapi gagal.
Mantan Hakim Agung yang rencananya bakal main golf (sambil menerima uang pelicin) batal datang, informasi OTT sudah bocor duluan. Tapi KPK sigap dengan membelokan operasi OTT ke rumah Djan Farids. Cerita selanjutnya sebagian sudah kita ketahui, sebagian lagi kabarnya bakal diungkap dalam rangkaian Sidang Hasto nanti.
Tambah lagi sekarang terungkap fakta persidangan baru dari Riezky Aprilia. “Saya tahu Anda Sekjen Partai, tapi bukan Tuhan!” Begitu pengakuan Riezky Aprilia di persidangan Tipikor itu. Akhirnya Riezky tak kuat menahan air matanya, menangis di persidangan. Bisa dipahami, tekanan yang dialaminya cukup berat.
Kabar di media mengatakan bahwa Riezky sampai dibentak-bentak Hasto. Hasto emosi, begitu pun Riezky. Intinya Reizky menolak untuk mundur sebagai anggota DPR untuk digantikan Harun Masiku. Lalu terjadi surat-menyurat PDIP ke KPU ditanda-tangani juga oleh Megawati sebagai Ketua Umum PDIP.
Juga soal fatwa dari MA (Mahkamah Agung), pemberitaan Kompas.com 14 Maret 2025 menyebutkan bahwa “Harun Masiku Terima Fatwa MA di Ruang Kerja Ketua MA Hatta Ali”. Harun Masiku berada di ruang kerja Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali pada 24 September 2019. Saat itu, MA tengah menerbitkan Surat Nomor 37/Tuaka/TUN/2019 yang menyatakan, kewenangan penetapan suara calon anggota legislatif yang meninggal dunia diserahkan kepada pimpinan partai politik untuk diberikan kepada calon terbaik.
Rupanya terjadi perbedaan pandangan antara DPP PDIP yang melihat Harun Masiku sebagai calon terbaik untuk menggantikan Nazaruddin Kiemas yang meninggal dunia. Sedangkan KPU tetap berpegang pada Undang-Undang bahwa yang dimaksud dengan “calon terbaik” itu adalah yang memperoelh suara terbanyak kedua, yaitu Riezky Aprilia.
Cerita selanjutnya kita sudah tahu, dalam upaya memperlancar proses Harun ke Senayan ada uang suap (pelicin) yang akhirnya membuat Wahyu Setiawan (mantan Komisioner KPU) dan Agustiani Tio Fridelina (kader PDIP) mesti mendekam di penjara. Prahara PTIK janganlah dilupakan, ini yang membuat beberapa penyidik KPK “di-bully” disana.
Kambali ke Riezky Aprilia yang akhirnya bisa dihadirkan sebagai saksi dalam sidang Hasto kali ini. Kita tahu bahwa Riezky Aprilia ini adalah caleg PDIP yang akhirnya sudah dilantik sebagai anggota DPR, tapi hendak di PAW (Pergantian Antar Waktu) dan digantikan Harun Masiku yang perolehan suaranya jauh dibawah.
Sebelumnya (artinya sebelum pelantikan) pun Riezky sudah diminta mundur, katanya ia diberitahu bahwa ini adalah perintah partai. Tapi Riezky menolak sebelum mendengar sendiri perintah itu dari Ibu Megawati. Tim Pembela Hasto mengklaim statement ini telah mencatut nama Megawati. Ya kita lihat saja perkembangan kasusnya.
Apa sebab musababnya ia mau digantikan Harun, Riezky mengaku tidak tahu mengapa. Mungkin nanti Hasto bisa menjelaskan di sidang lanjutan apa alasannya Riezky mau diganti oleh Harun. Supaya motif-motif yang melatar belakangi kasus ini terbuka lebar. Bakal seru.
Siapa tahu dalam perjalanan sidang kasus ini, Harun Masiku pun bisa dimunculkan sebagai saksi, yah siapa tahu. Mudah-mudahan saja ya, kita doakan bersama. Kabar burung yang berkicau bilang Harun Masiku ada kok di sekitaran Jakarta, tapi burung itu sudah tidak mau berkicau lagi. Walahuallam.
Kita pantau saja dengan sabar, bagaimana sidang mengonfirmasi ulang fakta-fakta persidangan yang lampau, sampai akhirnya munculnya fakta-fakta persidangan yang baru.
Walau tim pembela hukum Hasto bersikeras bahwa tidak ada fakta persidangan yang baru. Kalau pun ada, itu pun dianggapnya tidak relevan. Namanya tim pembela Hasto ya semestinyalah begitu. Apa pun fakta baru yang muncul mesti ditafsirkan demi keuntungan posisi kliennya.
Tapi titik perhatian kita kali ini adalah juga soal teknik kampanye atau agitasi atau jelasnya propaganda ala Hasto dan timnya untuk memosisikan kasus ini sebagai “kriminalisasi”, fakta-fakta hukum yang di “daur ulang” alias tak ada fakta baru, lalu “politisasi hukum” sampai ke status Hasto sekarang yang mengaku dirinya sebagai “tahanan politik”. Itu semua teknik komunikasi politik.
Kata-kata yang diulang-ulang adalah: kriminalisasi, daur ulang, politisasi hukum, dan tahanan politik. Kata-kata ini perlu diulang-ulang terus oleh Hasto dan timnya demi membengkokan fakta bahwa kasus ini yang sejatinya bukanlah suatu upaya kriminalisasi, karena ada pasal-pasal dakwaannya. Dan pasal-pasal itu sedang dalam proses pembuktikannya di pengadilan.
Dan yang paling dicemaskan adalah munculnya saksi-saksi baru (macam Riezky Aprilia yang bisa mengungkapkan fakta-fakta baru) yang bisa memojokkan Hasto (dan juga atasannya alias ketua umum Megawati nantinya). Apalagi kalau sampai Harun Masiku sendiri yang duduk di kursi saksi.
Maka dilancarkanlah propaganda frasa “kriminalisasi”, “daur ulang”, “politisasi hukum”, dan “tahanan politik”. Terus mesti menerus diulang-ulang. Kebohongan yang diulang terus menerus bakal diterima oleh khalayak sebagai kebenaran, begitu ajaran Joseph Goebels, sang menteri propaganda Adolf Hitler.
Ini sebetulnya adalah bentuk perang kognisi (cognitive warfare). Perang kognisi adalah suatu bentuk konflik yang menyasar pikiran manusia untuk mempengaruhi sikap dan perilakunya (cognitive warfare is a form of conflict that targets the human mind to influence attitudes and behaviors) begitulah per definisi.
Perang model ini memang tidak berdarah-darah seperti perang konvensional. Tapi perang kognisi ini bisa meluas kemana-mana, artinya melebar dan memanjang sekaligus. Kita tahu rumus panjang kali lebar itu sama dengan luas.
Melebar ke segala arah, melibatkan banyak isu dan banyak aktor. Memanjang dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, bahkan kalau perlu tahun ke tahun. Tempatnya pun bisa merembet ke kota yang satu ke kota yang lain, medianya beragam.
Aktor-aktornya pun bisa bertambah, “everybody jumps in to the bandwagon”, ikut meramaikan, ikut mengacaukan suasana. Memang itu yang dituju para aktor-intelektual yang mula-mula. Terjadi multiplikasi ke segala penjuru. Suasana jadi kaotik.
Perang kognitif ini jadi semacam perang semesta yang berlarut-larut, yang nota bene tidak bisa dihadapi dengan sekedar klarifikasi atau press-conference yang reaktif. Perang model begini harus dihadapi dengan Strategi Komunikasi yang sifatnya komprehensif-antisipatif.
Dunia persepakbolaan mengenal strategi “total-football” dimana pertahanan terbaik adalah dengan menyerang. Komunikasi politik dan strategi positioning yang tepat perlu dirumuskan dengan komprehensif. Bukan sekedar jubir yang ber-acting di depan wartawan, itu hanya bagian dari grand-strategy yang dirancang di belakang layar.
Total football melibatkan multi-players dan multi-channels. “It involves influencing, protecting, or disrupting cognition to gain an advantage over an adversary”. Ini termasuk memengaruhi, melindungi atau mendisrupsi kognisi untuk mendapatkan keuntungan atas lawan-lawannya.
Topik:
PDIP Hasto Riezky ApriliaOpini Sebelumnya
Rp 300 Triliun Hilang di Udara, Rakyat Beli Pulsa Negara Dapat Sisa?
Opini Selanjutnya
Menunggu KUHP Baru sebagai Landasan Membahas RUU Perampasan Aset
Opini Terkait

Puan Maharani Menangis Usai Suaminya Ditangkap Kejagung Hoaks, Ini Kasus Korupsi Menyeret Nama Happy Hapsoro
29 September 2025 14:16 WIB

Viral Ucapan Mau Rampok Uang Negara, Harta Anggota DPRD Gorontalo Wahyudin Minus Rp2 Juta
20 September 2025 15:37 WIB

Mabuk Sambil Berkendara, Anggota DPRD Gorontalo Ngoceh Mau Rampok Uang Negara
20 September 2025 13:05 WIB