Soroti Bisnis PCR, KAMI: Serampangan dan Brutal

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 13 November 2021 14:55 WIB
Monitorindonesia.com- Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI) menyoroti bisnis PCR di tengah pandemi Covid-19 yang kini jadi polemik publik yang tak henti-hentinya. Pasalnya bisnis PCR ini diduga melibatkan menteri kabinet Joko Widodo. ”Peran ganda para pejabat di masa pandemi, yaitu berperan sebagai pengambil keputusan dan kebijakan penanganan pandemi sekaligus juga menjadi pelaku bisnis terkait obat Covid-19 dan jasa PCR menunjukkan kepada masyarakat bahwa para pejabat negara yang seharusnya menunjukkan kepedulian besar pada rakyat yang sedang kesulitan hidup, justru terlibat dalam konflik kepentingan,” demikian pernyataan KAMI dalam Maklumat Kedua, Jumat (12/11/2021). Maklumat Kedua itu ditandatangani Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo, Prof Dr Rochmat Wahab, dan Prof Dr M Din Syamsuddin. ”KAMI menyampaikan keprihatinan atas fakta-fakta tersebut yang amat mendesak untuk diperbaiki oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara,” tandas Gatot Nurmantyo. Pandangan yang disampaikan KAMI sebagai sarana kepada pemerintah adalah pertama, cengkeraman oligarki pemangsa (Predator Oligarch) dalam kehidupan negara telah membuat bangsa Indonesia terperosok dalam jurang kehancuran ekonomi. ”Bersatunya elite ekonomi dan politik telah menyebabkan ekonomi nasional telah diselenggarakan secara serampangan dan brutal. Seharusnya pemerintah mengembalikan tata kelola ekonomi nasional dan sumber daya alam demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai nilai-nilai sila ke-5 Pancasila dan konstitusi,” katanya. Kedua, presiden telah gagal dalam mengelola jalannya pemerintahan karena kondisi demokrasi, ekonomi, HAM, serta praktik-praktik rente kebijakan dan korupsi semakin hari semakin memburuk tidak terkendali. Kepemimpinan nasional dalam menangani pandemi yang ditunjukkan kepada rakyat adalah kepemimpinan yang mengabaikan moral (moral disengagement) yang menunjukkan keserakahan di tengah derita pandemi. Dikatakan, kepemimpinan nasional tidak fokus memikirkan nasib rakyat, dan tidak memiliki kemampuan yang sesuai dengan tantangan dan beratnya persoalan hari ini untuk melakukan langkah-langkah perbaikan demi menyelamatkan Indonesia. Ketiga, dengan Mahkamah Konstitusi (MK) menerima Judicial Review atas UU No.2 tahun 2020 maka seharusnya pemerintah semakin transparan dan akuntabel, serta sungguh-sungguh melakukan pengusutan atas potensi-potensi kerugian negara dari perilaku korupsi maupun perilaku rente atas kebijakan-kebijakan penanganan pandemi. Dengan semangat demokrasi, pemerintah juga harus membuka ruang seluas-luasnya kepada publik untuk mengawasi penggunaan anggaran penanganan pandemi. ”Terkait dengan putusan MK bahwa status pandemi Covid-19 harus dinyatakan paling lambat akhir tahun ke-2 (akhir tahun 2021), maka anggaran Covid yang disusun berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2020 selanjutnya harus dengan persetujuan DPR,” tuturnya.