Partisipasi Masyakarat Minim dalam Pembentukan UU di DPR

Reina Laura
Reina Laura
Diperbarui 22 November 2021 16:09 WIB
Monitorindonesia.com - Partisipasi masyakarat dalam pembentukan Undang-Undang (UU) sangat minim, khususnya selama masa pandemi, berimbas pada lemahnya fungsi legislasi DPR dan kemunduran demokrasi di Indonesia. melibatkan partisipasi masyarakat yang minim sehingga menunjukkan lemahnya fungsi legislasi DPR dan kemunduran demokrasi. Penilaian ini disampaikan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Prof. Susi Dwi Harijanti, LL.M., PhD saat menjadi narasumber dalam webinar nasional program studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia bertajuk 'Demokrasi di Era Pandemi' yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Tata Negara FHUI, Senin (22/11/2021). Susi melihat bahwa pembentukan UU di masa pandemi ini minim partisipasi masyarakat dan cenderung membenarkan inisiatif eksekutif. Bahkan selama era pandemi ini, lembaga eksekutif berperan lebih dominan. Peran yang dominan itu dapat dilihat dari penggunaan Pasal 22 UUD 1945 yang lebih banyak daripada Pasal 12 UUD 1945. Di dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) UUD 1945, dimuat bahwa presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti UU dan peraturan tersebut harus mendapat persetujuan dari DPR dalam persidangan. Lalu dalam Pasal 22 ayat (3) UUD 1945, dituliskan jika tidak mendapatkan persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Sementara terkait Pasal 12 UUD 1945, dituliskan bahwa presiden menyatakan keadaan bahaya dengan syarat-syarat dan akibatnya ditetapkan UU. "Jadi, eksekutif akan tetap berperan dominan daripada cabang-cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif melalui norma-norma konstitusi yang memberikan kewenangan kepada presiden untuk melakukan tindakan dan mengeluarkan kebijakan tertentu. Ini akibat partisipasi masyakarat yang minim," sebutnya. Bukan itu saja, Susi juga menyoroti pelaksanaan fungsi-fungsi DPD RI yang kurang terlihat signifikan selama masa pandemi Covid-19 di Indonesia. Pelaksanaan fungsi yang kurang signifikan itu, dapat dilihat dari respons DPD terkait penyelenggaraan pemerintah daerah selama era pandemi, khususnya di periode awal pada Maret, April, dan Mei 2020. "Mungkin, saya yang tidak secara teliti membaca, namun jarang sekali kita lihat di media-media massa bagaimana DPD itu mengeluarkan atau membuat satu pernyataan, satu kebijakan yang berkaitan dengan masa krisis ini. Tapi nyatanya partisipasi DPD belum terlihat," ujarnya lagi. Saat itu, pemerintah daerah telah meminta fleksibilitas wewenang dari pemerintah pusat untuk mengelola penanganan Covid-19 di daerah mereka masing-masing. Namun, DPD tidak mengeluarkan pernyataan untuk mendukung permintaan itu. "Jadi, menurut saya, pandemi Covid-19 masih menjadi ujian bagi demokrasi dan fungsi lembaga-lembaga negara di Indonesia. Namun saya berharap masing-masing lembaga negara di Indonesia dapat memiliki daya adaptasi yang baik selama pandemi. Selain itu, penting pula bagi lembaga-lembaga negara untuk membuat kebijakan yang koheren selama pandemi," demikian Susi D Harijanti. (Ery)