KontraS Kecam Sikap Represif Aparat Terhadap Demonstran Tolak DOB Papua

wisnu
wisnu
Diperbarui 12 Mei 2022 13:09 WIB
Jakarta, MI - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam seluruh dugaan bentuk represif aparat terhadap demonstran yang menolak Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua pada Selasa (10/5). Berdasarkan pemantauan dan informasi yang diterima KontraS, terdapat beberapa tindakan seperti pembubaran paksa, pemukulan, pengejaran, penembakan dan penangkapan sewenang-wenang terhadap peserta aksi penolakan DOB Papua di sejumlah wilayah Indonesia timur tersebut. Wakil Koordinator Rivanlee Anandar mengatakan, sejumlah kekerasan dan pelanggaran HAM tersebut terjadi di berbagai daerah seperti Abepura dan Heram. "Kekerasan yang terjadi di lapangan lagi-lagi mempertontonkan bahwa negara tak andal dalam menanggapi kritik publik, utamanya berkaitan dengan isu Papua," ujar Rivanlee kepada wartawan seperti dikutip, Kamis (12/5). Peristiwa kekerasan ini, kata Rivanlee, juga semakin mempertegas bahwa negara masih sangat diskriminatif dan kerap mengedepankan pendekatan keamanan dalam menanggapi aspirasi masyarakat Papua. Hal tersebut terbukti dari hampir seluruh tuntutan masyarakat Papua selalu direspons atau berakhir dengan kekerasan. Pola-pola serupa terjadi pula pada aksi penolakan pemekaran, otonomi khusus, dan tindakan rasial. Selain itu, Rivanlee menilai tindakan aparat di lapangan dapat dikategorikan sistematis. Pihaknya berpendapat kemudian, karena dalam tindakan kepolisian itu didasari perintah Polda Papua lewat Surat Telegram. Hal ini jelas merupakan bentuk pengerahan kekuatan secara berlebihan (excessive use of force). "Dalam surat telegram tersebut, disebutkan bahwa beberapa daerah seperti Jayapura, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Yahukimo, dan Kabupaten Deiyai naik menjadi siaga I. Hal ini membuktikan bahwa Kepolisian menempatkan demonstrasi sebagai ancaman yang serius," ujar Rivanlee. Ia juga menyebut instruksi tersebut terbukti secara nyata berimplikasi pada tindakan kepolisian di lapangan. Sebanyak 10 orang mengalami luka-luka akibat pukulan, terkena gas air mata dari pihak kepolisian akibat langkah yang diambil kepolisian. Penangkapan Aktivis [caption id="attachment_432190" align="aligncenter" width="300"] Aksi demonstrasi KontraS di Papua buntut penangkapan para aktivis. (Foto: Dok/MI)[/caption] Tak hanya itu, penangkapan beberapa aktivis secara sewenang-wenang juga dilakukan Polresta Jayapura, salah satu lokasi berada di dalam kantor KontraS Papua. Pihaknya mencatat setidaknya terdapat tujuh aktivis yang ditangkap dengan alasan yang tidak jelas. Mereka ialah Jefry Wenda, Ones Suhuniap, Omikzon balingga, Max Mangga, Esther Haluk (Staf KontraS Papua), Iman Kogoya, dan Abbi Douw. Penangkapan tersebut telah dibenarkan pihak kepolisian setempat. Kabid Humas Polda Papua Kombes AM Kamal menjelaskan salah satu yang ditangkap adalah Juru Bicara Petisi Rakyat Papua (PRP) Jefry Wenda. Polisi menduga mereka melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). "Tim gabungan Polda Papua dan Polresta Jayapura Kota siang tadi (12.35 WIT) mengamankan JW yang merupakan Juru Bicara PRP di Sekretariat Kantor KontraS Papua Perumnas IV Kelurahan Hedam, Distrik Heram, Kota Jayapura," kata Kamal kepada wartawan, Selasa (10/5). KontraS pun mendesak Presiden dan DPR RI untuk membatalkan pembahasan RUU tentang Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah. Selain itu, UU Otsus sebagai landasan DOB juga harus ditunda keberlakuannya hingga proses uji materi di Mahkamah Konstitusi selesai. Kemudian, mendesak Polri untuk segera menarik pasukan di Papua dan menjatuhi sanksi tegas baik disiplin, kode etik, hingga pidana terhadap anggota yang terbukti melakukan kekerasan terhadap massa aksi. Serta membebaskan tanpa syarat sejumlah aktivis Papua yang ditangkap secara sewenang-wenang; Terakhir, mendesak Komnas HAM untuk melakukan investigasi terhadap dugaan pelanggaran HAM dalam proses penanganan aksi penolakan DOB di Papua. Sebagai informasi, pemerintah dan DPR RI telah sepakat melakukan pemekaran tiga provinsi baru di Papua, yakni Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah. Rencana penambahan provinsi tersebut diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah yang telah disahkan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dalam rapat pleno pada 6 April lalu.   (La Aswan)