Siapa di Balik Unjuk Rasa di Depan Kantor Lokataru, ICW dan Kontras?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 29 Februari 2024 01:37 WIB
Sejumlah orang yang mengatasnamakan Forum Masyarakat Pemuda Mahasiswa Timur Cinta NKRI hadir di depan kantor ICW (Foto: Dok ICW)
Sejumlah orang yang mengatasnamakan Forum Masyarakat Pemuda Mahasiswa Timur Cinta NKRI hadir di depan kantor ICW (Foto: Dok ICW)

Jakarta, MI - Sejumlah orang yang mengatasnamakan Forum Masyarakat Pemuda Mahasiswa Timur Cinta NKRI berdemo di depan kantor ICW yang berlokasi di Kalibata, Jakarta Selatan dan di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan serta kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia beberapa hari silam. Aksi demonstrasi ini muncul di tengah masifnya aktivis dan pembela hak asasi manusia yang mengritik pemerintah dan jalannya Pemilu 2024.

Koordinator lapangan Abdul Aziz Fadirubun saat itu mendesak ICW meminta maaf dan mencabut kata rasisme terhadap orang Indonesia timur. Mereka juga menuntut agar TNI dan Polri segera menangkap para pelaku yang ingin menghancurkan Indonesia dengan perencanaan pemakzulan pemerintahan yang sah. Selain ICW, anehnya, tuntutan tersebut juga ditujukan kepada YLBHI, Lokataru, dan Kontras.

Lantas siapa di balik unras itu?

Delpedro Marhaen, Direktur Eksekutif dari Lokataru Foundation, mengatakan tujuan utama dari aksi tandingan berhubungan dengan apa yang telah dilakukan oleh LSM seperti Lokataru, ICW, dan Kontras. Alasannya, mereka sering menyuarakan isu kecurangan pemilu dan mengkritik situasi politik saat ini.

Wana Alamsyah, Koordinator Divisi Pengelolaan ICW, mengatakan bahwa pihaknya menduga ada pihak yang dengan sengaja ‘mengorkestrasi’ gerakan mahasiswa tersebut dengan dalih rasisme.

“Kami menduga bahwa memang ada upaya untuk membenturkan antar-kelompok warga. Karena kalau sebelumnya intimidasi dan teror itu selalu dilakukan oleh aparat keamanan. Yang mana sangat mudah untuk dideteksi dan sangat mudah untuk dikritisi.

“Tapi ketika ada kelompok warga yang berseberangan, substansi yang disampaikan serta maksud dan tujuannya belum terlalu jelas,” ungkap Wana.

Hal ini ia katakan karena ketika forum mahasiswa mendatangi kantor ICW pada Senin (26/2) siang dengan membawa spanduk-spanduk, menyampaikan orasi dan membakar ban, mereka tidak mampu memberikan bukti pernyataan rasisme tersebut dan menutup diri dari ajakan berdialog.

“Karena menurut mereka ICW enggak perlu klarifikasi. Padahal, tuntutan utamanya mereka adalah ICW harus klarifikasi, jadi kami pun juga mempertanyakan maksud dan tujuan mereka kemari,” ungkapnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan, setelah mengamati demonstrasi itu menemukan kesamaan pelaku dan motif dengan aksi demonstrasi di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) beberapa hari silam.

”Di tengah munculnya intimidasi terhadap aktivis dan pembela HAM yang mengkritik pemerintah dan jalannya pemilu, kami mendorong agar protes-protes tersebut tidak berujung pada penghalangan kritik-kritik damai,” ujar Usman melalui keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (27/2).

Usman melanjutkan, melalui keterangannya, Amnesty International Indonesia pun meminta kepada pihak berwenang untuk mengambil langkah-langkah yang tegas untuk melindungi pembela HAM. Selain itu, perlu dipastikan pula agar mereka bisa bekerja tanpa rasa takut atau gangguan intimidasi dari pihak mana pun.

”Berdasarkan keterangan dari sejumlah sumber kredibel Amnesty International Indonesia didapati bahwa telah terjadi pengerahan aparat kepolisian ke dua lokasi organisasi masyarakat sipil, yaitu ICW dan Lokataru, di Jakarta pada Senin (26/2). Pengerahan kekuatan itu disebut dengan alasan untuk mengantisipasi demonstrasi pada hari yang sama.”

Sebab, berdasarkan keterangan dari sejumlah sumber kredibel Amnesty International Indonesia didapati bahwa telah terjadi pengerahan aparat kepolisian ke dua lokasi organisasi masyarakat sipil, yaitu ICW dan Lokataru, di Jakarta pada Senin (26/2). Pengerahan kekuatan itu disebut dengan alasan untuk mengantisipasi demonstrasi pada hari yang sama.

Diketahui, pada Senin pagi, aparat kepolisian tiba-tiba mendatangi kantor ICW dan Lokataru. Lebih dari 180 personel dengan satu mobil water cannondatang dan berjaga-jaga di sekitar lokasi Rumah Belajar Antikorupsi (RBAK) ICW di wilayah Kalibata.

Pihak ICW mengatakan sebelumnya tidak pernah mendapatkan informasi pemberitahuan mengenai demonstrasi di RBAK. Selain itu, lebih dari 200 personel kepolisian dan satu water cannon juga dikerahkan ke kantor Lokataru di wilayah Tebet.

Sekitar pukul 14.10, sekelompok pendemo berjumlah 20 orang mendatangi kantor ICW dengan tiga mikrolet dan kendaraan roda dua. Lalu, sekitar pukul 14.30, kelompok massa mulai membakar ban di depan kantor ICW.

Beberapa peneliti ICW, seperti Kurnia Ramadhana, mencoba mengajak dialog para demonstran. Kurnia menanyakan siapa yang menyatakan rasisme serta kapan pernyataan tersebut disampaikan dan apa konteksnya. Namun, ajakan dialog tersebut ditolak koordinator lapangan, Abdul Aziz.

”Sejak masa kampanye Pemilu 2024 hingga sehari jelang pemungutan suara pada 14 Februari, paling tidak ada 16 kasus serangan yang menyasar setidaknya 34 pembela HAM yang bersuara kritis terhadap pemerintah. Ada berbagai bentuk serangan tersebut, mencakup pelaporan ke polisi, intimidasi, dan serangan fisik.”

Tim ICW memadamkan api dari ban yang dibakar pendemo dan massa aksi membubarkan diri sekitar pukul 14.40 dan satu jam kemudian aparat kepolisian membubarkan diri. Di sekitar kantor Lokataru, aparat kepolisian yang bertugas juga mulai membubarkan diri pada pukul 16.00 setelah pengamanan selesai dan rencana demonstrasi di kantor tersebut tidak terlaksana.

Menurut data Amnesty International Indonesia, sejak masa kampanye Pemilu 2024 hingga sehari jelang pemungutan suara pada 14 Februari, paling tidak ada 16 kasus serangan yang menyasar setidaknya 34 pembela HAM yang bersuara kritis terhadap pemerintah. Ada berbagai bentuk serangan tersebut, mencakup pelaporan ke polisi, intimidasi, dan serangan fisik.

Dugaan aksi kekerasan yang dilakukan sekelompok orang yang tidak dikenal saat unjuk rasa memang sudah terjadi. Aksi kekerasan sekelompok orang yang diduga preman tersebut dilakukan untuk mengintimidasi aksi mahasiswa di belakang kantor Mahkamah Konstitusi, Jumat (16/2/2024). Itulah yang dilaporkan Lokataru Foundation atas aksi kekerasan tersebut.

”Kami sudah melaporkan aksi kekerasan itu ke Polda Metro Jaya,” ujar Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Delpedro Marhaen ketika dihubungi pada Minggu (18/2/2024). 

Waktu itu, mahasiswa menolak pemilu curang dan dilakukannya pemakzulan terhadap presiden. Mereka juga berupaya menyerahkan hasil kajian soal kecurangan yang dilakukan kepala negara terkait pemilu dan meminta MK memproses karena mekanisme di DPR tidak jalan.

Akibat intimidasi itu, ada tujuh orang yang jadi korban, termasuk Delpedro. Enam orang lainnya adalah mahasiswa. Delpedro terkena cakar di bagian wajah setelah orang tidak dikenal itu mencoba merebut ponsel yang tengah digunakannya untuk merekam aksi kekerasan tersebut.

Adapun seorang mahasiswa lain terkena jambak di bagian rambut dan tercakar di wajah. Adapun lima mahasiswa lain sebatas didorong dan ditarik.

Delpedro menjelaskan, saat peristiwa terjadi, Lokataru sedang melakukan pendampingan hukum terhadap mahasiswa. Jumlah mahasiswa lintas organisasi dan kampus yang berjumlah sekitar 20 orang mulai berkumpul di belakang Gedung MK sejak pukul 15.00.

Apa Kata Pengamat?

Pengamat politik dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Devi Darmawan, mengatakan dalam sejarah pemilu diselenggarakan sejak 2014, belum pernah ada aliansi mahasiswa yang justru memprotes organisasi masyarakat sipil.

Sebab, menurut Devi tindakan seperti itu "salah sasaran", karena LSM bertugas untuk menyuarakan aspirasi masyarakat.

“Jika memang tidak terbukti [rasisme], motivasinya memang hanya untuk melemahkan ICW sebagai bagian dari masyarakat sipil yang kritis terhadap dugaan-dugaan pelanggaran. Ini sudah jadi alarm bahaya bagi demokrasi kita,” ujar Devi.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa serangan itu membuat gerakan organisasi masyarakat sipil dipersempit dan kebebasan berekspresi terancam.

“Organisasi masyarakat sipil ini menjadi terancam, semakin tereduksi hari demi hari. Padahal sebenarnya, organisasi masyarakat sipil itu membuat akuntabilitas bekerja, membuat demokrasi semakin bekerja,” kata Devi.

Oleh karena itu, ia memperkirakan jika insiden serupa terulang lagi, maka masyarakat akan semakin takut untuk menyuarakan aspirasi dan mengkritisi berjalannya proses demokrasi di Indonesia.

Ia mengambil contoh ketika film Dirty Vote dilaporkan ke polisi menjelang Pemilu 2024.

“Ketika ada intimidasi atau bentuk mematahkan upaya -upaya yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil ini, di situ sudah terjadi kemunduran demokrasi yang sangat besar,” jelasnya.

Sutradara Dirty Vote, Dandhy Laksono, mengatakan bahwa kru dalam film tersebut sempat mengalami beberapa tindakan intimidasi, salah satunya upaya untuk meretas akun media sosial.

Bahkan, ia sebut ada yang menerima pesan-pesan yang mengancam dan merujuk ke ranah personal.

“Beberapa bintang film kami itu di-hack telegramnya dan macam-macam itu,” kata Dandhy.

Selain dilaporkan ke pihak kepolisian dan Bawaslu, Dandhy mengatakan bahwa acara penayangan film Dirty Vote di UIN Sunan Gunung Djati Bandung sempat terkendala karena lampu dipadamkan saat diskusi.

Pihak Dewan Eksekutif kampus itu juga mengatakan bahwa menjelang acara diskusi mereka telah menerima “pesan mencurigakan dari oknum-oknum” serta kehadiran orang-orang yang mereka duga ingin mengintervensi dan mengintimidasi mereka.

“Kualitas demokrasi dan kebebasan berpendapat kita semakin terancam. Jadi alat legitimasi baru untuk lebih represif dan semakin jauh dari demokrasi,” kata Dandhy.

Feri Amsari, salah satu ahli hukum dan tata negara yang hadir dalam film Dirty Vote mengatakan bahwa apa yang dialami mereka ‘tidak ada apa-apanya’ dibandingkan apa yang dirasakan para aktivis LSM.

“Jadi ini hanya upaya untuk menyebarkan rasa takut. Mudah-mudahan sebagaimana kita ketahui, ICW dan Lokataru sudah teruji dalam upaya mereka melindungi kepentingan publik,” ujar Feri. (wan)