KontraS: Penunjukan Anggota TNI Sebagai Pj Kepala Daerah Merupakan Pembangkangan UU

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 27 Mei 2022 20:05 WIB
Jakarta, MI - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai, penunjukan anggota TNI aktif sebagai penjabat (Pj) kepala daerah merupakan pembangkangan terhadap peraturan perundang-undangan. "Penempatan perwira aktif TNI/Polri dalam jabatan sipil merupakan bentuk pembangkangan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan," kata peneliti KontraS, Rozy Brilian dalam konferensi pers daring, Jumat (27/5). Ia menilai, penunjukan ini akan membuka potensi malaadministrasi berupa penyalahgunaan wewenang dan prosedur pembuatan kebijakan yang bermasalah. "Potensi malaadministrasi ini dikhawatirkan akan bergerak lebih dalam lagi ke ranah sipil apabila terus dibiarkan," ujar Rozy. Rozy mengatakan, penempatan TNI/Polri di posisi penjabat Kepala Daerah melanggar sejumlah ketentuan, mulai dari UU TNI, UU Polri, UU ASN, dan UU Pemilihan Kepala Daerah. "Mengatur dengan sangat jelas dan tegas bahwa perwira aktif harus mengundurkan diri terlebih dahulu sebelum dapat menduduki jabatan lain di sektor yang telah ditentukan," katanya. Merujuk pada Pasal 201 Ayat (10) dan (11) UU No. 10 Tahun 2016 (UU Pilkada) menyebutkan bahwa yang berhak menjadi Pj kepala daerah adalah pejabat pimpinan tinggi madya untuk jabatan gubernur dan pejabat pimpinan tinggi pratama untuk jabatan bupati/wali kota. Kemudian, dalam UU ASN, disebutkan bahwa Jabatan Pimpinan Tinggi dapat diisi oleh prajurit TNI/Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif. "Merujuk pada UU Polri, perwira Polri aktif yang ditempatkan pada jabatan PLT Kepala Daerah jelas menyalahi UU tersebut," tandas Rozy. Dalam Pasal 28 ayat (3) disebutkan bahwa, "Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian." Begitupun dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, Pasal 47 ayat (1) menyebutkan bahwa, "Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan." Rozy berujar, penempatan TNI aktif sebagai Pj Kepala Daerah hanya akan melecehkan semangat reformasi dan menghidupkan dwifungsi TNI. "Penunjukan TNI menjadi penjabat kepala daerah, salah satunya pada Penjabat Bupati Seram jelas mengangkangi UU TNI," ujarnya. Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD mengonfirmasi bahwa Kepala BIN Sulawesi Tengah Brigjen TNI Andi Chandra ditetapkan sebagai penjabat Bupati Seram Bagian Barat. Menurut Mahfud, penunjukan Kabinda Sulteng sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat sudah sesuai putusan MK. Ia mengatakan putusan MK menyebutkan anggota TNI/Polri yang tidak aktif pada institusi induknya tapi ditugaskan di institusi atau birokrasi lain, bisa menjadi penjabat kepala daerah. Andi Chandra menggantikan Bupati Yustinus Akerina yang masa jabatannya habis pada Minggu (22/5) lalu. Andi Chandra sendiri telah buka suara terkait penunjukannya sebagai Pj Bupati Seram Bagian Berat. Ia mengklaim tak ada pro-kontra terkait penunjukannya tersebut. "Oh, tidak ada pro dan kontra soal Pj Bupati Seram Barat," kata Andi Chandra. (La Aswan)