DPR Usulkan UU Haji dan BPKH Direvisi, Kenapa?

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 3 Juni 2022 21:25 WIB
Jakarta, MI - Pemerintah Kerajaan Arab Saudi kembali membuka ibadah haji tahun 1443 H/ 2022 M untuk jemaah di luar masyarakat lokal, usai 2 tahun tidak terselenggara karena pandemi. Indonesia mendapat kuota 105.000 jemaah. Namun, setelah semua persiapan dan kebijakan untuk menyukseskan penyelenggaraan haji diketok pemerintah dan DPR, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi mengeluarkan aturan baru, salah satunya terkait paket layanan di Masyair, baik Arafah, Muzdalifah dan Mina (Armina). Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang mengatakan, setelah Arab Saudi mengeluarkan kebijakan yang betul-betul menyulitkan masyarakat Indonesia dalam pembiayaan haji, maka harus ada perubahan aturan keuangan haji. Di antaranya, revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji atau Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dan UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. “Saya melihat keuangan haji kita dengan sistem Arab Saudi yang sekarang harus ada revisi undang-undang, baik di UU Haji dan BPKH. Kalau mengikuti visinya Saudi tentang 2040, itu banyak hal yang tidak terduga kebijakan masa-masa yang akan datang. Maka harus ada pasal-pasal yang dibuat (dalam UU Haji) untuk mengantisipasi itu," kata Marwan saat menjadi narasumber dalam Dialektika Demokrasi bertajuk 'Persiapan Ibadah Haji 1443 H' di Media Center DPR RI, Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta, Kamis (2/6/2022). Nantinya, Komisi VIII DPR RI akan melakukan identifikasi pasal-pasal yang menghambat dan pasal-pasal yang perlu diganti, untuk mengantisipasi kejadian tersebut terulang kembali. "Kalau tidak kita antisipasi, saya khawatir keuangan haji ini kolaps. Sekarang jemaah kita baru 100.051 yang berangkat, itu kita memakai total semuanya baik yang dari Jemaah. Uang daftar haji itu kan baik optimalisasi nilai manfaat, nilai efisiensi itu kita memakai kira-kira hampir Rp10 triliun, kalau dikalikan 2, berarti Rp20 triliun yang akan kita pakai nanti,” ungkapnya. Karena itu, imbuh politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut, pemerintah dan BPKH perlu diwanti-wanti agar harus menyiapkan sistem baru tentang keuangan haji. Jika tiba-tiba ke depannya Indonesia mendapatkan jatah haji misalnya 300 ribu jemaah, maka uangnya tidak cukup. Nilai manfaat selama setahun dilaporkan Rp10 triliun, tapi kalau ada 300 ribu jemaah ribu kebutuhannya akan mencapai Rp12 triliun. “Apa mungkin nanti BPKH tiba-tiba tahun depan bisa menghasilkan Rp15 triliun, harus kita cari pasal mendorong BPKH untuk bisa mendapatkan Rp15 triliun," jelasnya. Kemudian dari sistem haji pun, Marwan mengatakan perlu dibuatkan perubahan, seperti setoran awal bukan bukan lagi Rp25 juta tapi harus lebih. “Menyentuh persoalan mungkinkah kita naikkan ongkos haji, ini mau tidak mau harus dilakukan. Kalau tidak nanti akan akan ada pertanyaan, apakah itu istito'ah, umpamanya ongkos haji Rp90 juta dibayar oleh jemaah Rp40 juta, kemudian Rp50 juta lagi disubsidi, ini istito'ah atau tidak," ungkapnya. “Kita berkomitmen dengan pemerintah, segera setelah pelaksanaan haji ini kita akan mendekati tentang paling tidak (revisi) undang-undang yang dua ini, harus kita bedah kembali (untuk) mengantisipasi hal serupa terjadi lagi," katanya. Legislator dapil Sumatera Utara II itu mengatakan, setelah pelaksanaan ibadah haji tahun ini, Komisi VIII DPR RI dan pemerintah berkomitmen untuk membahas tata cara dan aturan yang dibuat Arab Saudi. Selain itu, Marwan mendorong Pemerintah Indonesia bersama negara-negara Islam lainnya untuk melakukan negosiasi kepada Pemerintah Arab Saudi. Tujuannya agar negara-negara pengirim jemaah haji dilibatkan dalam pembahasan aturan pelaksanaan haji. Bukan hanya soal hukum-hukum haji, tapi juga terkait pembiayaan. “Jadi, ketika muncul aturan baru soal biaya haji, negara-negara itu cepat mengetahuinya,” pungkasnya. [Sul]