Rizal Ramli Sebut Pemerintah Bisa Tunda Pembangunan IKN, Jika...

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 12 Juni 2022 00:06 WIB
Jakarta, MI - Ekonom senior Rizal Ramli menilai jika pemerintah bisa berpikir rasional, maka pembangunan Ibukota Negara (IKN) Nusantara seharusnya bisa ditunda dan alokasi anggarannya bisa dipakai untuk pembiayaan pengeluaran rutin pemerintah. Hal itu ia katakan guna mengomentari pengamat ekonomi Bhima Yudhistira yang meminta proyek IKN ditunda agar pemerintah bisa memfokuskan anggaran untuk belanja rutin, termasuk untuk menyambut Pemilu Serentak 2024. Bagi Rizal Ramli, usulan Bhima tidak salah. Tetapi, usul itu hanya bisa dilakukan dengan pemikiran rasional yang tidak nampak ditunjukkan pemerintah. "Itu kalau pemerintahnya rasional, punya simpati terhadap kesulitan rakyat, menghadapi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok," ujar Rizal Ramli dalam cuitan akun Twitter pribadinya, Minggu (12/6). Dikatakan Rizal, realitas saat ini pemerintah memang sibuk fokus pada proyek-proyek infrastruktur yang sebagian dananya juga didapatkan dari utang. "Lha, kalau wong boss ne sibuk mproyek, ndak peduli gimana mbyare, sibuk jadi president event organizer, tiap hari harus ada kegiatan-kegiatan pencitraan, piye Mas?" tandasnya. Sebelumnya, pengamat Ekonomi Bhima Yudhistira mengimbau proyek Ibu Kota Negara (IKN) sebaiknya ditunda. Menurutnya, anggaran nasional harus diprioritaskan untuk belanja rutin, termasuk untuk menyambut Pemilu 2024 nanti. "Soal IKN, sebenarnya harus ada prioritas lain. Belanja rutin tentu harus diprioritaskan. Pemilu tentu juga harus, kecuali memang tidak niat bikin pemilu di 2024 nanti," sentil Bhima dalam diskusi daring 'Jangan Pegel Nunggu Reshuffle', Sabtu (11/6). Direktur Center of Economic and Law Studies ini juga mengatakan jika keberlangsungan proyek IKN tersebut mengundang pertanyaan dan diskusi di berbagai lini. Ia mengklaim banyak hal tidak relevan yang dibangun demi menunjang proyek IKN, termasuk narasi digitalisasi. "Ada hal lebih penting lagi yang perlu dibahas terkait dengan IKN, terutama jika kita bicara tentang digitalisasi, ini yang pertama, " cetusnya. "Sudah tidak relevan untuk mengaitkan digitalisasi dengan proyek IKN, apalagi ketika melihat anak mudanya yang sudah bisa bekerja di mana saja," sambung Bhima mendasari. Lebih lanjut, ia pun menyinggung soal pembangunan infrastruktur besar-besaran yang nyatanya tidak memberikan dampak masif ke perekonomian masyarakat. "Yang kedua, kalau mau bicara soal infrastruktur, pekerjaan rumah dari Pak Jokowi ini masih sangat besar," jelas Bhima. "Data menunjukkan, dalam kurun waktu delapan atau sembilan tahun terakhir, infrastruktur dibangun dengan masif, tetapi biaya logistik kita masih mahal," imbuhnya. Ia menambahkan saat ini daya saing ekspor Indonesia masih rendah, meski komoditas ekspor di sektor sawit, batubara, dan nikel mengalami keuntungan besar. Bahkan, terangnya, industri pengolahan komoditas untuk produk ekspor di luar komoditas unggulan sedang melempem. "Artinya, pembangunan infrastrukturnya masif - anggarannya sekitar Rp400 triliun per tahun - tetapi imbas perekonomiannya dipertanyakan," terangnya melanjutkan. "Jangankan kita, orang yang tidak ada kepentingan pada IKN secara langsung, investor pun juga banyak yang berpikir ulang terkait keberlanjutan proyek ini," pungkasnya.

Topik:

IKN