JAKI: Ingin Pemilu Tak Ditunda, Sistem Proporsional Tertutup Harus Dihormati!

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 21 Februari 2023 17:37 WIB
Jakarta, MI - Koordinator Eksekutif Jaringan Aktivis Kemanusiaan Internasional (JAKI), Yudi Syamhudi Suyuti menilai bahwa dalam sistem demokrasi, aksi demonstrasi untuk mengoreksi jalannya sistem negara oleh rakyat adalah hal biasa. Protes, demonstrasi sudah diatur oleh konstitusi dan undang-undang turunannya. Hal itu ia ungkapkan merespons isu penundaan pemilihan umum (Pemilu) 2024. Namun yang menarik, lanjut dia, adalah ketika tuntutan protes aksi masaa yang rencananya akan digerakkan oleh beberapa elemen aksi pada 28 Februari 2023. "Yang banyak kawan-kawan saya disana juga, justru jadi menarik. Karena salah satu tuntutan yang dituntut adalah menolak penundaan pemilu 2024," ungkapnya, Selasa (21/2). Akan tetapi, menurut dia, penolakan itu kemudian menuntut proses pemilu yang sudah berjalan. Seperti menuntut DPR menghapus Presidential dan Parliementary Treshold, menolak proporsional tertutup dan beberapa koreksi tentang pemilu lainnya. "Seperti menolak sistem proporsional tertutup," tegasnya. Dengan telah berjalannya proses pemilu 2024 oleh penyelenggara pemilu, yaitu KPU, Bawaslu dan DKPP, tentu persoalan tuntutan-tuntutan elit dari kelompok masyarakat sipil yang menggerakkan aksi tersebut. Justru secara substansi, mendorong diadakannya perubahan sistem pemilu yang memerlukan waktu tidak mungkin cepat dan berdampak akan terjadi penundaan pemilu sementara. "Jadi menurut kami, jika tidak ingin pemilu ditunda, ada hal yang mau tidak mau kawan-kawan tersebut ikuti sesuai aturannya. Ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan menerima permohonan pemilu diadakan secara proporsional tertutup, mau tidak mau putusan MK yang mengikat dan final tersebut diikuti. Berbeda jika MK tidak mengabulkan," bebernya. Selain itu, tambah dia, jika kelompok aksi tidak menerima putusan MK, maka upaya lain yang bisa ditempuh adalah mendorong Presiden mengeluarkan Perppu menyangkut dikembalikan sistem proporsional terbuka dan tentang Presidential serta Parliementary Treshold. "Tapi apakah Presiden mau mengeluarkan Perppu tersebut, ini akan sulit sepertinya. Karena yang kita lihat bersama, Presiden saat ini sedang berkonsentrasi dengan pekerjaan-pekerjaan menyangkut pembangunan di segala sektor. Dan berkali-kali, beliau menyatakan tidak ingin ikut campur urusan partai-partai politik," jelasnya. Dari situasi yang akan terjadi, kata dia, sepertinya anggota parlemen dari partai-partai politik yang berada di DPR Senayan, masih sama dalam memegang prinsip politiknya tentang pemilu. "Sehingga dikabulkan atau tidak dikabulkannya gugatan penggugat yang memohon pemilu diadakan secara proporsional tertutup, partai-partai politik yang berkuasa di senayan akan mengikuti aturan," katanya lebih lanjut. Kecuali, jika MK memutuskan untuk diadakannya pemilu dengan sistem proporsional tertutup, kemudian partai-partai politik yang tidak setuju membuat terobosan politik, seperti mendorong amandemen konstitusi. Hal ini menjadi konfigurasi perubahan konstelasi politik. Dan tentu, hal ini membutuhkan waktu yang tidak bisa secepat kilat. Ada proses-proses yang harus dilewati dan tentu berdampak tertundanya pemilu sementara. "Bisa saja hal ini terjadi yang kemudian disertai proses politik untuk membuat konsensus bersama. (common consensus). Jika ini terjadi, Rakyat dan pemerintah eksekutif yang dipimpin Presiden harus terlibat," jelasnya. "Termasuk TNI-Polri, karena ini menyangkut perubahan sistem berdasarkan kesepakatan sosial baru. Sehingga dibutuhkan TNI-Polri dalam fungsi pertahanan dan keamanannya," timpalnya.