Agar Bangunan Sosial Tak Runtuh, Anggota DPR Ini Ingatkan Semua Pihak Tidak Paksakan Kebijakan Monolitik

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 2 Maret 2023 15:58 WIB
Jakarta, MI- Perbedaan dalam aspek kehidupan maupun keyakinan adalah sebuah keniscyaan di negara dengan populasi penduduk yang heterogen seperti Indonesia ini. Menjadi bertolakbelakang jika keragaman yang ada justru dipaksakan agar menjadi seragam. Oleh karenanya, Anggota DPR RI Zainuddin Maliki mengingatkan agar semua elemen bangsa untuk tidak mencoba berani memaksakan kebijakan monolitik yaitu memaksa bersatu tanpa perbedaan. Menurutnya, negeri ini hanya akan kuat jika persatuan yang dibangun berbasis pengakuan terhadap berbagai perbedaan, suku, ras, bahasa maupun agama. Hal itu dimaksudkan guna menumbuhkan persatuan yang genuine (sejati), dan kokoh. "Persatuan yang genuine dan kokoh itulah yang bisa dijadikan modal berharga untuk meraih cita-cita nasional sebagaimana digariskan oleh para founding fathers kita yaitu menjadikan negara kesatuan Republik Indonesia yang kuat, adil, sejahtera dan berkemajuan," tandas Zainuddin Maliki, dalam keterangannya, Kamis (2/3/2023). Diungkapkannya, dalam sejarah tercatat bahwa Indonesia pernah dipimpin oleh sebuah rezim yang berkuasa tiga dekade, namun akhirnya runtuh yakni rezim Orde Baru. Keruntuhan tersebut, kata dia, disebabkan karena masyarakat dipaksa untuk bersatu tanpa memberi ruang tumbuhnya pengakuan terhadap perbedaan sebagaimana mestinya. “Rezim Orde Baru take off (lepas landas) dengan benar, tetapi landing (mendarat) dengan salah. Akibatnya yang muncul kemudian adalah persatuan semu dan menyebarnya ketidakpuasan," tegasnya. Sebenarnya, ungkap Zainuddin, rezim Orde Baru yang berkuasa selama tiga dekade itu memulai pemerintahannya dengan strategi yang benar dengan berpegang pada prinsip-prinsip pluralisme dan pemerintahan yang demokratis. Perbedaan pun diakui. Aspirasi politik disalurkan dalam berbagai partai politik. Sehingga tahun 1971 tak kurang dari 10 partai tercatat sebagai peserta pemilu. Tetapi, sambung dia, setelah terjadi penyederhanaan partai dengan cara melakukan fusi sejumlah partai, juga penunggalan azas. Bahkan, kata dia lagi, pluralisme pun menjadi terberangus dan perkembangan politik di negara ini kemudian menjadi monolitik. "Dari sinilah kemudian memicu penyebaran ketidakpuasan masyarakat yang berakhir dengan munculnya gerakan reformasi 1998. Rezim yang berkuasa tiga dekade itu pun terpaksa harus landing dengan cara yang salah," tutupnya.
Berita Terkait