Mahfud MD Mundur dari Menko Polhukam, Sikap Negarawan Atau Politisi?

Dhanis Iswara
Dhanis Iswara
Diperbarui 24 Januari 2024 15:26 WIB
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Foto: Ist)
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Direktur Eksekutif Sentral Politika Subiran Paridamos, menilai wacana mundurnya Cawapres nomor urut 3, Mahfud MD dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) jika dilihat dari sisi komunikasi politik, maka dirinya hendak menegaskan beberapa pesan politik kepada publik.

Menurutnya, Mahfud ingin menciptakan kesan bahwa dirinya bukan bagian dari pejabat negara yang telah menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk pemilu. Sehingga sikap itu akan melahirkan opini publik bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak netral dalam pemilu 2024.

"Sikap politik Mahfud ini akan berefek pada lahirnya opini publik bahwa pemerintahan Presiden Jokowi tidak netral dalam pemilu alias terbukti cawe-cawe. Sehingga Mahfud MD keluar dari Pemerintahan," kata Subiran saat dihubungi Monitorindonesia.com, Rabu (24/1).

Apalagi, hal tersebut dibuktikan dengan pernyataan Mahfud yang mengatakan "Tanggal 14 Februari sebagai pengadilan rakyat, pilihlah pemimpin yang tidak menyalahgunakan kekuasaan", sehingga akan melahirkan opini bahwa hanya dirinya dan Ganjar Pranowo yang layak dipilih pada hari pemungutan suara.

"Pernyataan Mahfud ini juga bagian dari kampanye dengan narasi politik bahwa dirinya dan Ganjar adalah Paslon Capres dan Cawapres yang benar-benar tidak menyalahgunakan kekuasaan, sehingga layak dipilih pada 14 Februari mendatang,"ujarnya.

Namun, pertanyaannya kemudian, apakah sikap Mahfud ini murni sikap seorang negarawan atau sikap seorang politisi? Lantas, kenapa Mahfud tidak segera mengundurkan diri dari jabatan Menko Polhukam sejak ia dicalonkan sebagai cawapres Ganjar Pranowo.

"Andaikan Mahfud mundur sejak dirinya secara resmi telah menjadi kontestan Pilpres dalam hal ini cawapres 03, maka tentu sikap itu akan dipahami sikap negarawan, dan murni memberikan pesan bahwa beliau adalah contoh dan teladan bagi pejabat lain," tutur Subiran.

Kata Subiran, jika Mahfud mundur sebelum kegiatan kampanye dan debat pilpres dimulai pada saat itu, maka Mahfud akan dipahami sebagai sosok negarawan dan patut dicontoh. Bahkan diyakini, akan bisa menggembosi pemerintah Jokowi dengan isu-isu netralitas.

"Jadi justru publik akan menilai sikap Mahfud ini bukan lagi sikap negarawan, melainkan sikap politisi yang memiliki unsur persuasi kampanye di dalamnya. Sikap ini juga bisa saja menggembosi pemerintahan Jokowi untuk menciptakan narasi di luar bahwa pemerintahan Jokowi benar-benar tidak netral," jelas penulis buku Komunikasi Politik 7 Presiden Indonesia itu. (DI)