PDIP dan Istana Menyoal Pernyataan Jokowi Boleh Kampanye-Memihak

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 26 Januari 2024 00:00 WIB
Alat peraga kampanye (APK) terpasang disepanjang flay over Senen, Jakarta Pusat (Foto: MI/Aswan)
Alat peraga kampanye (APK) terpasang disepanjang flay over Senen, Jakarta Pusat (Foto: MI/Aswan)

Jakarta, MI - Ketua DPP PDIP Komarudin Watubun menyoroti pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait seorang presiden boleh berkampanye Pemilu 2024. Jokowi juga menyatakan, boleh memihak kepada calon tertentu dalam kontestasi pesta demokrasi.

Dengan begitu Komarudin berharap Jokowi, konsisten dengan ucapan-ucapan sebelumnya, yakni netral dalam Pemilu 2024. Menurutnya, seorang pemimpin harus memiliki jiwa patriot, lebih memikirkan kepentingan bangsa daripada pribadi atau kelompok.

"Pimpinan harus jadi teladan. Sehingga bawahannya akan meneladani," kata Komarudin, Kamis (25/1).

Komarudin mengingatkan, masyarakat Indonesia saat ini sudah 'melek' politik. Terlebih, literasi pendidikan politik terus dikencangkan pemerintah dan stakeholder terkait.

"Wacana apakah itu hak politik, alasan demokratisasi, atau merasa dilindungi oleh interpretasi sepihak konsitusi, serta relativitas etika. Akhlak sebagai pemimpin negara menjadi sangat penting untuk memberikan pembelajaran kepada rakyat," ucap Komarudin.

Kemudian, Komarudin sedikit mengutip kata-kata Earl Warren, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat tahun 1960-an. Earl kala itu mengatakan, ‘law floats in a sea of ethics’, hukum mengapung di atas samudera etika.

"Jika air samudera etika tidak mengalir, maka hukum tidak mungkin ditegakkan dengan adil. Para tokoh nasional, juga mengingatkan untuk menjaga keutuhan bangsa ini dengan menyelenggarakan pemilu ini dengan fair, adil," tandas Komarudin.

Sementara itu, pihak Istana Kepresidenan menilai banyak pihak yang salah mengartikan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bilang presiden dan menteri yang boleh kampanye dan memihak dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029.

Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengungkapkan pernyataan presiden di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (24/1), telah banyak disalahartikan. Menurutnya, saat itu Jokowi menjawab pertanyaan media terkait menteri yang ikut dalam tim sukses.

"Dalam merespons pertanyaan itu, bapak presiden memberikan penjelasan terutama terkait aturan main dalam berdemokrasi bagi menteri maupun presiden," kata Ari, Kamis (25/1).

Ari menjelaskan, Jokowi hanya menjelaskan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam beleid itu, kampanye Pemilu boleh mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, kepala daerah, dan wakil kepala daerah.

"Artinya presiden boleh berkampanye, ini jelas ditegaskan dalam Undang-Undang," jelasnya.

Meskipun, lanjutnya, ada syarat presiden untuk berkampanye. Mulai dari tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya kecuali pengamanan bagi pejabat, hingga menjalani cuti di luar tanggungan negara.

"Dengan diizinkannya presiden untuk berkampanye, artinya Undang-Undang Pemilu juga menjamin hak presiden untuk mempunyai preferensi politik pada partai atau pasangan calon tertentu sebagai peserta pemilu yang dikampanyekan, dengan tetap mengikuti pagar-pagar yang telah diatur dalam UU," jelasnya.

Selain itu, Ari juga mencontohkan keberpihakan politik juga terjadi dari presiden sebelumnya seperti presiden ke 5 dan ke-6, yang ikut serta dalam kampanye untuk memenangkan partai yang didukung. 

Namun, dia menegaskan bagi pejabat publik dan politik harus memperhatikan aturan yang berlaku dalam hak mendukung pasangan calon dan berkampanye.

"Sekali lagi, apa yang disampaikan Presiden Jokowi bukan hal yang baru. Koridor aturan terkait hal ini sudah ada di UU Pemilu. Demikian pula dengan praktek politiknya juga bisa dicek dalam sejarah pemilu setelah reformasi," jelasnya.