Pengamat: KPU dan Bawaslu Tidak Profesional

Dhanis Iswara
Dhanis Iswara
Diperbarui 12 Februari 2024 15:20 WIB
Direktur Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas (Foto: Ist)
Direktur Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Direktur Rumah Politik Indonesia Fernando Emas, menilai salahsatu unsur hadirnya film dokumenter Dirty Vote karena adanya kemungkinan penyelenggara Pemilu seperti KPU dan Bawaslu terlibat dalam lolosnya pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres untuk Pilpres 2024.

"Sangat mungkin, panitia seleksi KPU dan Bawaslu memang sudah diarahkan untuk melalukan seleksi dan meloloskan yang bisa diarahkan untuk kepentingan politik tertentu," ujarnya kepada Monitorindonesia.com, Senin (12/12).

Selain itu, selama massa kampanye kemarin, KPU dan Bawaslu dinilai seperti tidak profesional dalam melakukan pengawasan terhadap kelangsungan proses Pemilu Presiden 2024.

"Sehingga saat ini KPU seperti tidak profesional dalam melaksanakan Pemilu, dan Bawaslu dalam melakukan pengawasan terhadap proses Pemilu," urainya.

Seperti diketahui, film dokumenter “Dirty Vote” pada Minggu siang dirilis oleh rumah produksi WatchDoc di platform YouTube. 

Film tersebut menampilkan tiga pakar hukum tata negara, yaitu Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada, Feri Amsari dari Universitas Andalas, dan Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera.

Tiga pakar itu secara bergantian dan bersama-sama menjelaskan rentetan peristiwa yang diyakini bagian dari kecurangan pemilu.

Dalam beberapa bagian, ketiga pakar juga mengkritik Bawaslu yang dinilai tidak tegas dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran pemilu. Alhasil menurut mereka, tidak ada efek jera sehingga pelanggaran pemilu cenderung terjadi berulang.

Sutradara “Dirty Vote” Dandhy Dwi Laksono menyebut filmnya itu sebagai bentuk edukasi untuk masyarakat terutama beberapa hari sebelum mereka menggunakan hak pilihnya saat pemungutan suara pada 14 Februari 2024.

“Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres, tetapi hari ini saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara,“ kata Dandhy.

Dia menjelaskan film itu digarap dalam waktu sekitar 2 minggu, yang mencakup proses riset, produksi, penyuntingan, sampai rilis. 

Pembuatannya, dia menambahkan, melibatkan 20 lembaga, antara lain Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Perludem, Indonesia Corruption Watch, JATAM, Lokataru, LBH Pers, WALHI, Yayasan Kurawal, dan YLBHI. (DI)