Putusan MK vs Revisi UU Pilkada: 'Politik tanpa Kelamin?'

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 21 Agustus 2024 18:45 WIB
Badan Legislasi (Baleg) DPR telah menyetujui putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. Putusan tersebut menyatakan bahwa threshold pencalonan hanya berlaku bagi partai politik (parpol) yang tidak memiliki kursi di DPRD (nonparlemen), sementara partai yang memiliki kursi tetap harus memenuhi syarat minimal 20 kursi atau 25 persen suara.
Badan Legislasi (Baleg) DPR telah menyetujui putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. Putusan tersebut menyatakan bahwa threshold pencalonan hanya berlaku bagi partai politik (parpol) yang tidak memiliki kursi di DPRD (nonparlemen), sementara partai yang memiliki kursi tetap harus memenuhi syarat minimal 20 kursi atau 25 persen suara.

Jakarta, MI - Mahkamah Konstitusi (MK) telah menganulir aturan threshold alias ambang batas pencalonan kepala daerah dari 20% berubah ke dalam sejumlah skema yang memungkinkan partai non parlemen bisa mengusung calonnya sendiri.

Akan tetapi, di tengah kabar tersebut, muncul rencana untuk merevisi Undang-undang No.10/2016 tentang Pilkada lewat Badan Legislasi DPR. Kabar yang beredar, rencana amandemen UU Pilkada itu untuk 'mengesampingkan' putusan MK yang berpotensi mengubah konstelasi politik. 

DPR sendiri telah menjadwalkan pembahasan UU Pilkada pada hari ini, Rabu (21/8/2024). Menariknya dari jadwal yang dibagikan di DPR, pembahasan UU Pilkada akan dilakukan pukul 10.00 WIB dan langsung dilanjutkan dengan pengambilan keputusan pada pukul 19.00 WIB. 

Kalau sesuai jadwal, rapat paripurna akan berlangsung pada Kamis (22/8/2024). Sejauh ini belum ada konfirmasi pasti dari pihak DPR mengenai isu yang tengah beredar tersebut. 

Adapun isu amandemen UU Pilkada berhembus usai Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanggil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia alias Menkumham Supratman Andi Atgas. 

Supratman adalah kader Gerindra, ia baru sekitar 2 hari menjabat sebagai Menkumham menggantikan kader PDI Perjuangan (PDIP), Yasonna H Laoly.

Pertemuan antara Jokowi dan Supratman juga terjadi beberapa saat setelah MK mengeluarkan putusan bernomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024. 

Putusan 60 tentang ambang batas alias threshold calon kepala daerah. Sedangkan putusan 70 terkait batas usia calon kepala atau wakil kepala daerah yakni hitungan umur 30 tahun dilakukan saat penetapan calon wakil kepala daerah.

BACA JUGA: Baleg DPR Begal Putusan MK, PDIP Hilang Harapan untuk Nyalon di Pilkada Jakarta

Konsekuensi dari putusan ini adalah partai yang memiliki threshold di bawah 20 persen bisa mengajukan kepala daerahnya. Di DKI Jakarta, misalnya, PDIP yang hanya memiliki 15 kursi atau setara 14% dari total kursi di DPRD DKI Jakarta sebanyak 106.

Pasalnya sesuai dengan putusan MK, untuk mengajukan calon di Pilkada dengan jumlah pemilih tetap di 6 juta-12 juta cukup memiliki 7,5% kursi di DPRD. Itu artinya PDIP memiliki kans untuk mengusung calonnya sendiri pada Pilkada 2024.

Sementara putusan 70/2024 berimbas kepada putra bungsu Presiden Joko Widodo alias Jokowi, Kaesang Pangarep, yang menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) hanya 2 hari setelah menjadi kader, yang terancam tidak bisa menyalurkan ambisinya untuk maju sebagai calon wakil gubernur alias cawagub Jawa Tengah.

Di lain sisi, dalam konteks Pilkada Gubernur Jakarta 2024, Putusan MK ini berpotensi mengubah percaturan parpol-parpol dalam mengajukan calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta tahun ini.

Sebelumnya, tidak ada parpol yang bisa mencalonkan pasangan tanpa berkoalisi di Pilkada Jakarta. Hal ini dikarenakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada – yang dianulir MK kemarin – menyebut partai politik baru dapat mengusulkan calon apabila memenangkan setidaknya 20% dari total kursi di DPRD pada pemilu legislatif atau memenuhi 25% akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu DPRD.

BACA JUGA: Fraksi PDIP: Rapat Baleg DPR Cuma Main Ketok Palu

Berdasarkan aturan yang kini dibatalkan MK ini, sebelumnya dibutuhkan setidaknya total 22 kursi dari total 106 kursi bagi partai politik untuk mengajukan pasangan calon di Pilkada Jakarta.

Sekalipun menjadi pemenang pemilu legislatif Jakarta 2024, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ‘hanya’ memperoleh 16.68% alias 18 kursi dari 106 kursi – naik dua kursi dari pemilu sebelumnya.

Adapun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menempati urutan nomor dua dalam pemilihan legislatif Jakarta 2024 dengan memenangkan 15 dari 106 kursi di DPRD Jakarta alias 14.01% – turun 10 kursi dari sebelumnya.

PKS yang sebelumnya mengusung mantan gubernur Jakarta Anies Baswedan sebagai calon gubernur Jakarta dengan didampingi kadernya, Mohamad Sohibul Iman, mengalihkan dukungannya terhadap mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Ridwan akan didampingi mantan Menteri Pertanian yang juga politikus PKS, Suswono, sebagai bakal calon gubernur.

Langkah PKS disinyalir diambil setelah Anies disebut tidak kunjung mengokohkan koalisi dengan partai lain untuk memantapkan pencalonannya.

BACA JUGA: Bakal Revisi UU Pilkada secara Kilat, DPR Kekeuh Tak Anulir Putusan MK - Pakar HTN: Pembangkangan Konstitusi!

Kans Anies Baswedan sebelumnya dinilai tertutup setelah dua partai pengusungnya selain PKS, yakni Partai Nasdem dan PKB, bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang mendukung Ridwan Kamil-Susono dalam deklarasi pada Senin (19/08).

Selain Ridwan Kamil-Suswono, calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta lainnya adalah pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana yang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta ditetapkan sebagai calon independen pada Senin (19/8)/2024 malam. Penetapan itu dilakukan di tengah dugaan pencatutan sejumlah KTP warga.

Namun, putusan MK mengubah segalanya mengingat kini partai-partai lain – termasuk PDIP yang tidak tergabung dalam KIM Plus – kini bisa mengajukan calonnya sendiri tanpa perlu berkoalisi. Penutupan pendaftaran calon gubernur dan calon wakil gubernur adalah tanggal 29 Agustus 2024 – sembilan hari lagi.

Apakah segera berlaku?

Titi Anggraini, dosen pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menilai Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 berlaku untuk Pilkada 2024 mengingat putusan tersebut tidak menyebut penundaan pemberlakuan putusan pada Pilkada mendatang – seperti halnya putusan mengenai ambang batas parlemen yakni Putusan No.116/PUU-XXI/2023, di mana berlakunya setelah 2024, yakni di Pemilu 2029

“Putusan MK soal ambang batas pencalonan Pilkada ini serupa dengan Putusan MK soal usia calon di Pilpres dalam Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 yang memberi tiket pencalonan kepada Gibran Rakabuming Raka untuk maju pada Pilpres 2024 yang lalu,” ujarnya, Rabu (21/8/2024).

BACA JUGA: DPR Kangkangi Putusan MK, PDIP: Rakyat Kembali Jadi Saksi Kekuasaan Merobek Keadilan

Titi merujuk ke putusan MK pada 16 Oktober 2023 yang menyatakan seseorang berusia di bawah 40 tahun bisa mengikuti pemilihan presiden dan wakil presiden, asalkan sedang atau pernah menduduki jabatan negara yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah.

Putusan itu melanggengkan Gibran Rakabuming Raka - anak sulung Presiden Joko 'Jokowi' Widodo - untuk maju sebagai calon wakil presiden pada Pemilu Presiden 2024. Gibran saat ini berumur 36 tahun - tetapi dia menjabat sebagai Walikota Surakarta ketika akan mencalonkan diri.

Dalam putusannya, MK menyatakan batas usia minimal 40 tahun untuk calon presiden dan calon wakil presiden bertentangan dengan UUD 1945.

Meskipun begitu, Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggelar rapat kerja dengan pemerintah terkait rencana perubahan UU Pilkada di Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024).

Ditanya apakah DPR dapat membatalkan putusan MK melalui perubahan UU Pilkada ini, Titi mengatakan putusan MK jelas final dan mengikat serta berlaku serta merta bagi semua pihak.

"Istilahnya erga omnes. Kalau sampai disimpangi maka telah terjadi pembangkangan konstitusi dan bila terus dibiarkan berlanjut maka Pilkada 2024 adalah inkonstitusional dan tidak legitimate untuk diselenggarakan," tegasnya.

Harap secepat kilat

Dari total 90 anggota Baleg, hanya 28 orang yang menghadiri rapat tersebut. Meski begitu, Wakil Ketua Baleg, Achmad Baidowi dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) selaku pimpinan rapat menyebut forum itu telah dihadiri seluruh fraksi yang ada di DPR.

BACA JUGA: Baleg DPR Begal Putusan MK, PDIP Hilang Harapan untuk Nyalon di Pilkada Jakarta

Dalam rapat, Baidowi menyebut DPR berharap pembahasan perubahan UU Pilkada dapat selesai “dalam waktu yang tidak terlalu lama”. Targetnya, UU Pilkada terbaru akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR September mendatang.

Baidowi berkata, pembahasan revisi UU Pilkada yang berlangsung saat ini tidak berkaitan dengan putusan MK. Dia membuat klaim, proses perubahan beleid yang diusulkan oleh DPR itu telah dimulai sejak 23 Oktober 2023.

“Jadi bukan baru kemarin, tapi RUU ini sudah diusulkan DPR tahun lalu, dan sudah disahkan jadi RUU usul inisiatif DPR pada 21 November 2023. Tapi karena menghadapi pemilu, tahu sama tahu, kemudian tertunda. Semakin tertunda karena ada putusan MK mengenai penjadwalan pilkada yang tidak ditunda lagi".

“Surpres dari pemerintah sudah lama dan kemarin kami dapat penugasan dari pimpinan DPR untuk melakukan pembahasan tingkat satu. Jadi ini bukan RUU yang baru diusulkan, tapi kelanjutan usul DPR yang dalam hal ini pembahasan tingkat satu,” tuturnya.

Apa kata Mendagri?

Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menyatakan hal serupa dalam rapat kerja itu. Dia menyebut pemerintah telah menerima surat Ketua DPR bernomor B/14052/2023 yang bertanggal 21 November.

Presiden Joko Widodo pun, kata Tito, sudah mengeluarkan surat presiden bernomor R.02PRESIDEN012024 bertanggal 24 Januari 2024. Surat itu berisi penunjukan wakil pemerintah untuk membahas perubahan UU Pilkada bersama DPR.

Dalam materi presentasinya, Tito menyebut telah berlangsung enam rapat terkait penyusunan daftar inventaris masalah dan perubahan substansi pada RUU Pilkada. Rapat itu digelar pada 21, 28, dan 29 Desember 2023 serta pada 4, 5, dan 8 Januari 2024.

BACA JUGA: Fraksi Golkar Sebut Rapat Panja RUU Pilkada Bukan untuk Anulir Putusan MK

Rapat kerja DPR-pemerintah ini ditutup dengan kesepakatan bahwa RUU Pilkada akan dibahas di tingkat teknis oleh panitia kerja. Saat Ahmad Baidowi mengetuk palu tanda berakhirnya rapat, anggota Fraksi PDIP, Arteria Dahlan, sempat meminta waktu untuk menyampaikan pendapat.

“Kami mau menyampaikan dulu, Pak Ketua,” kata Ateria. 

Namun Baidowi segera meninggalkan bangkunya dan tak membuka lagi rapat untuk Arteria.

Bakal jadi objek sengketa!

Revisi UU Pilkada yang tidak sesuai perintah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) akan memperumit penyelenggaraan Pilkada serentak 2024.

Putusan ini akan memperumit penyelenggaraan Pilkada serentak 2024. Sebab, proses pencalonan kepala daerah yang tak sesuai perintah putusan MK, pada akhirnya bisa digugat melalui sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). 

BACA JUGA: Golkar Khawatir Putusan MK Dapat Mengubah Konstelasi Pilkada 2024

“Iya ini akan berpindah objek. Pasti dia akan menjadi objek sengketa. Kita sudah tau ya ada beberapa putusan MK yang diabaikan di dalam konteks pemilu, dan pada akhirnya dibatalkan MK,” ujar Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Charles Simabura, Rabu (21/8/2024). 

Menurut Charles, upaya DPR mengakali putusan MK dengan revisi UU Pilkada justru bisa merugikan banyak pihak. Kondisi ini juga membuat ongkos penyelenggaraan Pilkada serentak 2024 menjadi semakin besar, karena munculnya berbagai persoalan. 

BACA JUGA: Penetapan Bahlil Sebagai Ketum Golkar Dinilai Sebagai Pembuka Jalan untuk Gibran

“Proses pemilu itu keabsahannya menjadi inkonstitusional, bisa di bawa ke MK dan justru ini akan semakin merugikan semua pihak. Biaya politiknya juga pasti menjadi sangat besar kalau seandainya penyelenggaraan pilkada itu bertentangan dengan putusan MK,” kata Charles.

Topik:

Putusan MK Revisi UU Pilkada DPR UU Pilkada MK