Anggota DPR Tak Setor LHKPN Diduga Punya Harta Ilegal

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 11 April 2025 22:26 WIB
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus (Foto: Dok MI/Aswan)
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Hari ini Jumat (11/4/2025) menjadi batas akhir pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) bagi para penyelenggara negara. 

Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) per 9 April 2025, tercatat masih ada 16.867 pejabat yang belum melaporkan harta kekayaannya.

Salah satu pimpinan DPR yakni Wakil Ketua DPR Adies Kadir sempat belum melaporkan LHKPN hingga Kamis (10/4/2025). Namun, Adies Kadir kemudian mengonfirmasi bahwa dirinya telah menyerahkan laporan pada malam harinya. “Alhamdulillah, sudah semalam,” katanya, Jumat (11/4/2025) pagi.

Adies berdalih keterlambatannya disebabkan kesibukan selama masa Ramadan dan Lebaran di daerah pemilihannya (Dapil). “Saya sibuk di Dapil selama bulan puasa dan Lebaran kemarin. Tapi Alhamdulillah, kemarin sudah lapor sebelum batas akhirnya hari ini,” pungkasnya. 

Terkait hal itu, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menyampaikan dugaan bahwa ketidakpatuhan sejumlah anggota dan pimpinan DPR dalam melaporkan LHKPN disebabkan oleh kekhawatiran akan terungkapnya harta yang diperoleh secara ilegal.

Menurut Lucius, ketidaktaatan ini bukanlah persoalan ketidaktahuan terhadap aturan, melainkan mencerminkan karakter asli dari para wakil rakyat tersebut.

“Karena soal karakter pribadi, maka sangat mungkin ketidakpatuhan melaporkan LHKPN erat kaitannya dengan adanya harta yang diperoleh secara ilegal. Ini yang membuat sebagian pejabat, terutama anggota dan pimpinan DPR, memilih untuk mengabaikan pelaporan,” kata Lucius kepada Monitorindonesia.com, Jumat (11/4/2025).

Lucius menegaskan bahwa kepatuhan terhadap pelaporan LHKPN seharusnya tidak lagi didorong oleh kewajiban hukum semata.  “Harga diri anggota dan pimpinan DPR akan sangat rendah jika kepatuhan mereka hanya karena takut sanksi. Sangat kekanak-kanakan jika mereka baru taat ketika ditakut-takuti,” lanjutnya.

Menurutnya, aturan LHKPN sebenarnya dirancang untuk meningkatkan martabat dan akuntabilitas pejabat publik, dengan harapan tumbuhnya kesadaran anti-korupsi.

“Kalau pelaporan LHKPN itu lahir dari kesadaran, maka kita tak perlu repot bicara pemberantasan korupsi. Namun sayangnya, ketidakpatuhan ini menunjukkan nilai-nilai antikorupsi belum tertanam kuat di parlemen,” bebernya.

Dijelaskan Lucius bahwa keteladanan dari pimpinan DPR sangat penting untuk mendorong budaya akuntabilitas di lembaga legislatif. Namun, jika pimpinan justru menunjukkan sikap serupa, publik akan semakin kehilangan kepercayaan.

“Kalau kelakuan pimpinan tak beda dengan anggota, maka DPR sebagai lembaga akan dianggap sama—tidak patuh, tidak disiplin, dan cenderung koruptif,” lanjutnya..

Lantas dia menyindir keras inkonsistensi antara seruan pemerintah dengan realitas di lapangan. “Teriakan Prabowo soal memerangi korupsi yang begitu berapi-api nampaknya hanya jadi isapan jempol. Tak berdampak sama sekali bagi anggota dan pimpinan DPR. Jadi jangan heran kalau publik mencibir,” tukasnya.

Topik:

DPR LHKPN KPK