Coretax Rp 1,3 T Bermasalah: Stop Jadikan IT Lahan Basah!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 10 April 2025 03:37 WIB
Ilustrasi - Penggunaan aplikasi Coretax (Foto: Dok MI/Aswan)
Ilustrasi - Penggunaan aplikasi Coretax (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Permasalahan dalam sistem Core Tax Administration System (CTAS) atau Coretax diduga menjadi salah satu penyebab utama yang membuat penerimaan pajak merosot. 

Sistem Coretax yang mulai diterapkan sejak Januari 2025 ini dirancang untuk mengotomatiskan layanan administrasi pajak serta menganalisis data berbasis risiko guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak. 

Namun demikian, pengadaan Coretax itu tak luput dari deret problem lainnya hingga dugaan markup atau korupsi dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menanggapi persoalan Coretax itu, konten kreator David Alfa Sunarna dalam video yang di akun TikTok @davidalfasunarna meminta agar IT tidak dijadikan lahan basah dalam pengadaan Coretax itu.

"Udah ga usah markup anggaran kalau bikin apalikasi. Stop jadiin IT itu lahan basah. Gue kesal banget sumpah. Itu yang ngebuat kita nggak maju-maju," kata David dalam videonya dinukil Monitorindonesia.com, Kamis (10/4/2025).

Sebagai seora IT, David menyatakan bahwa aplikasi yang dapat diakses 100 orang hingga jutaan pasti berbeda penanganannya. Pun David menduga bahwa Coretax itu tidak menggunakan database oracle. 

"Aplikasi yang diakses 100 orang. 100.000 orang dan 1.000.000 juta orang itu beda penanganannya. Ngerti nggak sih luh, balik lagi deh ke kasus Coretax emang kita anak IT nggak ngerti isinya apaan dengan anggaran Rp 1 triliun Coretax kita tahu kok kalian diduga bukan pakai database oracle kan? atau apa yang terkenal lain. Kalian pakai tibero kan, database apaaan tuh njir," bebernya.

Sementara soal template Coretax itu, David menduga, menggunakan library vendor di luar negeri yang tidak jelas.

"Terus tempalate website kalian nggak buat dari 0 kan. Kalian diduga pakai library dari vendor lain kan? di luar negeri. Ngapain nge-cut budget buat vendor yang ga jelas atau kenapa lu nggak sekalian pakai open source aja yang jelas kredibilitasnya di dunia ini (jawabannya jelas: skill issue). Kenapa ujungnya cuma impor kode dari vendor lain ya kalau erroe pasti ke log out nggak bakal bisa diselesaikan sendiri kan itu kode orang kan bukan open source juga," katanya.

"Nggak bakal bisa diselesaiin sendiri kan itu kode orang kan bukan open source juga nggak banyak komunitas yang bisa benerin, ini siapa sih yang bikin ide?" imbuhnya.

David juga sebelumnya mengunggah sebuah video di akun Instagram pribadinya yaitu @davidalfasunarna pada Selasa 28 Januari 2025. Pada unggahannya ini, David menguji coba situs Coretax yang merupakan sistem administrasi layanan Direktorat Jenderal Pajak.  

Awalnya, ia mencoba untuk masuk ke website Coretax. Pada permulaan ia menjelaskan bahwa untuk membuka website tersebut harus melakukan refresh baru bisa masuk ke website Coretax. Ia juga menjelaskan bahwa di dalam network Cortex banyak URL yang tidak diketahui. “Banyak random URL, gue juga ngga ngerti, local host lagi,” katanya.  

David juga mencoba untuk mengganti URL Coretax dan ternyata hasilnya tidak seperti yang diprediksi. “A*jir pake nginx, pake harusnya ngga pakai ini sih, inilah salah satu penyebab kenapa down ya. Gue ngerti kenapa instansi pemerintah ngga boleh di public cloud tapi mungkin dengan budget segitu harusnya bisa cari teknologi CDN yang bagus,” ungkapnya.  

Lantas David mencoba membandingkannya dengan website pajak milik pemerintah Singapura yaitu IRAS. Ia kaget karena tampilan ‘not foundnya’ lebih baik dari Coretax. Melihat hal ini, David menegaskan jika dirinya teringat pada teori rekannya, yakni webste instansi dibuat oleh anak magang.  

“Yag kerjain anak intern. Gue ad resumenya anaknya apply gue." Maka menyimpulkan wajar jika website mudah down karena diserang.

KPK harus usut dugaan korupsinya

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Bung Karno (UBK), Hudi Yusuf, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan aplikasi sistem administrasi pajak Coretax yang menghabiskan anggaran sebesar Rp1,3 triliun.

"Jadi hal-hal yang mencurigakan seharusnya KPK itu mendalami tanpa harus ada laporan dari masyarakat," kata Hudi kepada Monitorindonesia.com, belum lama ini.

Hudi menekankan bahwa KPK memiliki fasilitas canggih, termasuk dukungan dari intelijen, yang memungkinkan mereka mengulik kasus ini lebih dalam tanpa harus menunggu laporan. "Apapun, ada hal-hal yang mencurigakan bisa didalami. Kan ada intelijennya juga KPK, kan," jelasnya.

Hudi mencurigai adanya dugaan markup harga dalam proses tender proyek Coretax, yang menyebabkan anggaran proyek tersebut mencapai Rp1,3 triliun. Ia menegaskan bahwa KPK seharusnya mendalami hal ini tanpa perlu diarahkan, karena pengusutan kasus korupsi adalah bidang keahlian KPK.

"Banyaknya markup-markup kan udah banyak kedengaran yang ada dalam tindak pidana korupsi. Kan rata-rata bisa menentukan harga sendiri. Ya dari sana lah bisa ditelusuri. Kita enggak ngajarin bebek berenang lah," tegasnya.

Sebelumnya diberitakan, Direktorat Pelayanan Laporan dan Pengaduan Masyarakat (PLPM) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih melakukan telaah hingga verifikasi laporan masyarakat dari‎ Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) .

Begitulah kata Jubir KPK, Tessa Mahardika merespons laporan terkait dugaan korupsi pengadaan aplikasi sistem administrasi pajak Coretax yang menghabiskan anggaran Rp1,3 triliun.

"Laporan itu sudah masuk di tahap penelaahan," kata Tessa.

Tessa menjelaskan, dalam tahap verifikasi telah laporan tersebut diproses dalam 30 hari masa kerja. Nantinya, kata Tessa, apabila bukti dalam laporan tersebut kurang, pihak Direktorat Pengaduan Masyarakat KPK meminta IWPI menambahkan bukti baru agar kasus korupsi pengadaan aplikasi sistem administrasi pajak Coretax yang menghabiskan anggaran Rp1,3 triliun dapat ditindaklanjuti.

"Bila masih kurang tentunya bisa dikoordinasikan dari pihak penerima laporan kepada pihak pelapor. Jadi, posisinya menunggu kelengkapan alat buktinya kalau seandainya memang layak untuk ditindak lanjuti ke tahap berikutnya," jelasnya.

Sebelumnya, Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) melaporkan dugaan korupsi pengadaan aplikasi sistem administrasi pajak Coretax yang menghabiskan anggaran Rp1,3 triliun.

“Hari ini melaporkan tentang kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait proyek pengadaan Coretax, sistem yang memakan anggaranya Rp1,3 triliun lebih,” kata Rinto Setiyawan, Ketua Umum (Ketum) IWPI di KPK, Jakarta, Kamis, (23/1/2025).

Rinto menyampaikan, IWPI menyerahkan sejumlah bukti dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan Coretax di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tahun anggaran 2020–2024. “Tadi diterima di Dumas II, kami menyerahkan laporan 1 bundel terkait dugaan tindak pidana korupsi terkait aplikasi Coretax,” ungkapnya.

Diungkapkan, IWPI sebenarnya telah menyiapkan 4 alat bukti. Pertama, dokumen di antaranya surat, pengumuman tender, dan keputusan (Kep) Dirjen Pajak. Kedua adalah bukti petunjuk.

“Hasil-hasil capture tangkapan layar aplikasi yang eror yang dilaporkan wajib pajak, yang melaporkan kepada IWPI, terkait kendala-kendala itu," kata Rinto.

Sedangkan dua bukti ketiga dan keempat yang telah dipersiapkan IWPI, yakni ‎saksi dan juga ahli jika KPK memerlukan. “Jadi sebenarnya sudah ada empat alat bukti dan bisa digunakan,” ujarnya.

Terkait indikasi awal dugaan korupsi proyek Coretax ini, Rianto mengatakan, tidak berfungsinya berbagai fitur dalam aplikasi seniai Rp1,3 triliun yang diluncurkan Presiden Prabowo pada 31 Desember 2024, dan mulai digunakan pada 1 Januari 2025.

‎“Sampai saat ini banyak anggota kami dari IWPI, dari pajak-pajak di seluruh Indonesia masih menemukan banyak mal fungsi aplikasi Coretax ini,” ucapnya.

Persoalan ini, kata dia, kian bertambah setelah Dirjen Pajak menerbitkan Keputusan Nomor 24 Tahun 2025 yang menyatakan aplikasi Coretax bermasalah. “Untuk 790 pajak-pajak tertentu itu boleh menggunakan aplikasi yang lama,” katanya.

Menurut Rinto, ini sangat janggal karena katanya Coretax ini sangat canggih dan biayanya sanga mahal. Terlebih, wajib pajak besar malah justru diperbolehkan ke sistem pajak lama.

Harusnya dibalik, kalau Coretax ini canggih, maka yang 790 ini harusnya memakai Coretax, sedangkan wajib pajak yang dianggap kecil-kecil ini pakai aplikasi yang lama.

Topik:

Coretax DJP KPK