Kejar Tayang Korupsi LPEI

Aswan LA
Aswan LA
Diperbarui 20 Maret 2024 22:50 WIB
Logo Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK (Foto: Dok MI)
Logo Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) kini tengah mengusut kasus dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). 

Kedua lembaga penegak hukum itu mempunyai pandangan berbeda usai Menteri Keungan (Menkeu) Sri Mulyani melapor ke Jaksa Agung ST Burhanuddin pada Senin (18/3/2024) kemarin.

Sehari setelahnya, KPK justru membeberkan bahwa pihaknya telah mengusut kasus ini dan sudah naik ke tingkat penyidikan. Padahal, Kemenkeu telah membentuk tim terpadu bersama LPEI, BPKP, JAMDATUN dan Inspektorat Kemenkeu. Kredit-kredit bermasalah di LPEI seluruhnya akan diinvestigasi nantinya.

Sri Mulyani melaporkan adanya empat perusahaan mengalami cicilan bermasalah dalam penerimaan fasilitas kredit LPEI itu dengan nilai Rp2,5 triliun, ke Kejagung. Keempat perusahaan debitur itu adalah PT RII dengan dugaan fraud sebesar Rp1,8 triliun, PT SMR Rp216 miliar, PT SRI Rp1,44 miliar, dan PT PRS Rp305 miliar. 

Sementara menurut KPK, kasus ini melibatkan tiga debitur dari LPEI yakni PT PE, PT RII dan PT SMJL. Kerugian dari PT PE dengan nilai kerugian Rp 800 miliar, PT RII sebesar Rp 1,6 triliun, dan PT SMJL sebesar Rp 1,051 triliun. Adapun totalnya adalah Rp 3,4 triliun.

KPK mengklaim sudah memperoleh laporan pengaduan masyarakat mengenai perkara itu sejak 10 Mei 2023. Selanjutnya, KPK memulai penyelidikan kasus itu pada 13 Februari 2024 atau sebelum menaikkan status perkaranya ke penyidikan pada Selasa kemarin. "KPK telah menerima laporan dugaan peristiwa tipikor dalam penyaluran kredit LPEI ini sejak 10 mei 2023," ujar Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron.

https://monitorindonesia.com/storage/news/image/71d0bd11-9c81-4eaa-9c2a-238aa90f9151.jpg
Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron (Foto: MI/Aswan)

Ghufron menyatakan, pihaknya berhak mendalami perkara korupsi LPEI lantaran posisi penanganan KPK lebih maju dari Kejagung dengan menerbitkan sprindik pada 19 Maret 2024. 

Ghufron pun mengutip Pasal 50 UU KPK yang isinya mengatur kepolisian dan kejaksaan wajib menyetop penyelidikan perkara kalau KPK sudah lebih dulu memulai penyidikan dalam kasus yang sama. "Penyidikan yang dilakukan kepolisian atau kejaksaan segera dihentikan," ucap Ghufron.

Merespons hal itu, Kejagung pun mempertanyakannya. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Ketut Sumedana mengatakan laporan korupsi LPEI oleh Menkeu Sri Mulyani, pada Senin (18/3/2024) itu belum tentu kasus sama yang sejak Selasa (19/3/2024) diumumkan dalam penyidikan oleh KPK itu.

"Kasus terkait LPEI itu banyak (bahkan ada bath 1, 2 dan 3) kita baru menerima dan tahap mempelajari, yang dimaksud dengan menghentikan yang mana dan yang ditangani KPK juga yang mana," kata Ketut saat dihubungi Monitorindonesia.com, Selasa (19/3/2024) malam.

Bahkan, tambah Ketut, ada juga kasus LPEI terkait dengan tindak pidana umum yang ditangani di Mabes Polri. "Jadi kami perlu koordinasi dalam penanganan perkara ini, mekanismenya sudah ada," tegasnya.

Sampai saat ini kasus yang dilaporkan Sri Mulyani itu, kata dia, masih dalam telaah oleh tim Jaksa Agung Muda (JAM) Tindak Pidana Khusus (Pidsus) sebelum diumumkan ke tahap penyelidikan, maupun penyidikan. 

"Di Jampidsus sejak 2021 sudah menangani perkara korupsi di LPEI," ungkap Ketut.

Bahkan dari perkara korupsi LPEI yang ditangani oleh Kejagung, sudah ada yang sudah berkekuatan hukum tetap atau inkracht dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 2,6 triliun. 

https://monitorindonesia.com/storage/news/image/e2edf4d2-8ca4-48d0-a92a-d64300a320b7.jpg
Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana (Foto: MI/Aswan)

Dan masih ada satu perkara lagi yang sudah disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 81,35 miliar.

"Sedangkan yang kemarin itu (pelaporan Sri Mulyani) sekali lagi saya sampaikan, itu masih dalam telaah untuk dipelajari. Jadi yang mana yang diminta untuk dihentikan?” tanya Ketut lagi.

Ketut menjelaskan, bahwa proses hukum atas pelaporan baru kasus korupsi LPEI oleh Kemenkeu itu juga terdiri dari banyak klaster yang semuanya mengenai perkara tindak pidana korupsi. 

Menurut Ketut, penanganan perkaranya bakal terpisah-pisah dan yang dilaporkan oleh Sri Mulyani kepada Jaksa Agung, terdiri dari tiga klaster perkara.

Yang saat ini dalam telaah tim penyidikan di Jampidsus, adalah klaster satu. Yaitu terkait dengan penyimpangan, atau dugaan tindak pidana korupsi atas pemberian fasilitas kredit ekspor oleh LPEI terhadap empat perusahaan swasta sebagai debitur periode 2019. 

Perusahaan-perusahaan tersebut bergerak di bidang pertambangan batu bara, dan nikel, serta perkebunan kelapa sawit, juga shipping atau perkapalan. 

Dijelaskannya, bahwa perusahaan-perusahaan tersebut, menikmati pemberian fasilitas kredit ekspor yang berujung pada macet,sehingga merugikan keuangan negara.

Sementara klaster kedua, sudah disampaikan oleh Jaksa Agung. Yakni ada enam perusahaan lain selaku debitur yang saat ini dalam proses pemeriksaan dan audit oleh tim terpadu di Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun), serta Inspektorat Kemenkeu. 

https://monitorindonesia.com/storage/news/image/7dce9148-984b-4f4f-b760-6fdcccffd90c.jpg
Jaksa Agung, ST Burhanuddin (kiri) dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani (kanan) (Foto: Dok MI/Kejagung)

"Enam perusahaan pada klaster kedua kasus tersebut menjelaskan nominal kredit yang terindikasi merugikan negara setotal Rp 3,85 triliun," tandas Ketut. 

Lantas Ketut mempertanyakan, dari pelaporan atas klaster-klaster kasus tersebut, apakah ada kasus sama yang sejak Selasa (19/3/2024) diumumkan oleh KPK ke level penyidikan. 

Dan dari pengumuman tersebut, KPK meminta Kejakgung menghentikan proses hukum atas pelaporan Sri Mulyani terkait korupsi LPEI tersebut. “Silakan teman-teman di KPK koordinasikan dengan kita (Kejagung) kasus yang dimaksud itu yang mana,” pungkas Ketut.

KPK Ogah Lepas Penyidikan

KPK telah mempelajari tiga korporasi dalam perkara dugaan korupsi tersebut. Hal itu juga berbeda dengan Kejaksaan Agung yang menyampaikan ada empat korporasi yang terindikasi fraud.

Namun KPK, akan berkoordinasi dengan Kejagung. Pembicaraan dibutuhkan karena Korps Adhayaksa mendapatkan laporan dari Menteri Keuangan (Kemenkeu) Sri Mulyani.

“Nah itu perlu dikoordinasikan di kejaksaan kemarin ada beberapa perusahaan apakah ada irisannya dengan yang dilaporkan KPK,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung Juang KPK, Jakarta Selatan, Rabu (20/3/2024).

Koordinasi penting dilakukan agar Kejagung dan KPK tidak mengusut kasus yang sama. Sebab, ketumpangtindihan itu dilarang berdasarkan aturan yang berlaku.

https://monitorindonesia.com/storage/news/image/ec9f1c30-148a-4c59-a0d5-74b2d33cc551.jpg
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata (Foto: MI/Aswan)

Kedua penegak hukum itu bisa mengusut kasus yang sama jika konteks dugaan korupsinya berbeda. KPK dan Kejagung harus saling membuka data.

“Kalau perusahaannya beda bisa saja misalnya menyangkut banyak perusahaan nanti kami koordinasi kita bagi saja nanti Kejaksaan berapa perusahaan nanti KPK berapa perusahaan,” jelas Alex.

Namun, KPK tidak mau melepas kasus itu jika Kejagung meminta. Sebab, ada peran pejabat LPEI yang sudah diusut sejak lama. “Tapi kalau terkait LPEI-nya kita enggak akan bisa lepaskan karena dalam memberikan kredit itu ada peran-peran dari LPEI, manajemen LPEI,” ujar Alex.

Kejar Tayang

Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai langkah KPK itu seperti kejar tayang dan kebakaran jenggot.

"Sekarang LPEI ini seperti kejar tayang sehingga mengumumkan konferensi pers tersendiri. Saya kira proses-proses menurut saya seperti tidak ada guidance dan kita semakin prihatin karena KPK semakin tidak ada arah," ujar Boy begitu disapa, Rabu (20/3/2024).

Pengumuman penyidiak kasus itu menjadi hal baru di KPK karena lembaga antirasuah itu biasanya menaikkan kasus ke penyidikan bersamaan dengan penetapan tersangka.

https://monitorindonesia.com/storage/news/image/559fd630-7aca-4813-b477-6b287fa4d742.jpg
Boyamin Saiman (Foto: MI/Aswan)

"Sekarang kalau urusan LPEI ini tiba-tiba mengumumkan penyidikan itu kan agak 'kebakaran jenggot' karena Menteri Keuangan melaporkan ke Kejaksaan Agung".

"Karena perkara ini sudah satu tahun ditangani KPK dan tidak ada kepastian terus kemudian Menteri Keuangan lapor Kejaksaan Agung. Seakan-akan kebakaran jenggot mengumumkan penyidikan sehingga terkesan di masyarakat rebutan," beber Boy.

Pimpinan KPK dalam konferensi pers di gedung KPK, Jakarta Selatan, Selasa kemarin tidak menjelaskan siapa tersangka dalam kasus ini. 

Hanya menjelaskan secara total ada penyaluran kredit ke tiga korporasi yang diusut KPK dengan dugaan kerugian negara Rp 3,4 triliun. "Calon, ada," jawab Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron saat ditanya siapa tersangka dalam kasus ini.

Nurul Ghufron lalu menjelaskan alasan KPK mengumumkan penyidikan tanpa adanya penetapan tersangka. Dia mengatakan hal ini sebagai salah satu evaluasi usai kalah dalam gugatan praperadilan mantan Wamenkumham Eddy Hiariej dan pengusaha Helmut Hermawan.

"Kami saat ini mendasarkan pada putusan-putusan yang praperadilan yang kemarin, maka kemudian kami mengubah pendekatan. Bukan berarti meninggalkan pasal 44 (UU KPK)".

"Pasal 44 itu jelas mengatakan bahwa jika penyelidik menemukan alat bukti, maka laporan ke pimpinan untuk melakukan penyidikan, jika menemukan alat bukti. Kalau tidak ya kembali pada KUHAP pasal 1 angka 5. Tersangka dan alat buktinya akan kami bangun di proses penyidikan," ungkapnya.

Nurul Ghufron juga menyatakan KPK tidak sedang kebut-kebutan kasus dengan Kejagung. Meski demikian, dia mengatakan Kejagung harus menyetop penanganan kasus jika ternyata dugaan korupsi di LPEI yang diusut Kejagung sama dengan yang ditangani KPK. Hal itu, kata Ghufron, terdapat di dalam pasal 50 UU KPK.

"Dalam hal KPK sudah melakukan penyidikan sebagaimana pada ayat 1, kepolisian dan kejaksaan tidak boleh lagi melakukan penyidikan. Empat, dalam hal penyidikan dilakukan bersamaan oleh kepolisian dan kejaksaan dan KPK maka penyidikan yang dilakukan kepolisian atau kejaksaan harus dihentikan," tandas Nurul Ghufron. (wan)