KPK "Garang" ke Mardani Maming, Sri Mulyani Pegawai BPK RI Berani?

Nicolas
Nicolas
Diperbarui 22 Juli 2022 15:57 WIB
Jakarta, MI - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengancam akan menjemput paksa Ketua HIPMI Mardani H Maming. Namun, untu pegawai BPK RI Sri Mulyani lembaga antirasuah tersebut tampaknya kehilangan keberanian. "Tersangka atau saksi (Mardani) tidak hadir, apa tindakan KPK? Ya itu tadi, sesuai dengan KUHAP, dua kali dipanggil tidak hadir, ya kita penyidik punya kewenangan untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa, kita akan jemput yang bersangkutan," ujar Alex kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK di Jakarta, Kamis (21/7). Alex menjelaskan, dalam KUHAP ketika saksi atau tersangka yang sudah dua kali dipanggil secara pantas tidak hadir, maka penyidik punya kewenangan untuk menjemput secara paksa. KPK pun sedang upayakan dengan cara-cara yang sesuai dengan KUHAP untuk mendatangkan Mardani. Mardani yang juga menjabat sebagai Bendahara Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dipanggil untuk yang kedua kalinya pada Kamis. Akan tetapi Maming tidak terlihat hadir di KPK. Mardani juga sebelumnya sudah diperiksa pada Kamis (2/6) dalam kapasitasnya sebagai saksi pada saat itu. Dia juga sudah dipanggil dalam kapasitasnya sebagai tersangka pada Kamis (14/7). Namun, Mardani mangkir dengan alasan masih menunggu hasil gugatan praperadilannya.  Dalam perkara ini, Maming mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. PBNU pun mengutus mantan pimpinan KPK, Bambang Widjojanto (BW) dan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana sebagai kuasa hukum Maming. Dalam sidang praperadilan, KPK mengungkapkan banyak fakta baru saat membeberkan jawaban atas praperadilan Maming yang diungkapkan di hadapan Hakim pada Rabu (20/7) lalu. KPK membeberkan bahwa penetapan tersangka Maming sudah sesuai prosedur hukum, yakni sudah memiliki lebih dari dua alat bukti permulaan. KPK Pilih Kasih? Namun, KPK sepertinya hanya "garang" kepada Mardani H Maming. Padahal, kasus dugaan korupsi pengurusan Dana Insentif Daerah (DID) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tabanan, Bali yang diduga melibatkan pegawai BPK atas nama Sri Muliyani yang dulunya bekerja di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) kini semakin tidak jelas. Tak hanya itu, lembaga antirasuah itu juga dinilai "pilih kasih" tidak berani memanggil Sri Mulyani yang saat ini berstatus sebagai pegawai BPK RI. Padahal dalam persidangan, Bupati Tabanan pernah menyebutkan bahwa dalam kasus itu ada keterlibatan pegawai BPK RI tersebut. Atas hal inilah, publik meragukan keberanian KPK untuk melanjutkan kasus ini dan memanggil Sri Mulyani karena hingga saat ini KPK terbukti belum pernah memanggil pegawai BPK RI itu. Sri Mulyani Dipanggil KPK Sebelumnya, KPK melayangkan surat pemanggilan terhadap saksi Sri Mulyani pada Selasa (17/5) lalu, namun Sri Mulyani tidak memenuhi panggilan tersebut. KPK mengklaim bahwa ternyata ada kekeliruan dalam surat tersebut dan salah memanggil saksi, sehingga KPK akan mencari keterangan dari pihak lain. Dalam surat itu KPK menyatakan panggilan atas nama Sri Mulyani bukan berprofesi ASN di IPDN. “Yang bersangkutan tidak hadir dan informasi yang kami terima, terdapat kekeliruan, yaitu nama saksi yang dibutuhkan penyidikan dimaksud bukan berprofesi ASN pada IPDN,” kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Rabu (18/5). Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan mantan Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti sebagai tersangka. Selain Eka Wiryastuti, mantan staf ahli Bupati Tabanan Dewa Nyoman Wiratmaja dan mantan Kepala Seksi Dana Alokasi Khusus Fisik II Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Rifa Surya ikut dijadikan tersangka. Ni Putu Eka Wiryastuti dan I Dewa Nyoman Wiratmaja merupakan pemberi suap, sedangkan penerima suap adalah Rifa Surya. Eka Wiryastuti yang menjabat Bupati Tabanan dua periode dalam melaksanakan tugasnya mengangkat tersangka I Dewa Nyoman Wiratmaja sebagai staf khusus bidang ekonomi dan pembangunan. Sekitar Agustus 2017, mantan Bupati Eka Wiryastuti berinisiatif mengajukan permohonan DID dari Pemerintah Pusat senilai Rp 65 miliar. Untuk merealisasikan keinginan tersebut, Eka Wiryastuti memerintahkan I Dewa Nyoman Wiratmaja untuk menyiapkan seluruh kelengkapan administrasi permohonan pengajuan dana DID dimaksud. Selain itu, I Dewa Nyoman Wiratmaja juga diperintahkan untuk menemui dan berkomunikasi dengan beberapa pihak yang dapat memuluskan realisasi usulan tersebut. Pihak-pihak yang ditemui I Dewa Nyoman Wiratmaja itu adalah Yaya Purnomo dan tersangka Rifa Surya yang diduga berwenang mengawal usulan DID untuk Kabupaten Tabanan pada 2018. KPK menduga, Yaya Purnomo dan Rifa mengajukan syarat khusus untuk mengawal usulan dana DID pada I Dewa Nyoman Wiratmaja dengan meminta sejumlah uang sebagai fee dengan istilah ‘dana adat istiadat’. Permintaan tersebut lalu diteruskan I Dewa Nyoman kepada Ni Putu Eka Wiryastuti sehingga diperoleh persetujuan. KPK menduga nilai fee yang ditentukan oleh Yaya Purnomo dan Rifa Surya sebesar 2,5 persen dari alokasi DID yang nantinya akan didapat Kabupaten Tabanan Tahun Anggaran 2018. Sekitar Agustus-Desember 2017, KPK menduga terjadi penyerahan uang fee berkisar sebesar Rp 600 juta dan 55.300 dolar AS (setara Rp 809 juta), yang dilakukan secara bertahap dari I Dewa Nyoman kepada Yaya Purnomo dan Rifa Surya di salah satu hotel di Jakarta. Sidang Tipikor Bali Dua mantan pejabat Kementerian Keuangan RI mengungkap alur pemberian suap untuk pengurusan Dana Insentif Daerah (DID) Kabupaten Tabanan Tahun Anggaran 2018, dalam sidang korupsi dengan terdakwa Bupati Tabanan periode 2016–2021 Ni Putu Eka Wiryastuti. Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Denpasar, Bali, Kamis (21/7), dua mantan pejabat ini menjelaskan pemberian suap secara bertahap dan melalui perantara terdakwa, yaitu I Dewa Nyoman Wiratmaja alias Dewo, yang saat kejadian merupakan staf khusus (stafsus) Eka. Yaya Purnomo selaku saksi mengungkapkan bahwa dirinya terhubung oleh mantan stafsus Eka Wiryastuti dari Bahrullah Akbar, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Anggota VI BPK. Yaya Purnomo saat itu merupakan Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Permukiman Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI, dan mahasiswa S-3 Universitas Padjajaran yang dibimbing oleh Baharullah. “Pak Dewa kemudian menelepon saya. Dia menyampaikan dari Tabanan. Katanya teman (prof) Bahrullah, dan Pak Dewa bilang jika prof sering menjadi narasumber kegiatan di Tabanan,” kata Yaya saat persidangan. Pada percakapan itu, Dewa pun meneruskan permintaan Eka Wiryastuti yang meminta bantuan agar alokasi DID Tabanan ditambah. Akan tetapi, karena pengurusan DID bukan kewenangan Yaya, dia pun menghubungi Rifa Surya yang saat itu menjabat sebagai Kepala Seksi Dana Alokasi Khusus Fisik II Kemenkeu. “Saya, Rifa, dan Pak Dewa lantas bertemu. Ada beberapa kali pertemuan,” kata Yaya. Setidaknya ada empat pertemuan berlangsung antara tiga orang tersebut. Dalam pertemuan itu, Dewa menyampaikan permintaan Eka terkait dengan penambahan alokasi DID. Yaya dan Rifa menyanggupi permintaan itu dengan syarat adanya pemberian suap yang disebut “dana adat istiadat” senilai 2,5 persen dari alokasi DID yang ditetapkan oleh Pemerintah Mantan Pimpinan BPK Mantan wakil ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Bahrullah Akbar membantah menerima Rp500 juta dari utusan eks bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti terkait pengurusan alokasi Dana Insentif Daerah (DID) Tahun Anggaran 2018. Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Denpasar, Bali, pada Kamis (21/7), Bahrullah yang hadir sebagai saksi mengatakan dirinya tidak pernah menerima dan tidak pernah mengetahui ada penerimaan uang senilai Rp500 juta dari I Dewa Nyoman Wiratmaja alias Dewo, yang saat kejadian merupakan staf khusus (stafsus) Eka. “Tidak, setahu saya tidak pernah, apalagi soal uang,” kata dia menjawab pertanyaan Jaksa KPK Luki Dwi Nugroho di persidangan. Meski demikian, jaksa kembali bertanya kepada para saksi dua eks pejabat Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Yaya Purnomo dan Rifa Surya yang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) menyebut Bahrullah menerima uang tersebut. Yaya, yang saat itu menjabat Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Permukiman Kemenkeu, menjelaskan informasi tentang penyerahan uang itu dia peroleh dari Dewa. “Pak Dewa sampaikan (kepada saya), ini Prof dulu. Maksudnya, (uang) yang akan diberikan ke saya (diberikan lebih dulu) ke Prof (Bahrullah),” kata Yaya menjawab pertanyaan jaksa. Yaya, yang saat itu mahasiswa S3 Universitas Padjajaran di bawah bimbingan Bahrullah, juga mendapatkan informasi itu selepas keduanya bertemu untuk membahas disertasi. Oleh karena itu, Yaya mempertahankan pernyataannya di BAP, begitu pun saksi lainnya, Rifa Surya. Jaksa pada persidangan pada Kamis itu juga mendalami isi percakapan teks antara Bahrullah dan Dewa. Dalam percakapan itu, Dewa, yang memperkenalkan diri sebagai utusan Eka, meminta bertemu Bahrullah. Bahrullah pun membalas permintaan itu dengan memberi jadwal pertemuan dan alamat kediamannya di Jakarta. Namun, saat kembali ditanya jaksa, Bahrullah mengaku batal bertemu Dewa di kediamannya karena urusan keluarga. Eks pejabat BPK itu tidak memberi tahu Dewa, meskipun keduanya sepakat bertemu sebagaimana isi percakapan pesan singkat yang ditunjukkan oleh jaksa di persidangan. Bahrullah yang hadir secara virtual mengatakan dirinya tidak pernah mengetahui urusan DID Kabupaten Tabanan, karena pertemuan dia dengan Eka dan Dewa sebatas pekerjaan. Di beberapa kesempatan, Bahrullah kerap diundang sebagai pembicara acara bedah dan peluncuran buku. Dalam kasus suap pengurusan DID Tabanan itu, nama Bahrullah sering disebut oleh saksi-saksi lain, termasuk Yaya dan Rifa. Dewa, yang merupakan utusan Eka, disebut menghubungi Bahrullah sebelum akhirnya dipertemukan dengan Yaya. Yaya kemudian menghubungi Rifa untuk membahas permintaan Eka yang ingin agar alokasi anggaran DID Tabanan 2018 ditambah. Kemudian, Yaya, Rifa, dan Dewa lanjut bertemu setidaknya empat kali di Jakarta untuk membahas permintaan Eka itu, termasuk besaran suap, atau yang disebut oleh saksi sebagai “Dana Adat Istiadat”. Dalam rangkaian pertemuan itu, Yaya dan Rifa menyanggupi permintaan Eka yang disampaikan melalui Dewa. Syaratnya, dua eks pejabat Kemenkeu meminta “Dana Adat Istiadat” senilai 2,5 persen dari alokasi DID yang ditetapkan pemerintah. DID Kabupaten Tabanan Tahun Anggaran 2018 saat itu diputuskan mencapai Rp51 miliar. Dari perolehan itu, Eka melalui Dewa memberi imbalan kepada Yaya dan Rifa senilai total Rp600 juta yang diberikan tunai dalam kantong plastik, dan 55.300 dolar AS (sekitar Rp1,4 miliar) yang diberikan tunai dalam amplop. Uang itu kemudian dibagi dua untuk Yaya dan Rifa. Dari jumlah itu, Rp300 juta yang pertama diserahkan Dewa kepada Yaya dan Rifa sebagai tanda jadi, kata Rifa di persidangan. KP3I Direktur Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3I) Tomu Pasaribu,SH, MH mengatakan bahwa seharusnya KPK harus jelas memangil saksi dalam sebuah kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor). Dan sebenarnya, kata Tomu, Bupati Tabanan juga sudah diperiksa dan dalam persidangan, ia menyebut ada keterlibatan anggota BPK waktu itu. Namun yang dicari KPK sebagai saksi itu adalah Sri Mulyani yang dulunya memang pegawai Institusi Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Bandung. Bukan Sri Mulyani Menteri Keuangan, lanjut Tomu, tapi Sri Mulyani yang beberapa tahun lalu dipindahtugaskan ke BPK yang kemungkinan bisa menjadi saksi kunci dalam kasus tersebut. “Tidak menutup kemungkinan saya katakan dia termasuk saksi kunci atas keterlibatan terhadap seseorang yang sedang di sidik oleh KPK sebagai lembaga independen yang sangat kuat, kok bisa salah mengirimkan surat,” kata Tomu dalam Podcast Monitor Indonesia. Yang menjadi pertanyaan sekarang, kata Tomu, adalah apakah KPK serius menangani kasus ini? “Pernyataan KPK itu sendiri akan mencari saksi lain artinya kalau disisi hukum ini kan kalau di Indonesia permainan kata-kata bijak akhirnya ini itu terjebak ternyata nanti yang diperiksa itu bukan Sri Mulyani itu lagi karena sudah ada saksi lain lebih cenderung mengantisipasi di sini,” jelasnya. Tomu melanjutkan, bahwa Sri Mulyani yang dibahas KPK sebenarnya dulu di IPDN dipindahkan oleh seseorang di BPK. Untuk itu, bagi Tomu, KPK akan lebih gampang mencari seseorang di BPK, karena BPK itu tidak banyak anggotanya didalam. ”Teman saya aktivis dulu, mengatakan setiap ada tugas Sri Mulyani ini ikut, setiap tugas diluar negeri, yang ikut dengan anggota BPK lainnya, makanya saya bilang ini kasus lama dan tidak mungkin tidak diketahui oleh KPK,” katanya. Tomu pun mempertanyakan KPK begitu lama menangani kasus yang sangat jelas runtutan dan garis benang merahnya. ”KPK selalu mengatakan kurang orang, sementara OTT kadang dilancarkan begitu cepat, sementara yang ini kenapa lama,” katanya. Atas hal ini, Tomu menilai KPK sudah terjebak dalam politik praktis yang terlalu berani mengatakan akan mencari saksi lain yang sampai saat ini belum juga terungkap. “Artinya kalau dikatakan kalimat mencari saksi lain, karena salah sasaran surat yang mereka kirimkan untuk memakai Sri Mulyani mereka mencari saksi lain, nggak bisa dong harus Sri Mulyani, makanya saya bilang Sri Mulyani sekarang ada di BPK itu,” jelasnya. “KPK ini sebenarnya tidak sulit namun dibikin seolah-olah sulit cuman dibikin seolah-olah sulit, apa sih yang tidak bisa di zaman canggih ini dia menangkap orang aja waktu cepat dengan OTT bisa, masa nggak bisa mengambil hasil rapat Badan anggota BPK nggak bisa, ada notulennya kok,” sambungnya. Sebenarnya, kata Tomu, masalah ini hanya pintu kecil, yang artinya bahwa anggota BPK posisinya hanya sembilan. Namun, jika pola penanganan kasus terus seperti itu pasti akan menjamur. Apalagi kata dia, salah melayangkan surat pemanggilan. Dan sangat mustahil KPK itu tidak mengetahui di mana Sri Mulyani. “Makanya kalau bagi saya ini suatu permainan skenario hukum yang seolah-olah mau teruskan dan pada intinya mau dihentikan,” pungkasnya.[Lin]  

Topik:

-