Ferdy Sambo Bersikukuh Pelecehan Seksual Putri Candrawathi, Mantan Hakim Beri Sindiran Keras!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 25 Desember 2022 22:51 WIB
Jakarta, MI - Sidang kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, telah berlangsung sejak bulan Oktober 2022.  Bahkan terus dilanjutkan pada pekan terakhir 2022 tanpa libur akhir tahun meskipun telah diminta oleh kuasa hukum dan jaksa penuntut umum. Sampai saat ini, yang menjadi dasar pembunuhan terhadap Brigadir J itu belum terungkap dan para tedakwa sudah didakwakan sejumlah pasal. Sebagaimana diketahui, bahwa hingga kini motif pembunuhan yang diklaim oleh Ferdy Sambo, masih bersikukuh terhadap dugaan pelecehan seksual kepada Putri Candrawathi yang disebut-sebut dilakukan oleh Brigadir J. Meskipun dalam perjalanannya mengungkap kasus ini, penyidik tidak menemukan adanya unsur tersebut. Motif pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi itupun terus menjadi perdebatan. Bahkan dalam sidang saksi ahli pidana yang diajukan pihak Sambo menyebut, ketiadaan bukti visum tak berarti pelecehan seksual tak terjadi. Meski demikian, pernyataan tersebut dibantah dengan tegas oleh Pakar Hukum Pidana, Asep Iwan Iriawan. Asep meyakini posisi Putri sebagai Istri Kadiv Propam Polri, memiliki pengetahuan dan akses untuk menempuh prosedur sesuai hukum yang berlaku. "Kenapa saat itu, jikalau Brigadir Yosua melanggar hukum, melakukan pelecehan seksual, kenapa nggak dikepret kenapa harus dibunuh dengan cara melawan hukum juga. Kan aneh, jadi penegak hukum tapi nggak ngerti hukum," sindir Asep dikutip pada Minggu (25/12). Jika memang Putri sebagai korban memilih bungkam, menurut Asep, sangat aneh jika Ferdy Sambo tidak membuat laporan visum meski sang istri sudah melaporkan ada pelecehan. "Kalau selama pelecehan seksual atau kekerasan seksual tidak ada dalam BAP, tidak ada barang bukti ya gak usah ngomongin soal itu. Secara hukum kan orang bicara bukti sepanjang tidak ada bukti peristiwa itu dan itu sudah ada di berkas perkara, apalagi sudah divonis di BAP. Ya jangan ngomongin pasal pelecehan, kekerasan seksual, ini kan aneh," jelasnya. Soal keterangan para ahli dalam persidangan kemarin menjadi pertimbangan penting bagi Majelis Hakim untuk menentukan nasib para terdakwa yang terlibat kasus penembakan Yosua. Menurut Asep motif pelecehan Putri pun harus dibuktikan, tak hanya menggunakan satu keterangan pakar. Menurut Asep Iwan Iriawan yang juga seorang Pakar Hukum Pidana, kasus perkosaan itu harus dibuktikan oleh visum. Apalagi dalam hal ini korbannya adalah seorang istri pejabat tinggi polri, yakni Mantan Kadiv Propam Polri. Dosen Universitas Indonesia ini juga mengatakan, Putri Candrawathi juga adalah seorang dokter yang memiliki pendidikan tinggi. Ia justru heran kenapa Ahli Hukum Pidana pada sidang Ferdy Sambo justru malah membahas pemerkosaan, bukan pembunuhan yang ada dalam dakwaan. "KUHP itu azas legalitas, itulah yang dibuktikan dengan unsur, jangan mmembuktikan motif. Kalau motif itu lain, itu untuk mempertimbangkan berat ringannya hukuman. Bayangkan kalau seorang cewek luka, robek, sama ahli. Kalau ahli, nanti dokter A bilang robeknya segitiga, dokter B segiempat, ngawur. Sekali lagi, kalau perkosaan itu standarnya visum, karena ada sesuatu di situ," jelas dia. Sementara itu, sebelumnya Mahrus Ali mengatakan bahwa tidak ada visum memang menyulitkan pembuktian, namun bukan berarti tidak terjadi kekerasan seksual. Sebab menurutnya, tidak semua kekerasan seksual memiliki keberanian untuk melapor. Saksi juga menyebut peristiwa kekerasan seksual kerap terjadi di ruang pribadi sehingga minim bukti. Menanggapi hal itu, Asep Iwan Iriawan setuju bahwa sebagian besar korban pemerkosaan pasti tidak memiliki keberanian untuk malapor. "Misalnya cleaning service diperkosa direktur pasti tidak akan berani melapor. Pertanyaan sederhana, yang diperkosa, dibantai, dibanting itu jabatannya apa? istri siapa?," kata dia. Asep Iriawan mengatakan, dalam kasus ini korban dugaan pemerkosaan yakni seorang istri dari polisisnya polisi, yang korban juga memiliki pendidikan tinggi dan merupakan seorang dokter gigi. "Harusnya dokter lebih mengerti karena standarnya kan begitu. Orang kecil itu kalau mengalami perkosaan pasti standarnya ke puskesmas, apalagi ini seorang istri jenderal, berpendidikan tinggi, berpengalaman," beber dia. Selain itu, kata dia, pascakejadian Putri Candrawathi yang disebut-sebut trauma itu juga masih bisa melakukan beberapa kegiatan bahkan meminta suaminya untuk tidak perlu khawatir dan melarang melapor ke kantor polisi terdekat. "Kok lucu gitu, ini perbuatan melawan hukum yang harusnya dengan proses hukum, malah dilakukan dengan perbuatan melawan hukum. Dan sekarang mau dibenarkan," kata dia. Meski begitu, Asep Iriawan pun setuju bahwa tidak adanya visum bukan berarti tidak terjadi kekerasan seksual. "Tapi kalau seorang yang punya pangkat, derajat, status, dia penegak hukum, tidak melakukan proses hukum, saya harus belajar hukum di mana lagi?," tegasnya. Ia pun mengkritisi kesaksian ahli yang malah justru membahas perkosaan, bukan pembunuhan. "Ngapain cerita perkosaan orang dakwaannya pembunuhan kok. Kalau betul itu perkosaan tidak ada bukti cuma dengan ahli, ya silahkan diproses. Makanya enggak salah kalau Bareskrim SP3-kan, karena enggak ada bukti," katanya. Asep Iwan Iriawan juga mengatakan bahwa sebaiknya laat bukti perkosaan itu tidak menggunakan keterangan ahli. "Alat bukti tadi (perkosaan) jangan menggunakan keterangan ahli, kalau para ahli menjelaskan perkosaan saya bingung, ahli apa? Ahli perkosaan yang menjelaskan? Sekolah dong yang bener ah," tandasnya. Selain itu, Asep yang juga sebagai mantan Hakim, menyinggung tuntuntan hukuman pidana terhadap orang yang sudah meninggal dalam hal ini Brigadir J, seharusnya tuntuntan hukumannya sudah gugur sebagaimana diatur dalam pasa 77 KUHP. " Katakanlah pelakunya Alamrhum Brigadir J, kalau orang cerdas pasti tahu pasal 77 KUHP yang mungkin diproses apalagi ditindak," tutup Asep. #Ferdy Sambo