Jokowi Beri Grasi Terpidana Mati Kasus Narkoba, Bagaimana dengan Ferdy Sambo?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 15 April 2023 04:15 WIB
Jakarta, MI - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memberikan grasi kepada terpidana mati kasus narkoba Merry Utami merupakan langkah penting dalam perubahan kebijakan hukum mati di Indonesia. "Grasi ini adalah grasi pertama yang diberikan Presiden Jokowi untuk terpidana mati kasus narkotika. Bagi ICJR ini adalah langkah penting yang diambil oleh Presiden Jokowi dalam perubahan kebijakan hukuman mati selama ini. ICJR berharap hal yang sama akan diterapkan bagi terpidana mari lain, khususnya yang sudah lebih dari 10 tahun dalam masa tunggu terpidana mati," kata peneliti ICJR Adhigama Budiman kepada wartawan, Jumat (14/4). Adhigama menjelaskan, berdasarkan pernyataan kuasa gukum Merry Utami, klienya diberikan grasi oleh Presiden Jokowi pada Kamis, 24 Maret 2023 lalu. Keputusan Presiden No. 1/G/2023 ini mengubah pidana mati Merry Utami menjadi pidana seumur hidup. Merry Utami adalah seorang korban perdagangan orang yang telah duduk dalam deret tunggu terpidana mati lebih dari 20 tahun, sejak dijatuhi pidana mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Grasi itu telah diajukan sejak 2016 lalu. Karena itu, ICJR juga mengapresiasi Presiden Jokowi untuk mengambil langkah baru mengenai penanganan terpidana mati, utamanya kasus narkotika. Terlebih, kasus-kasus narkotika sering didapatkan dalam penerapannya justru menjerat orang-orang yang rentan, termasuk korban perdagangan orang. "Kasus sejenis Merry Utami juga terjadi di kasus lainnya, dengan adanya dimensi eksploitasi dan kekerasan berbasis gender," ucap Adhigama. Grasi yang diberikan Presiden Jokowi ini menandakan ada langkah untuk memperbarui politik hukum pidana mati di Indonesia, yang juga selaras dengan KUHP Baru serta komitmen UPR ini. "Penyegeraan peniliaian terpidana mati yang sudah dalam deret tunggu paling tidak untuk 101 terpidana mati yang sudah lebih dari 10 tahun menunggu eksekusi harus dilakukan, untuk menjadi subjek pengubahan hukuman sebagai persiapan implementasi KUHP baru," pungkasnya. Apakah Ferdy Sambo Bakal Diberi Grasi Juga? Proses hukum terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Yosua, Ferdy Sambo saat terus bergulir. Usai divonis hukum mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kubu Ferdy Sambo mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun banding tersebut  telah ditolak, dalam hal ini mantan Kadiv Propam Polri itu tetap dihukum mati. Perlu diketahui bahwa upaya banding bukanlah jalan akhir dari langkah hukum Ferdy Sambo. Jika tidak puas atas putusan Pengadilan Tinggi itu, maka penasihat hukum Ferdy Sambo dapat mengajukan upaya hukum permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Penasihat hukum Ferdy Sambo dapat menyusun dan memasukkan Memori Kasasi ke Mahkamah Agung RI melalui pengadilan tempat perkara disidangkan. Hal ini, merupakan syarat utama untuk mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung RI. Permohonan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI tetap ditujukan ke MA, namun tetap pada prosedurnya melalui pengadilan Negeri tempat perkaranya disidangkan. Setelah ada putusan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung RI, jika tetap dinyatakan bersalah, maka terdakwa harus menjalani masa hukumannya hingga dengan status barunya yaitu sebagai Narapidana. Jika belum atau sedang menjalani masa penangguhan penahanan, maka setelah diputus bersalah terdakwa dieksekusi untuk menjalani masa hukumannya. Hukuman mati untuk mantan jenderal bintang dua, Ferdy Sambo belum final. Ferdy Sambo masih memiliki kesempatan untuk melakukan upaya hukum selanjutnya seperti kasasi hingga mengajukan permohonan grasi ke Presiden. Upaya hukum lain di luar jalur yudikatif adalah meminta keringanan hukuman dari presiden melalui grasi. Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden. Hal ini tertuang dalam UU Nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi. Permohonan grasi bagi terpidana merupakan hal yang umum. Presiden Joko Widodo pernah memberikan grasi kepada lima tahanan politik Papua. Tetapi di saat bersamaan, Jokowi juga pernah menolak grasi terpidana mati dalam kasus narkoba. Ferdy Sambo memiliki hak yang sama dengan narapidana mati lainnya untuk mengajukan grasi. 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3879). Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Pada saat ini pengaturan mengenai grasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi. Undang-Undang tersebut dibentuk pada masa Republik Indonesia Serikat sehingga tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan Indonesia yang berlaku pada saat ini dan substansinya sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat. Dalam mengatur tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi, Undang-Undang tersebut di samping tidak mengenal pembatasan putusan pengadilan yang dapat diajukan grasi, juga melibatkan beberapa instansi yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana (criminal justice system) dan mengatur pula penundaan pelaksanaan putusan pengadilan jika diajukan permohonan grasi. Hal tersebut mengakibatkan begitu banyak permohonan grasi yang diajukan dan adanya penyalahgunaan permohonan grasi untuk menunda pelaksanaan putusan sehingga penyelesaian permohonan grasi memakan waktu yang lama dan terlalu birokratis. Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 perlu diganti dengan Undang-Undang yang baru. Pembentukan Undang-Undang ini bertujuan menyesuaikan pengaturan mengenai grasi dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa Presiden memberikan grasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Grasi, pada dasarnya, pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati, pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana. Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai prinsip-prinsip umum tentang grasi serta tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi. Ketentuan mengenai tata cara tersebut dilakukan dengan penyederhanaan tanpa melibatkan pertimbangan dari instansi yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana. Untuk mengurangi beban penyelesaian permohonan grasi dan mencegah penyalahgunaan permohonan grasi, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembatasan putusan pengadilan yang dapat diajukan grasi paling rendah 2 (dua) tahun serta ditegaskan bahwa permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan, kecuali terhadap putusan pidana mati. Di samping itu, ditentukan pula bahwa permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, kecuali untuk pidana tertentu dan dengan syarat tertentu pengajuan permohonan grasi dapat diajukan 1 (satu) kali lagi. Pengecualian tersebut terbuka bagi terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut, atau bagi terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima. (LA)