Teddy Minahasa Tak Kunjung Disidang Etik, Pakar Hukum: Bisa Jadi Dibackup Oknum...

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 11 Mei 2023 12:10 WIB
Jakarta, MI - Pakar hukum pidana dari Univeritas Trisaksi, Abdul Fickar Hadjar menduga terdakwa kasus narkoba Teddy Minahasa dibackup oknum pejabat, sehingga meski sudah divonis penjara seumur hidup sudah dijatuhkan tak kunjung disidang etik untuk menentukan apakah masih sebagai anggota Polri atau tidak. Diketahui, Teddy minahasa masih resmi menjabat sebagai anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dengan sebutan jabatan Irjen Pol. Jika tidak segera disidang etik, tegas dia, maka akan mempengaruhi citra Polri yang saat ini mulai membaik. "Bisa jadi TM dibackup oleh beberapa oknum pejabat juga, sehingga tidak langsung disidang etik, oleh karena itu kita menghimbau Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo untuk bertindak tegas. Karena ini akan nempengaruhi citra polri yang mulai baik," kata Abul Fickar saat berbincang dengan Monitor Indonesia, Kamis (11/5). Menurut Abdul Fickar, bahwa upaya penegakan disiplin dan kode etik Polri dibutuhkan untuk mewujudkan pelaksanaan tugas yang dibebankan dan tercapainya profesionalisme Polri. Maka dari itu, ia menegaskan, sidang etik terhadap mantan Kapolda Sumbar itu segera dilaksanakan, sebab sudah jelas Teddy Minahasa telah menikmati keuntungan dalam penjualan narkotika jenis sabu. Perbuatan Teddy Minahasa juga dianggap telah mengkhianati perintah presiden dalam penegakan hukum dan pemberantasan peredaran gelap narkoba "Ya seharusnya disegerakan, karena sidang etik itu berkaitan dengan pelanggaran etika profesi. Jadi berkaitan dengan pekerjaannya sebagai polisi, yang hukuman makasimalnya diberhentikan dengan tidak hormat (PTDH)," jelas Abdul Fickar Hadjar. Teddy Minahasa sudah dihukum seumur hidup walaupun baru ditingkat Pengadilan Negeri (PN), tetapi tambah dia, seharusnya ini sudah bisa menjadi indikator seberapa melanggar perbuatannya. "Harusnya secepatnya karena sudah ada putusan Pengadilan Negeri," pungkasnya. Sementara itu, kuasa hukum Teddy Minahasa, Anthony Djono menyebut pihaknya belum mendapat obrolan apapun dari perwakilan Mabes Polri terkait sidang etik kliennya. "Sampai sekarang belum (info dari Mabes Polri), tapi kan terakhir di media dari perwakilan Mabes Polri ada bilang itu akan diproses setelah putusan pak TM," ujar Anthony dikutip pada Kamis (11/5). Menurutnya, proses persidangan itu masih panjang. Pihaknya pun masih akan melakukan banding dan berjuang untuk membebaskan Teddy Minahasa. "Putusan hukum tetap, karena masih proses banding. Masih lama itu, sidang itu sampai kasasi nanti," kata dia. Lanats Anthony juga mempertanyakan, bagaimana jika nanti saat banding Teddy dinyatakan tidak bersalah tetapi sidang etik sudah dijalankan?  "Belum, kalau tiba-tiba dibanding tidak bersalah gimana?" tanya Anthony dengan nada tertawa di akhir kalimatnya. Aturan Sidang Kode Etik Aturan sidang kode etik Polri tertuang dalam Peraturan Polri Nomor 7 tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Mengutip PP No.7 Tahun 2022, sidang kode etik terdiri dari: 1. Sidang dengan acara Pemeriksaan cepat, untuk pelanggaran kode etik ringan 2. Sidang dengan acara Pemeriksaan biasa, untuk pelanggaran kode etik berat Kategori pelanggaran dibagi dalam kategori ringan, sedang, dan berat, yakni: -Kategori Ringan: Dilakukan karena kelalaian, bukan untuk kepentingan pribadi, dan tidak berdampak pada pihak lain termasuk negara. -Kategori Sedang: Dilakukan dengan sengaja dan atas dasar kepentingan pribadi atau pihak tertentu. -Kategori Berat: Dengan kriteria antara lain dilakukan dengan sengaja atas kepentingan tertentu, adanya pemufakatan jahat, berdampak pada keluarga hingga negara, menjadi perhatian publik, dan termasuk tindak pidana dengan putusan hukum berkekuatan tetap. Sidang KKEP dilakukan untuk membuktikan pelanggaran dilakukan pejabat Polri. Sidang terdiri atas tiga tahapan; Sidang KKEP, Sidang KKEP Banding, dan/atau Sidang KKEP PK. Kapolri menjadi pihak penuntut dalam Sidang KKEP untuk sidang tingkat Markas Besar Polri. Lalu, Kapolda untuk sidang tingkat Polda. Serta Kapolres untuk sidang tingkat Polres Sidang dilaksanakan paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak diterbitkan keputusan pembentukan Komisi Kode Etik Polri (KKEP). Tempat pelaksanaan sidang berada di ruang sidang Markas Kepolisian, kecuali KKEP menentukan lain. Terduga Pelanggar wajib menghadiri sidang. Apabila tidak hadir dalam dua kali pemanggilan resmi, maka sidang dilaksanakan tanpa kehadiran Terduga Pelanggar. Sidang KKEP sudah harus menjatuhkan putusan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja. Dalam hal Sidang KKEP tidak menemukan bukti-bukti adanya Pelanggaran Kode Etik, Terduga Pelanggar diputus bebas. Mekanisme Sidang Kode Etik Polri Sidang KKEP dengan acara pemeriksaan cepat, untuk pelanggaran kategori ringan, mekanisme: a. Penuntut, Sekretaris dan Terduga Pelanggar sudah berada di ruang sidang sebelum sidang dimulai b. Ketua KKEP membuka sidang c. Penuntut membacakan tuntutan d. Ketua KKEP membacakan putusan Perbuatan Melanggar Etika Selanjutnya, dalam aturan tersebut disebutkan juga perbuatan-perbuatan yang melanggar etika yang tak patut dilakukan personel Polri, yaitu: -Menganut paham radikal dan/atau eksklusivisme terhadap kemajemukan budaya, suku, bahasa, ras dan agama; -Mempengaruhi atau memaksa sesama anggota Polri untuk mengikuti cara beribadah di luar keyakinannya; -Menampilkan sikap dan perilaku menghujat, serta menista kesatuan, Atasan dan/atau sesama anggota Polri; -Melakukan perilaku penyimpangan seksual atau disorientasi seksual; -Melakukan penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan obat terlarang meliputi menyimpan, menggunakan, mengedarkan dan/atau memproduksi narkotika, psikotropika dan obat terlarang; -Melakukan perzinaan dan/atau perselingkuhan; -Mengunakan sarana media sosial dan media lainnya untuk aktivitas atau kegiatan mengunggah, memposting dan menyebarluaskan: 1. Berita yang tidak benar dan/atau ujaran kebencian; 2. Perilaku memamerkan kekayaan dan/atau gaya hidup mewah; 3. Aliran atau paham terorisme, radikalisme/ ekstremisme yang dapat menimbulkan perpecahan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 4. Konten yang bersifat eksklusivisme terhadap kemajemukan budaya, suku, bahasa, ras dan agama; dan/atau 5. Pornografi dan pornoaksi; -Melakukan tindakan kekerasan dalam rumah tangga; -Mengikuti aliran atau ajaran yang tidak sah dan/atau tidak dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan; -Menyimpan, memiliki, menggunakan, dan/atau memperjualbelikan barang bergerak atau tidak bergerak secara tidak sah; -Menista dan/atau menghina; -Melakukan tindakan yang diskriminatif; dan -Melakukan tindakan kekerasan, berperilaku kasar dan tidak patut. (LA)