Tingginya Pajak Hiburan Indonesia, Hotman Paris akan Pindah Bisnis ke Malaysia dan Dubai

Zefry Andalas
Zefry Andalas
Diperbarui 23 Januari 2024 06:08 WIB
Ilustrasi - Hotman Paris pengacara sekaligus pengusaha hiburan. (Foto: Ist)
Ilustrasi - Hotman Paris pengacara sekaligus pengusaha hiburan. (Foto: Ist)

Jakarta, MI – Hotman Paris menilai kenaikan 40%-75%  atas Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) di Indonesia sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara lain.

Hotman mengatakan, idealnya tarif pajak hiburan yang termasuk ke dalam PBJT adalah 5% seperti yang diterapkan negara tetangga seperti Thailand guna menarik wisatawan.

"Pajak idealnya seperti di Bangkok, 5% ya. Karena itu dari total gross. Ibaratnya gini loh. Pajaknya itu kan biasanya dari keuntungan dipotong biaya. Itu prinsip pajak," ucap Hotman kepada awak media di Jakarta, Senin (22/1).

Dia menerangkan lebih lanjut, sebetulnya, tarif pajak hiburan untuk diskotek, karaoke, klub malam dan sejenisnya yang dipatok sebesar 25% masih terbilang besar jika dibandingkan dengan negara lain. Oleh karena itu, dirinya akan mengembangkan usahanya di luar negeri, dibandingkan di Indonesia.

"Sudah mulai. Kita sekarang sudah merencanakan lagi, pendapatan tahun ini kita fokuskan di Dubai. Makanya kita mau kabur. Kita sudah mau buka di twin tower dekat Malaysia. (Juga) seluruh penghasilan kita mau ke Dubai. Goodbye Indonesia," tegas Hotman yang juga pengusaha hiburan.

 

Respon Pemerintah Pusat

Di sisi lain, Imbas dari ditetapkannya kenaikan 40%-75% Pajak atas Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sebagaimana tertuang dalam Undang Undang  (UU) No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD), ditambah dengan adanya protes dari asosiasi dan pelaku usaha di bidang Perhotelan dan Jasa Hiburan, pemerintah terpaksa mengeluarkan insentif fiskal berupa pengurangan tarif atas PBJT dan menyiapkan insentif perpajakan berupa Pajak Penghasilan (PPh) Badan Ditanggung Pemerintah.

"Masukannya tadi sudah kita terima semua. Saya minta, solusinya tadi dengan SE (Surat Edaran) Mendagri. Pada waktu di Istana, saya sampaikan bahwa akan ada SE, dan Kepala Daerah bisa mengacu kepada SE Mendagri," ucap Airlangga Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dalam keterangannya, Senin (22/1).

Airlangga mengatakan, berdasarkan ketentuan Pasal 101 UU HKPD telah jelas diatur bahwa Kepala Daerah secara jabatan dapat memberikan insentif fiskal berupa pengurangan pokok pajak daerah.

Hal ini telah ditegaskan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) melalui Surat Edaran Nomor 9 00.1.13.1/403/SJ tanggal 19 Januari 2024 kepada Gubernur Daerah DKI Jakarta dan Bupati/ Walikota.

Sehingga berdasarkan ketentuan yang ada, Kepala Daerah memiliki kewenangan yang diberikan UU HKPD untuk melakukan pengurangan tarif PBJT atas Jasa Hiburan yang tarifnya 40% sampai dengan 75% itu.

Dengan kewenangan tersebut, Kepala Daerah dapat mengurangi tarif PBJT hiburan sama dengan tarif sebelumnya. Pemberian insentif fiskal dengan pengurangan tarif PBJT hiburan tersebut cukup ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (Perkada).

Dengan demikian, pelaksanaan kewenangan Kepala Daerah tersebut cukup mengacu kepada UU HKPD, PP Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribnusi Daerah, dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 9 00.1.13.1/403/SJ tanggal 19 Januari 2024.

Kemudian, Airlangga menyampaikan, Kementerian Keuangan bersama kementerian/lembaga terkait sedang menyelesaikan kajian untuk memberikan dukungan insentif perpajakan untuk Sektor Pariwisata yang berupa PPh Badan DTP (Ditanggung Pemerintah).

Insentif pajak PPh Badan DTP tersebut sebesar 10%, sehingga besaran tarif pajak PPh Badan akan turun menjadi 12% (dari tarif normal sebesar 22%).

"Hal ini diharapkan akan mampu memberikan angin segar bagi pelaku usaha dan dapat menjaga iklim usaha agar tetap kondusif," tuturnya.