Pungutan Baru Diberlakukan secara Bersamaan pada 2025: Rakyat Makin 'Terjepit'


Jakarta, MI - Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan bukan tanpa alasan semua pungutan baru bisa berbarengan di tahun yang sama.
Kalau diperhatikan dengan saksama, beberapa peraturan yang melandasi pungutan-pungutan itu disusun pascapandemi Covid-19.
Harapan pemerintah yang saat itu dipegang oleh Joko Widodo, setelah masa pagebluk selesai, pemulihan ekonomi terjadi secara signifikan.
"Jadi waktu itu ada yang memproyeksikan ekonomi Indonesia naik sampai 7%, karena pascacovid mobilitas sudah mulai normal lagi, kinerja ekspor bakal naik," katanya, Senin (30/12/2024).
Beberapa peraturan yang melandasi pungutan-pungutan itu disusun di masa pemerintahan Joko Widodo.
Pemerintah dan DPR, katanya, lantas merancang sejumlah regulasi dengan ekspektasi yang "tinggi". Berharap ketika aturan itu berlaku pada 2025, masyarakat sudah siap tanpa harus terbebani.
Tapi selain itu, menurut Bhima, ada persoalan utama terkait defisit APBN yang semakin lebar.
Dalam rapat antara jajaran Kementerian Keuangan bersama Komisi XI di DPR pada 31 Agustus 2023, dijabarkan bahwa pada periode 2014-2024, postur APBN terus meningkat dari sisi pendapatan maupun belanja negara.
Namun, Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, menyebut pada periode pandemi yaitu 2020, pendapatan negara turun drastis. Sementara belanja negara membengkak signifikan.
"Kalau kita lihat keseluruhannya progres dari pendapatan negara kita terus meningkat, namun kita mengalami pressure pada tahun 2020," ujar Suahasil.
Pada 2020, tercatat pendapatan negara Rp1.647,8 triliun sedangkan belanja negara sebesar Rp2.595,5 triliun.
Alhasil defisit anggaran pada tahun tersebut mencapai Rp947,7 triliun.
Pemerintah, kata Bhima, tak bisa menambah utang baru untuk menambal defisit APBN di tengah risiko global yang sedang meningkat dan ada tren penguatan dolar Amerika Serikat.
Terlebih, utang pemerintah bertambah hampir Rp6.000 triliun atau melonjak 224% selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Senada, Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menyebut ruang fiskal APBN dalam 10 tahun terakhir tergolong "berat".
Itu nampak dari makin besarnya rasio pembayaran pokok utang beserta bunganya dari tahun ke tahun.
Pada 2019 lalu, sebelum pandemi, mantan Presiden Joko Widodo mengatakan, dana APBN yang digunakan untuk pemindahan IKN sebesar 19% dari APBN dengan sisanya dari swasta dan BUMN.
Pada 2013, porsi pembayaran utang di APBN hanya 18% dari pendapatan negara. Sepuluh tahun kemudian pada 2023, porsinya naik jadi 38%
Pada 2025, angkanya diperkirakan akan terus meningkat dengan sekitar 45% pendapatan negara habis untuk membayar utang.
"Jadi perekonomian Indonesia selama pemerintahan Pak Jokowi yang diklaim baik, adalah semu," ungkap Andri.
"Dan hal itu tidak tersampaikan kepada pemerintahan baru Pak Prabowo bahwa ternyata kondisi keuangan negara jauh lebih berat untuk membiayai program-program andalannya."
Berada pada situasi yang disebutnya "terjepit", menurut Andri, pemerintah hanya punya tiga pilihan: melakukan penghematan belanja ekstrem, meningkatkan pajak secara signifikan, termasuk memberlakukan pungutan-pungutan ke masyarakat.
Jika opsi-opsi itu tidak dilakukan, janji politik Presiden Prabowo Subianto seperti program makan bergizi gratis, swasembada pangan dan pembangunan tiga juta rumah menjadi taruhan dan mungkin tidak akan terealisasi, kata Andri.
"Ada faktor janji politik yang ongkos politiknya lebih berat apabila program makan gratis itu tak terlaksana dan pemerintah melihat menyengsarakan kelas pekerja itu biaya politiknya lebih rendah. Kenapa? Karena kelas pekerja tidak punya bargaining power [daya tawar] dalam peta politik," jelasnya.
Itu mengapa, kenaikan PPN menjadi 12%—seperti diprediksi sebelumnya—tetap akan diberlakukan walaupun menuai keributan di masyarakat, kata dia.
Sementara pemerintah belum berani memajaki orang kaya lewat pajak kekayaan. Padahal, perhitungannya, dengan mengambil 1%-2% saja pajak kekayaan per tahun dari 50 orang terkaya Indonesia, pemerintah bisa mengantongi setidaknya Rp80 triliun.
Angka itu lebih tinggi dari target penerimaan negara dengan menaikkan PPN 12% sebesar Rp75 triliun.
Deret Pungutan Baru yang Dikenakan pada 2025
Berdasarkan analisis para ahli ekonomi, ada sembilan aturan baru yang akan menggerus dompet kelas menengah ke bawah, terdiri dari kenaikan pajak, pungutan, asuransi, dan iuran.
Berikut rinciannya yang dirangkum Monitorindonesia.com, Senin (30/12/2024):
Selengkapnya di sini
Topik:
Pajak Pungutan 2025Berita Sebelumnya
Deret Pungutan Baru yang Dikenakan pada 2025
Berita Selanjutnya
Penerimaan Pajak Terhambat, Utang Pemerintah Semakin Membengkak
Berita Terkait

DJP Akui Coretax Belum Optimal, Janji Sistem Lancar dalam 3 Bulan
25 September 2025 19:13 WIB

KPK dan Kemenkeu Kejar Tunggakan Pajak Rp 60 T, 200 WP Sia-siap Saja!
24 September 2025 19:51 WIB