Penerimaan Pajak Terhambat, Utang Pemerintah Semakin Membengkak
Jakarta, MI - Pendapatan negara dari sektor pajak tahun ini diprediksi tidak akan mencapai target, demikian disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam laporan realisasi APBN semester I-2024. Padahal, dalam tiga tahun terakhir, penerimaan pajak selalu melampaui target yang ditetapkan.
Pada 2021, pajak tercatat mencapai Rp1.277,53 triliun, atau 103,9% dari target. Di 2022, penerimaan pajak menyentuh Rp1.716,8 triliun (115,6% dari target), dan pada 2023 mencapai Rp1.869,2 triliun (102,8% dari target).
Namun, untuk 2024, Sri Mulyani meramal, realisasi penerimaan pajak hanya akan mencapai Rp 1.921,9 triliun atau 96,6% dari target APBN yang sebesar Rp 1.988,9 triliun. Terdiri dari realisasi semester I-2024 sebesar Rp 893,8 triliun dan prognosa semester II-2024 Rp 1.028,1 triliun.
"Sehingga total penerimaan Rp 1.921,9 triliun," ucap Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR di Jakarta, Juli lalu, dikutip Rabu (25/12/2024).
Hingga akhir November 2024, penerimaan pajak baru mencapai 84,9% dari target, dengan angka Rp1.688,9 triliun. Akibatnya, total pendapatan negara juga masih jauh dari target, baru mencapai 89% dengan angka Rp2.492,7 triliun.
Komponen setoran pendapatan negara yang sudah melampaui target hanya baru berasal dari sisi penerimaan negara bukan pajak atau PNBP yang sebesar Rp 522,4 triliun atau 106,2% dari target. Sedangkan kepabeanan dan cukai baru 80,3% dari target dengan realisasi Rp 257,7 triliun.
Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan realisasi penerimaan pajak tahun lalu yang mencapai Rp1.867,9 triliun, prognosa penerimaan pajak hingga akhir tahun itu masih akan naik sebesar 2,9%.
"Jadi sedikit di bawah target 96,6% tapi masih tumbuh positif 2,9%," kata Sri Mulyani.
Di tengah kondisi penerimaan negara yang melambat, utang pemerintah juga mencatatkan kenaikan yang cukup signifikan, meskipun sempat mengalami penurunan di beberapa bulan sepanjang 2024. Berikut adalah rincian nominal utang pemerintah yang tercatat dalam dokumen APBN KITA (Kinerja dan Fakta) setiap bulannya sepanjang tahun ini:
- Per 31 Januari 2024: Rp 8.253,09 triliun
- Per 29 Februari 2024: Rp 8.319,22 triliun
- Per 31 Maret 2024: Rp 8.262,10 triliun
- Per 30 April 2024: Rp 8.338,43 triliun
- Per 31 Mei 2024: Rp 8.353,02 triliun
- Per 30 Juni 2024: Rp 8.444,87 triliun
- Per 31 Juli 2024: Rp 8.502,69 triliun
- Per 31 Agustus 2024: Rp 8.461,93 triliun
- Per 30 September 2024: Rp 8.473,90 triliun
- Per 31 Oktober 2024: Rp 8.560,36 triliun
- Per 30 November 2024: Rp 8.680,13 triliun
Selain nominal utang yang terus membengkak, beban utang jatuh tempo pemerintah Indonesia juga diperkirakan akan semakin besar memasuki tahun 2025. Data menunjukkan bahwa utang jatuh tempo akan melonjak signifikan pada periode 2025-2027, sebelum akhirnya menurun drastis setelahnya.
Menurut data yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, utang jatuh tempo pada 2024 diperkirakan mencapai Rp434,29 triliun. Angka ini terdiri dari utang dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp371,8 triliun, dan pinjaman sebesar Rp62,49 triliun.
Lebih lanjut, pada 2025 menjadi Rp 800,33 triliun, yang terdiri dari SBN Rp 705,5 triliun dan pinjaman Rp 94,83 triliun. Pada 2026 sebesar Rp 803,19 triliun, terbagi menjadi SBN Rp 703 triliun dan pinjaman Rp 100,19 triliun, serta pada 2027 menjadi Rp 802,61 triliun, terdiri dari SBN Rp 695,5 triliun dan pinjaman Rp 107,11 triliun.
Pada 2028, utang jatuh tempo diperkirakan akan turun menjadi Rp719,81 triliun, yang terdiri dari SBN sebesar Rp615,2 triliun dan pinjaman Rp104,61 triliun. Setelah itu, jumlahnya akan terus menurun hingga mencapai titik terendah pada 2041, yakni hanya Rp30,8 triliun, dengan rincian SBN Rp27,4 triliun dan pinjaman Rp3,47 triliun.
Profil utang jatuh tempo untuk total utang itu terdiri dari yang kurang dari 1 tahun Rp 600,85 triliun, 1-3 tahun Rp 1.762,25 triliun, di atas 3-5 tahun Rp 1.480,12 triliun, di atas 5-10 tahun Rp 2.437,57 triliun, di atas 10-15 tahun Rp 787,36 triliun, di atas 15-20 Rp 573,11 triliun, dan di atas 20 tahun Rp 697,17 triliun.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati juga telah menjelaskan alasan di balik tingginya pembayaran utang jatuh tempo pada periode 2025-2027.
Dia mengungkapkan, tingginya pembayaran jatuh tempo utang periode itu disebabkan oleh masa pandemi Covid-19. Saat itu, Indonesia membutuhkan hampir Rp 1.000 triliun untuk belanja tambahan. Adapun tambahan belanja negara itu dilakukan saat penerimaan negara turun 19% karena ekonomi berhenti.
"Jadi kalau tahun 2020 maksimal jatuh tempo dari pandemi kita di 7 tahun dan sekarang di konsentrasi, di 3 tahun terakhir 2025, 2026 dan 2027, sebagian di 8 tahun. Ini yang kemudian menimbulkan persepsi kok banyak yang numpuk," tutur Sri Mulyani.
"Itu biaya pandemi berdasarkan agreement antara kita dan BI untuk lakukan burden sharing agar negara BI baik, fiskal kredibel dan politik acceptable, kita sepakati instrumen itu," tambahnya.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa besarnya utang jatuh tempo pada 2025-2027 bukanlah masalah besar selama persepsi terhadap APBN, perekonomian, dan politik Indonesia tetap positif.
"Kalau ada pokok yang jatuh tempo risiko yang dihadapi oleh suatu negara bukan pada magnitude, tapi pada kemampuan negara itu revolving pada biaya yang dianggap fair itu risiko jadi negara kalau kita kredibel, APBN baik, ekonomi baik, kondisi politik stabil maka revolving itu kecil karena negara ini dianggap sama," tandasnya.
Menteri Keuangan tersebut menambahkan bahwa jika surat utang Indonesia tidak jatuh tempo, surat utang yang dimiliki akan diperbarui atau "revolving". Namun, jika stabilitas negara terganggu, pemegang surat utang bisa memutuskan untuk menjualnya dan menarik dana mereka dari Indonesia.
Topik:
pendapatan-negara pajak apbn menkeu-sri-mulyani republik-indonesia utang-negaraBerita Selanjutnya
Demi Efisiensi Anggaran, Prabowo Intruksikan Potong Anggaran Perjalanan Dinas 50 Persen
7 jam yang lalu
Coretax DJP Diselimuti Deret Masalah, Pengamat: Giliran Belum Bayar Pajak Dikejar-kejar
18 Januari 2025 22:00 WIB
Anggaran Infrastruktur Dipangkas untuk Makan Bergizi Gratis? Ini Kata Wamenkeu
15 Januari 2025 17:54 WIB
Tender Coretax Rp 1,3 Triliun Bakal Diusut KPK, Ditjen Pajak Klaim Begini
14 Januari 2025 19:24 WIB