Kerugian dari Pagar Laut 'Siluman' Diperkirakan Rp 116,91 M per Tahun, Berikut Rinciannya


Jakarta, MI - Pembangunan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir utara Kabupaten Tangerang, kemudian di Jakarta, hingga laut Bekasi tengah menjadi sorotan. Pagar laut itu diklaim sebagai upaya mitigasi abrasi dan tsunami, namun data menunjukkan bahwa struktur ini lebih banyak mendatangkan kerugian.
Kerugian yang ditimbulkan pemasangan pagar laut misterius alias siluman itu diperkirakan mencapai Rp116,91 miliar per tahun. Perhitungan potensi kerugian ini mencakup dampak terhadap pendapatan nelayan, peningkatan biaya operasional, serta kerusakan ekosistem laut.
"Proyek [pagar laut] ini tidak hanya merugikan nelayan, tetapi juga gagal memberikan manfaat yang dijanjikan. Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa pembangunan pagar ini lebih banyak memberikan dampak negatif daripada positif," kata ekonom, Achmad Nur Hidayat dikutip pada Minggu (19/1/2025).
Achmad yang juga pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta itu menjelaskan bahwa kerugian sebesar Rp116,91 miliar tersebut terdiri dari penurunan pendapatan nelayan sebesar Rp93,31 miliar per tahun, peningkatan biaya operasional sebesar Rp18,60 miliar per tahun, dan kerusakan ekosistem laut senilai Rp5 miliar per tahun.
Perhitungan ini didasarkan pada data dari Ombudsman RI serta analisis ekologis independen. Berdasarkan data Ombudsman RI, sekitar 3.888 nelayan di Tangerang dan Bekasi mengalami kerugian akibat terhambatnya akses ke wilayah tangkapan ikan.
Pendapatan nelayan menurun rata-rata Rp100.000 per hari, kata dia, karena waktu melaut yang berkurang dan jarak melaut yang lebih jauh. Dengan asumsi nelayan bekerja 20 hari per bulan, kerugian total mencapai Rp7,776 miliar setiap bulan atau Rp93,31 miliar per tahun.
Selain itu, rute melaut yang lebih panjang meningkatkan konsumsi bahan bakar hingga Rp1,55 miliar per bulan atau Rp18,60 miliar per tahun. Biaya tambahan ini semakin memperburuk kondisi ekonomi nelayan. "Dengan ekosistem yang terganggu dan akses masyarakat yang terbatas, pagar laut ini justru menjadi penghalang utama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir," beber Achmad.
Kerusakan ekosistem pesisir
Selain kerugian ekonomi, keberadaan pagar laut juga merusak ekosistem pesisir. Struktur bambu dan pemberat pasir yang digunakan untuk membangun pagar mengganggu habitat alami ikan, udang, dan kerang.
Menurut Achmad, hal ini memperburuk kondisi ekosistem yang sudah rentan akibat aktivitas manusia lainnya.
"Hal ini semakin memperburuk kondisi ekosistem yang sudah rentan akibat aktivitas manusia lainnya. Alih-alih mencegah abrasi, pagar ini justru menciptakan tekanan baru pada lingkungan," jelas Achmad.
Analisis biaya dan manfaat (cost-benefit analysis) menunjukkan ketimpangan yang mencolok antara kerugian yang ditimbulkan dan manfaat yang diharapkan. Dengan kerugian ekonomi yang mencapai Rp116,91 miliar per tahun, namun manfaat seperti mitigasi abrasi dan tsunami serta budidaya kerang hijau tidak dapat diverifikasi atau memberikan dampak nyata.
"Hasil analisis ini menunjukkan bahwa proyek pagar laut tidak memberikan nilai tambah bagi masyarakat pesisir. Sebaliknya, proyek ini justru menciptakan beban tambahan yang signifikan bagi masyarakat lokal," paparnya.
Oleh karena itu, ia menekankan perlunya tindakan tegas untuk mengatasi permasalahan ini. Achmad merekomendasikan agar pagar laut ilegal segera dibongkar demi memulihkan akses nelayan ke wilayah penangkapan ikan. Selain itu, kebijakan berbasis data harus diterapkan untuk memastikan bahwa mitigasi abrasi dilakukan secara efektif dan berkelanjutan.
Pemerintah juga harus meningkatkan pengawasan terhadap wilayah pesisir untuk mencegah kasus serupa terjadi di masa depan. "Dengan langkah-langkah tersebut, keadilan bagi nelayan dapat dipulihkan, dan ekosistem pesisir dapat dilindungi dari kerusakan lebih lanjut."
"Semua pihak harus bersinergi untuk memastikan bahwa kebijakan pembangunan selalu berpihak pada rakyat kecil dan lingkungan yang berkelanjutan," imbuhnya.
Apa yang teranyar dari kasus ini?
Sebanyak 600 personel TNI AL beserta nelayan membongkar pagar laut dari garis Pantai Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga hingga pesisir Pantai Kronjo, Kecamatan Kronjo itu pada Sabtu (18/1/2025).
Komandan Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Danlantamal) III Jakarta Brigjen TNI (Mar) Harry Indarto di Tangerang, mengatakan, proses pembongkaran pagar laut dari bambu itu dilakukan secara bertahap sepanjang dua kilometer yang melibatkan sejumlah unsur TNI AL dan nelayan.
Menurutnya, tahapan pembongkaran pertama itu sedikitnya melibatkan 30 kapal nelayan sebagai pengangkut objek pagar bambu tersebut.
Namun demikian, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mempersoalkannya. Kementerian yang dipimpin Sakti Wahyu Trenggono itu memberi sinyal untuk menunda pencabutan pagar laut sepanjang 30 kilometer di Pantai Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang karena masih proses penyidikan.
“Pencabutan kan tunggu dulu dong, kalau sudah tahu siapa yang menanam kan lebih mudah (penyidikan),” kata Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono di Pantai Kedonganan, Kabupaten Badung, Bali, Minggu (19/1/2025).
Dia menegaskan, bahwa seharusnya pagar laut dari bambu itu menjadi barang bukti dari kegiatan yang ia nilai ilegal tersebut. “Saya dengar berita ada pembongkaran oleh institusi Angkatan Laut, saya tidak tahu, harusnya itu barang bukti setelah dari hukum sudah terdeteksi, terbukti, sudah diproses hukum, baru bisa (dicabut),” beber Sakti.
Meski beberapa bagian pagar itu sudah dicabut, namun ia memastikan proses penyidikan yang dilakukan saat ini tetap berlanjut. KKP, lanjut dia, juga sudah menyegel pagar laut misterius tersebut untuk memudahkan proses penyidikan.
Ia menjelaskan, tidak ada satu pun pengajuan izin dari pihak tertentu yang memasang pagar laut tersebut kepada KKP. Kalau pun ada pengajuan, menurut dia, pihaknya harus memeriksa detail perairan itu untuk memastikan tidak masuk kawasan konservasi. “Jadi kalau ada seperti itu jelas pasti kami larang kegiatan seperti itu. Tapi itu tidak ada pengajuan, sehingga kami lakukan penyegelan,” tutur Sakti.
KKP, tambah Sakti, hanya menjatuhkan sanksi administratif sesuai dengan kewenangan dari instansi KKP. Sedangkan sanksi hukum hingga potensi adanya kerugian negara, sambung dia, merupakan kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup.
“Dari sisi lingkungan, saya kira Menteri Lingkungan Hidup yang bisa menghitung (kerugian). Kalau dari kami kegiatan (ilegal) di laut itu dari sisi administratif,” pungkasnya.
Sekadar tahu, bahwa polemik pagar laut ini berawal dari laporan dari masyarakat terkait pembangunan pagar di pesisir Tangerang pada 14 Agustus 2024. Lima hari kemudian, tim Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten langsung meninjau ke lokasi.
Kemudian, pada 4-5 September 2024, tim gabungan DKP bersama dengan Polisi Khusus Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) kembali mendatangi lokasi. Tim gabungan terpecah menjadi dua, yaitu tim pertama untuk menilik pemagaran di pesisir laut dan tim kedua berdiskusi dengan pemerintah setempat.
Topik:
Pagar Laut Pagar Laut Siluman KKPBerita Terkait

Pemprov Jakarta Tegaskan Tak Pernah Beri Izin Tanggul Beton Cilincing Milik PT Karya Citra Nusantara
12 September 2025 15:59 WIB

Habis Pagar Laut, Terbitlah Tanggul Beton Cilincing: 25 Ribu KK Terdampak
12 September 2025 15:42 WIB