Dampak Trump 2.0: Indonesia Bersiap Hadapi Gejolak Ekonomi Global

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 1 Februari 2025 07:33 WIB
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto (Foto: Repro)
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto (Foto: Repro)

Jakarta, MI - Pemerintah Indonesia kini memantau ketat dampak yang mungkin ditimbulkan oleh kebijakan ekonomi pemerintahan AS, yang kini diprediksi akan kembali berhadapan dengan tantangan serupa yang pernah ditimbulkan oleh Donald Trump pada masa kepresidenannya.

Menyusul kembali naiknya suara politik keras, terutama mengenai tarif tinggi yang mungkin dikenakan pada negara-negara yang dinilai merugikan Amerika, Indonesia harus mempersiapkan diri menghadapi potensi gejolak.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa dinamika global yang terjadi sekarang menjadi faktor yang bisa memengaruhi stabilitas perekonomian Indonesia di masa depan. 

"Sejumlah risiko tentu masih akan kita hadapi, seperti volatilitas harga komoditas, kemudian tingkat suku bunga yang relatif tinggi, dan tentunya kebijakan perdagangan dari pemerintahan Amerika yang sering kita sebut sebagai Trump 2.0, serta kerentanan ketahanan pangan dan energi akibat perubahan iklim," ujar Airlangga di kantornya, Jumat (31/1/2025).

Tak hanya ekonomi nasional, ketidakpastian global tersebut juga membuat proyeksi ekonomi global 2025 ini hanya diperkirakan tumbuh di kisaran 3,2%, yang, kata Airlangga, berada di bawah rata-rata historis.

"Namun ada yang juga cukup membanggakan, kalau dari segi PPP, purchasing power parity, ekonomi Indonesia sudah masuk di nomor delapan. Itu lebih tinggi dari Italia, Prancis, dan ini suatu capaian yang baik," ungkapnya. 

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan ketidakpastian global yang disebabkan perang dagang AS versus China ini juga bisa berdampak pada iklim investasi di Indonesia. Kendati demikian, menurutnya, hal ini bisa dimanfaatkan Indonesia.

Faisal menyampaikan bahwa, dalam kebijakan dagang Trump jilid pertama dahulu, perang dagang telah mendorong perusahaan-perusahaan yang tadinya berinvestasi ke China hengkang keluar dan mencari tujuan baru di negara-negara ASEAN. Limpahan tersebut, menurutnya, bisa ditangkap oleh Indonesia. 

"Walaupun yang diperoleh Indonesia dari relokasi manufaktur yang keluar dari China itu relatif sedikit. Tapi untuk ke depan, peluang itu tetap terbuka, tergantung sejauh mana pemerintah memperbaiki, belajar dari kelemahan yang sebelumnya, dan lebih agresif untuk menggaet investasi potensial dari relokasi keluar dari China tersebut," tutur Faisal, Jumat (31/1/2025). 

Dengan pandangan yang berbeda, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan bahwa keputusan Trump untuk membatalkan sejumlah kebijakan pendahulunya, Joe Biden, terkait pengembangan kendaraan listrik (electric vehicle), dapat menyebabkan penurunan harga mineral seperti nikel, litium, dan kobalt.

Menurutnya, penurunan harga komoditas tersebut akan berimbas pada minat investor di sektor hilirisasi. Bagi Indonesia sendiri, realisasi investasi sepanjang 2024 sebesar Rp1.714,2 triliun, hampir seperempatnya atau 23,8%, merupakan investasi di sektor hilirisasi yang mana didominasi oleh hilirisasi mineral tambang. 

Investasi di sektor hilirisasi mengalami pertumbuhan sebesar 8,63% secara tahunan (year on year/yoy). Secara rinci, mayoritas investasi mengalir ke sektor mineral dengan total nilai Rp245,2 triliun. Di antara komoditas tersebut, nikel menjadi yang terbesar dengan investasi mencapai Rp153,2 triliun, disusul tembaga sebesar Rp68,5 triliun, dan bauksit senilai Rp21,8 triliun.

"Ketika harga nikel turun, ekspor dari hilirisasi tambang juga akan terganggu. Jadi, porsi investasi yang berasal dari sektor hilirisasi tambang mineral diperkirakan akan tumbuh rendah, porsinya menurun. Jadi kalau 23%, mungkin tahun 2025 cuma 15%," pungkas Bhima.

Topik:

perekonomian-indonesia donald-trump airlangga-hartarto