Tren Penurunan Berlanjut, Surplus Perdagangan Maret 2025 Diprediksi Menyusut

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 21 April 2025 11:20 WIB
Surplus Perdagangan Maret 2025 Diprediksi Menyusut (Foto: Ist)
Surplus Perdagangan Maret 2025 Diprediksi Menyusut (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Neraca perdagangan Indonesia diperkirakan surplus pada Maret 2025, namun tren penurunannya mulai terasa. Hal ini disampaikan oleh Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI), Josua Pardede, yang melihat sejumlah faktor berperan dalam pelemahan tersebut.

Menurut Josua, meski kebijakan tarif resiprokal dari Presiden AS Donald Trump belum berdampak langsung pada Maret, tanda-tanda pelemahan sudah muncul akibat faktor musiman. Momentum Ramadan disebut sebagai salah satu penyebab utama, karena secara historis, bulan suci ini mendorong peningkatan aktivitas impor dan menurunkan performa ekspor.

“Setelah mencatat surplus sebesar US$3,12 miliar pada Februari 2025, kami memproyeksikan surplus akan turun menjadi US$2,62 miliar pada Maret 2025,” katanya, pada Senin (21/4/2025).  

Perkiraan ini berada sedikit di bawah konsensus 15 ekonom yang disurvei, di mana nilai tengah atau median proyeksi surplus neraca perdagangan Indonesia untuk Maret 2025 berada di angka US$2,9 miliar.

Secara lebih rinci, Josua memperkirakan ekspor Indonesia akan mengalami kontraksi sebesar 3,52% secara tahunan (year-on-year/YoY), berbalik arah dari pertumbuhan 14,05% pada bulan sebelumnya.  

Pelemahan ekspor ini mencerminkan pola historis selama Ramadan, ketika fokus ekonomi beralih ke permintaan domestik menjelang Idulfitri.

Sementara itu, Josua memproyeksikan impor meningkat sejalan dengan peningkatan permintaan domestik yang musiman selama Ramadan. Pertumbuhan impor diperkirakan naik menjadi 6,48% YoY dari 2,30% yoy pada Februari 2025.  

Adapun kenaikan ini didorong oleh lonjakan permintaan barang konsumsi terkait kebutuhan puasa dan Lebaran, serta peningkatan impor bahan baku dan barang modal untuk memenuhi lonjakan konsumsi tersebut.  

Dari sisi sektor, kinerja ekspor sangat terpengaruh oleh tekanan dari perlambatan perdagangan global dan normalisasi harga komoditas, terutama pada sektor-sektor unggulan seperti batu bara, CPO, dan produk logam. 

Sementara itu, kenaikan impor dipicu oleh aktivitas sektor konsumsi dan industri manufaktur yang tengah menyesuaikan kapasitas produksinya untuk memenuhi permintaan musiman. 

Ke depannya, dengan mulai diberlakukannya tarif resiprokal dan tarif penundaan selama 90 hari sejak 9 April 2025, Josua menilai tren penurunan ini menunjukkan bahwa neraca perdagangan dapat menghadapi tantangan lebih besar.  

“Terutama jika tekanan dari perang dagang global meningkat dan permintaan eksternal melemah lebih lanjut,” imbuhnya.

Dampaknya tidak hanya terbatas pada neraca perdagangan, tetapi juga berpotensi memperburuk posisi transaksi berjalan (current account), yang diperkirakan akan mencatat defisit sebesar 1,18% dari PDB tahun ini.  

Oleh karena itu, Josua mengingatkan kepada pemerintah bahwa stabilitas neraca perdagangan tetap sangat bergantung pada keberlanjutan permintaan global, efektivitas kebijakan DHE SDA, serta ketahanan permintaan domestik. 

Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data resmi terkait ekspor, impor, dan neraca perdagangan untuk periode Maret 2025 pada hari ini, Senin (21/4/2025), pukul 11.00 WIB.

Namun demikian, dampak dari kebijakan tarif baru yang diberlakukan pemerintahan Donald Trump sejak awal April diperkirakan belum tercermin dalam data bulan Maret ini. Efek nyata dari tarif tersebut diprediksi baru akan terlihat pada laporan perdagangan bulan berikutnya.

Topik:

surplus-perdagangan neraca-perdagangan ekspor impor