Pajak Pedagang Online Dipungut Lewat Marketplace, Ini Alasannya


Jakarta, MI - Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengungkapkan bahwa hingga kini pemerintah belum memiliki basis data yang memadai mengenai wajib pajak yang berjualan secara daring (online).
Kondisi tersebut menjadi alasan utama di balik rencana penunjukan marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi para pedagang online.
Pengakuan itu disampaikan Anggito di tengah sorotan publik terhadap kebijakan baru perpajakan digital. Menurutnya, kehadiran platform perdagangan elektronik atau Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) harus dimanfaatkan untuk menutup celah pendataan dan pengawasan fiskal yang selama ini terbuka lebar.
Anggito menegaskan bahwa aturan baru ini dirancang untuk mendata para pedagang online secara lebih akurat, sekaligus memastikan perlakuan perpajakan yang setara antara pelaku usaha daring dan luring.
"Perdagangan [ada yang] melalui sistem elektronik dan non-elektronik. Perdagangan non-elektronik tidak ada masalah, semua pakai faktur itu terdata. Perdagangan PMSE belum ada datanya. Jadi kita menugaskan kepada platform untuk mendata siapa saja yang melakukan perdagangan melalui PMSE," tutur Anggito saat ditemui di Kantor Kementerian Perdagangan, Senin (30/6/2025).
Terkait hal ini, Anggito menekankan bahwa rencana kebijakan tersebut bukanlah bentuk pajak baru. Namun, ia belum dapat memastikan apakah tarif yang akan diterapkan bakal serupa dengan PPh Final 0,5% untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Lebih lanjut, ia menjelaskan, sebenarnya pemerintah sudah memiliki ketentuan yang serupa sejak 2018, tetapi dibatalkan. Pada 31 Desember 2018, pemerintah sebelumnya juga pernah menerbitkan peraturan dengan konsep yang serupa.
Kebijakan itu sebagaimana termaktub melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK/010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (e-commerce).
Mengacu pada laman resmi Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, aturan yang seharusnya mulai diterapkan pada 1 April 2019 tersebut mewajibkan penyedia jasa e-commerce untuk melakukan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta PPh terkait penyediaan layanan platform marketplace kepada pedagang dan penyedia jasa.
"[Penyedia platform marketplace juga wajib] memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPh terkait penjualan barang dagangan milik penyedia platform marketplace sendiri, serta melaporkan rekapitulasi transaksi yang dilakukan oleh pedagang pengguna platform," kata Hestu Yoga Saksama, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Jumat (11/1/2019).
Pada waktu itu, Hestu menyebut sejumlah platform yang termasuk dalam kategori ini di Indonesia, seperti Blibli, Bukalapak, Elevenia, Lazada, Shopee, dan Tokopedia.
Namun demikian, pemerintah akhirnya membatalkan penerapan aturan tersebut pada 29 Maret 2019, hanya tiga hari sebelum tanggal pemberlakuannya.
Pencabutan itu dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.010/2019 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK/0.10/2018 tetang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (e-commerce).
Anggito juga belum bersedia menjelaskan lebih lanjut mengenai waktu penerbitan aturan terkait penunjukan marketplace sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas transaksi penjualan barang oleh merchant yang berjualan melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) bakal terbit.
"Pokoknya tunggu saja sampai diterbitkan, nanti pasti kami akan menyampaikan. Sampai sekarang kan belum diterbitkan," ujarnya.
Topik:
pedagang-online marketplace pajak-penghasilan