Industri Tekstil Menjerit! Pabrik Tutup, Investor Kabur

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 5 Agustus 2025 10:11 WIB
Industri Tekstil RI Semakin Terpuruk (Foto: Ist)
Industri Tekstil RI Semakin Terpuruk (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament (APSyFI) mengungkapkan tekanan berat yang dialami para pelaku usaha akibat banjirnya produk impor ilegal asal China yang makin tak terkendali.

Dalam audiensi dengan Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan (BK Kemendag), APSyFI menyuarakan keresahan mendalam, terutama setelah Kemendag baru-baru ini menolak penerapan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) untuk dua produk utama: polyester oriented yarn (POY) dan draw textured yarn (DTY).

Menurut Sekretaris Jenderal APSyFI, Farhan Aqil, keputusan tersebut semakin memukul industri yang telah lebih dulu limbung. "Kondisi di lapangan makin memburuk. Banyak pabrik tutup, investor hengkang, dan tenaga kerja menjadi korban."

Farhan menegaskan bahwa perjuangan industri tekstil bukan sekadar soal bisnis, melainkan menyangkut keberlangsungan hidup jutaan pekerja yang menggantungkan nasib di sektor ini. Meski dihantam berbagai tekanan, pihaknya masih terus berjuang untuk menjaga agar pabrik-pabrik tetap beroperasi.

"Kami ceritakan bagaimana pabrik-pabrik mulai tutup diam-diam, kontrak dibatalkan, investasi batal, ribuan pekerja kehilangan pekerjaan dan saat itu kami merasa, pemerintah seperti tidak melihat,” ujar Farhan dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (5/8/2025). 

Ia juga mengatakan, dalam pertemuan tersebut APSyFI telah menjelaskan secara rinci dampak dari keputusan pemerintah menolak BMAD yang menjadi pukulan telak bagi industri tekstil saat ini.  

Penolakan BMAD POY-DTY baru-baru ini membuat rencana investasi dibatalkan sehingga kondisi industri sektor hulu makin terpuruk. Investor menilai tak ada jaminan usaha lantaran impor ilegal yang masif di pasar domestik. 

“Investor asing sudah datang ke lokasi pabrik dan berkomitmen, kini menarik diri. Bagi mereka, tidak ada jaminan iklim usaha yang fair jika barang impor terus masuk tanpa hambatan,” katanya.

Farhan menilai, kebijakan yang harusnya melindungi industri malah menjadi palu pemukul. Sebab, serangkaian rencana investasi dan pemulihan industri batal terjadi karena perlindungan terhadap produk dalam negeri urung diberlakukan. 

Padahal, sebelumnya direncanakan terdapat 3 anggota APSyFI yang akan mereaktivasi kapasitas produksi tahun ini dan rencana penanaman modal asing (PMA) dengan nilai investasi US$250 juta atau setara Rp4 triliun. 

“Ada investor asing yang sudah datang langsung ke lokasi, melihat potensi mesin-mesin produksi yang bisa dihidupkan kembali. Bahkan sudah ada kunjungan CEO dari perusahaan tekstil multinasional, mereka antusias, tapi begitu tahu BMAD ditolak, semuanya batal," imbuhnya.

Farhan juga mengungkapkan bahwa yang terdampak bukan hanya minat investasi. Sebelumnya, sempat muncul sinyal positif dari salah satu merek olahraga ternama yang berencana mengalihkan produksi dari China ke dalam negeri guna meminimalkan risiko rantai pasok dan mempercepat distribusi.

“Kontrak sudah diteken, tinggal realisasi. Tapi ketika tidak ada perlindungan terhadap produk lokal, mereka tarik diri. Bagi mereka, buat apa investasi kalau produk yang sama bisa masuk dari luar dengan harga lebih murah dan tanpa hambatan?,” pungkasnya.

Topik:

industri-tekstil pabrik-tekstil apsyfi